Rabu, 24 November 2010

HAL-HAL YANG TERMASUK KATEGORI WANPRESTASI

Kontrak sebagai instrument pertukaran hak dan kewajiban diharapkan dapat berlangsung dengan baik, fair dan proporsional sesuai kesepakataan para pihak. Terutama pada kontrak komersial, baik pada tahap pra kontraktual, pembentukan kontrak maupun pelaksanaannya.
Perikatan yang bersifat timbal balik senantiasa menimbulkan sisi aktif dan sisi pasif. Sisi aktif menimbulkan hak bagi kreditur untuk menuntut pemenuhan prestasi , sedangkan sisi pasif menimbulkan beban kewajiban bagi debitur untuk melaksanakan prestasinya. Pada situasi yang normal antara prestasi dan kontra prestasi akan saling bertukar, namun pada kondisi tertentu pertukaran prestasi tidak berjalan sebagaimana mestinya sehingga muncul peristiwa yang disebut wanprestasi.
Pelanggaran terhadap hal-hal yang kontraktual tersebut menimbulkan kewajiban ganti rugi berdasarkan wanprestasi, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1236 BW (untuk prestasi memberikan sesuatu) dan pasal 1239 BW (untuk prestasi berbuat sesuatu). Selanjutnya terkait dengan wanprestasi tersebut pasal 1234 BW menyatakan bahwa :
“ penggantian biaya, rugi dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi prestasinya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampauinya”.
Pada intinya wanprestasi itu karena adanya prestasi yang tidak dilaksanakan, atau dilaksanakan tapi sebagian/tidak sempurna, terlambat melaksanakan/memenuhinya serta melaksanakan apa yang dilarang atau tidak
-1 -
diperjanjikan dalam perjanjian.
Dengan demikian seseorang dinyatakan lalai atau wanprestasi itu dapat berupa hal-halsebagai berikut yaitu :
1. Sama sekali tidak memenuhi prestasi ;

Pada kondisi ini seorang debitur sama sekali tidak melaksanakan atau memenuhi prestasinya sehingga menimbulkan kerugian bagi kreditur/orang lain.
Dalam ketidakmampuannya memenuhi prestasinya ini debitur harus membuktikan bahwa dia tidak memenuhi prestasinya itu disebabkan oleh apa, apakah oleh keadaan memaksa (overmacht), karena pihak kreditur juga wanprestasi ataukah karena telah terjadi pelepasan hak.

2. Prestasi yang dilakukan tidak sempurna ;

Pada kondisi ini seorang debitor melaksanakan atau memenuhi prestasinya tapi tidak sempurna.
Sama halnya dengan di atas dalam ketidaksempurnanya memenuhi prestasinya ini debitur harus membuktikan bahwa dia tidak memenuhi prestasinya itu disebabkan oleh apa, apakah oleh keadaan memaksa (overmacht), karena pihak kreditur juga wanprestasi.

3. Terlambat memenuhi prestasi ;

Pada kondisi ini seorang debitur melaksanakan atau memenuhi prestasinya tapi terlambat. Lagi-lagi dia harus menjelaskan dan membuktikan bahwa keterlambatannya memenuhi prestasinya ini disebabkan oleh faktor apa, apakah oleh keadaan memaksa (overmacht), ataukah karena pihak kreditur juga wanprestasi.

-2-

4. Melakukan apa yang dalam perjanjian dilarang untuk dilakukan;

Pada kondisi ini seorang debitur melaksanakan atau melakukan apa yang dilarang dalam perjanjian untuk dilakukan. Dengan kata lain debitur melakukan hal-hal diluar yang diperjanjikan atau tidak diperjanjikan.
Terjadinya wanprestasi mengakibatkan pihak lain (lawan dari pihak yang wanprestasi) dirugikan, apalagi kalau pihak lain itu pedagang maka bisa kehilangan keuntungan yang diharapkan. Oleh karena pihak lain dirugikan akibat wanprestasi tersebut, maka pihak yang telah melakukan wanprestasi harus menanggung akibat dari tuntutan pihak lawan yang dapat berupa :
1. Pembatalan kontrak saja;
2. Pembatalan kontrak disertai tuntutan ganti rugi;
3. Pemenuhan kontrak saja;
4. Pemenuhan kontrak disertai tuntutan ganti rugi.

Seorang debitor tidak dapat secara serta merta dituduh wanprestasi, dengan kata lain pihak yang dituduh melakukan wanprestasi dapat mengajukan tangkisan-tangkisan atau pembelaan diri yang dapat berupa :

1. Tidak dipenuhinya kontrak (wanprestasi) terjadi karena keadaan terpaksa (overmacht);
2. Tidak dipenuhinya kontrak (wanprestasi) terjadi karena pihak lain juga wanprestasi (exception non adimpleti contractus);
3. Tidak dipenuhinya kontrak (wanprestasi) terjadi karena pihak lawan telah melepaskan hanknya atas pemenuhan prestasi ( rechtsverwerking).

Seseorang/ debitur walaupun tidak memenuhi prestasi, memenuhi prestasi tapi tidak sempurna, memenuhi prestasi tapi terlambat serta melakukan apa yang tidak diperjanjikan tidak serta merta atau langsung dikatakan wanprestasi. Tapi

-3-

pada umumnya wanprestasi baru terjadi setelah adanya pernyataan lalai dari
pihak kreditur kepada debitur. Pernyataan lalai ini pada dasarnya bertujuan menetapkan tenggang waktu (yang wajara) kepada debitur untuk memenuhi prestasinya dengan sanksi tanggung gugat atas kerugian yang dialami kreditur.

Akan tetapi adakalanya dalam keadaan tertentu untuk membuktikan adanya wanprestasi debitur tidak diperlukan lagi pernyataan lalai, ialah dalam hal :

1. Untuk pemenuhan prestasi berlaku tenggang waktu yang fatal;
2. Debitur menolak pemenuhan ;
3. Debitur mengakui kelalaiannya ;
4. Pemenuhan prestasi tidak mungkin (di luar over macht) ;
5. Pemenuhan tidak lagi berarti, dan ;
6. Debitur melakukan pretasi tidak sebagaimana mestinya.

Dengan demikkian ketidak mampuan dan atau ketidak mauan debitur untuk melaksanakan atau memenuhi prestasinya sehingga dia wanprestasi , haruslah membuktikan bahwa dia wanpresatsi itu karena memang terjadi keadaan memaksa (overmacht) , ataukah pihak kreditur juga wanpretasi (exception non adimpleti contractus) ataukah karena telah terjadi pelepasan hak (rechtsverwerking).

Kesemua persoalan di atas akan membawa konsekuensi yuridis yaitu pihak yang telah melakukan wanprestasi baik karena telah dinyatakan lalai atau tidak haruslah menanggung akibat berupa ganti rugi yaitu :
1. Biaya : “ segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak (katakanlah pihak kreditur )”.
2. Rugi ; “ kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan debitur yang diakibatkan oleh kelalaian debitur
3. Bunga : “ kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang diharapkan oleh salah satu pihak/kreditur”.

-4-

ULASAN TERHADAP ISI BUKU BANK TANAH

BANK TANAH Alternatif Penyelesaian Masalah Penyediaan Tanah Untuk Pembangunan Kota Berkelanjutan
Judul Buku : BANK TANAH Alternatif Penyelesaian Masalah Penyediaan Tanah Untuk Pembangunan Kota Berkelanjutan
Penulis : Dr. Sri Susyanti Nur, S.H., M.H.
Editor : Prof. Dr. Aminuddin Salle, S.H., M.H.
Penerbit : AS PUBLISHING

====================================================================================
Bagi Negara Republik Indonesia , yang susunan perekonomian dan corak kehidupanya masih bersifat agraris maka tanah mempunyai fungsi dan peranan yang mencakup berbagai aspek penghidupan dan kehidupan masyarakat, bukan hanya aspek ekonomis belaka tetapi juga menyangkut aspek-aspek yang non ekonomis, apalagi tanah merupakan segala-galanya bagi masyarakat yang peranannya bukan hanya sekedar faktor produksi melainkan pula mempunyai nilai untuk mendukung martabatnya sebagai manusia.
Tanah sebagai salah satu sumberdaya alam merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa . Tanah merupakan kebutuhan hidup manusia yang paling mendasar sebagai sumber penghidupan dan kehidupan serta mata pencaharian, bahkan tanah dan manusia tidak dapat dipisahkan dari semenjak manusia lahir hingga kemudian meninggal dunia. Manusia hidup dan berkembang biak serta melakukan aktivitas di atas tanah, sehingga setiap manusia berhubungan dengan tanah. Hal ini disebabkan oleh karena manusia diciptakan oleh Allah SWT., ( Tuhan Yang maha Esa) berasal dari tanah yang dikuti dengan penciptaan sarana dan prasarana untuk manusia oleh Allah Swt., dari tanah sehingga manusia dapat mengoptimalkan fungsi dan peranannya sebagai khalifatun fil ardhi di muka bumi ini sehingga bumi beserta isinya dapat sejahtera dan tetap menyeimbangkan fungsi alam sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah Swt., sang Pencipta.
Berbagai pengalaman historis telah membuktikan bahwa tanah sangat lengket dengan perilaku masyarakat bahkan tanah dapat menimbulkan masalah bila sendi-sendi perubahan tidak memiliki norma sama sekali.
Betapa pentingnya tanah sebagai sumber daya hidup, maka tidak ada sekelompok masyarakatpun di dunia ini yang tidak memiliki aturan-aturan atau norma-norma tertentu dalam masalah pertanahan ini, penduduk bertambah , pemikiran manusia berkembang, dan berkembang pulalah sistem , pola, struktur dan tata cara manusia menetukan sikapnya terhadap tanah.
Seiring dengan perubahan dan perkembangan pola pikir, pola hidup dan kehidupan manusia maka dalam soal pertanahanpun terjadi perubahan, terutama dalam hal pemilikan dan penguasaannya , termasuk cara memperoleh dan menggunakan sehingga tercipta ketertiban dalam penataannya, dalam perolehannya terlebih lagi dalam penggunaannya dengan demikian akan tercipta suatu keseimbangan.
Dengan adanya persoalan-persoalan , baik mengenai pertambahan penduduk maupun perkembangan ekonomi, maka kebutuhan terhadap tanah dalam kegiatan pembangunan akan meningkat. Berdasarkan kenyataan ini, tanah bagi penduduk Indonesia dewasa ini merupakan harta kekayaan yang paling tinggi nilainya dan juga merupakan sumber kehidupan, maka dari itu jengkal tanah dibela sampai titik darah penghabisan apabila hak tanahnya ada yang mengganggu.
Dengan adanya fenomena semacam ini, sehingga dirasakan seolah-olah tanah menjadi sempit, karena semakin jelas dan pasti permintaan terhadap tanah akan semakin bertambah dan akhirnya harga tanah atau nilai tanah menjadi meningkat dan kalau hal ini tidak diantisipasi dan ditangani dengan perencanaan dan management yang baik dan benar akan menimbulkan berbagai macam problema yang bayak seginya dan meminta perhatian yang serius.
Sebenarnya yang menjadi titik kunci atau latar belakang lahirnya konsep Bank Tanah ini adalah akibat kurangnya persediaan tanah yang disebabkan oleh rumitnya dan susahnya perolehan tanah untuk pembangunan. Disatu sisi pembangunan harus berkelanjutan/jalan terus seiirng dengan meningkatnya derajat kehidpan manusia di suatu bangsa/Negara.
Pemerintah selaku pengemban amanah untuk mensejahterakan warganya harus membangun dan menyediakan sarana dan prasaran untuk pembangunan.
Tidak jarang kita saksikan baik melalui media elektronik maupun kita baca melalui media cetak bahwa persoalan pembebasan tanah untuk kepentingan umum (baik oleh pemerintah maupun oleh swasta) menimbulkan konflik dan resistensi dari para pemilik tanah , dan hal itu diperparah lagi oleh ulah dan tingkah spekulan tanah. Kondisi dan faktor inilah yang harus kita perhatikan dan tangani dengan serius agar persoalan , sengketa, dan konflik tidak terus terulang dan semakin membahayakan keamanan bangsa dan Negara ditengah bangsa dan Negara ini sedang memerlukan kegiatan untuk mensejahterakan warganya baik pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah sendiri, swasta maupun oleh para investor.
Untuk mengantisipasi dan memberi solusi terhadap persoalan tanah dan berbagai seginya ini , Dr. Sri Susyanti Nur, S.H., M.H. telah melakukan satu kajian yang mendalam dan komprehensif untuk mengatasi dan mencegah agar tidak terjadi persoalan-persoalan dibidang pertanahan dengan melahirkan satu karya yang spektakuler dan bermutu dalam bentuk buku dengan judul : “ BANK TANAH Alternatif Penyelesaian Masalah Penyediaan Tanah Untuk Pembangunan Kota Berkelanjutan”.
Dalam buku termaksud penulisnya telah membahas dan menganalisis setiap persoalan yang telah terjadi maupun yang akan timbul apabila masalah pertanahan ini tidak ditangani dengan baik dan benar sebagai akibat dari adanya ledakan pertambahan penduduk dan cepatnya laju pembangunan sedangkan disatu sisi persediaan dan ketersediaan tanah semakin terbatas.
Berdasarkan faktor dan kondisi inilah seorang ilmuan (Dr. Sri Susyanti Nur, S.H., M.H.) melakukan pergulatan pemikiran didalam dirinya bagaimana caranya mengatasi problema-problema sosial sebagai salah satu akses atau sebagai akibat dari adanya kegiatan atau aktifitas masyarakat untuk membangun supaya tidak melahirkan /menimbulkan problema-problema hukum dengan memberikan solusi pemikiran yang terarah dan terukur serta akuntabel dalam bentuk tulisan yang tentunya didahului dengan melakukan penelitian yang cermat dan akurat yaitu Bank Tanah.
Bank Tanah sebagai suata lembaga yang bertujuan dan berfungsi sebagai :
1. Menjamin terwujudnya tujuan yang dirumuskan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 ;
2. Sebagai instrument untuk melaksanakan berbagai kebijakan pertanahan dan mendukung pengembangan wilayah secara efisien dan efektif;
3. Mengendalikan pengadaan , penguasaan, dan pemanfaatan tanah secara adil dan wajar dalam melaksanakan pembangunan.
Selain itu secara khusus tujuan dari Bank Tanah adalah untuk :
1. Menyediakan tanah siap bangun baik secara fisik maupun secara administratif, yaitu tanah yang akan dijual telah dilengkapi dengan sertifikat hak atas tanah;
2. Menyediakan tanah untuk berbagai keperluan , terutama lokasi pembangunan permukiman untuk golongan menengah kebawah , mampu mengendalikan harga tanah serta memberantas spekulasi tanah;
3. Mendukung pembangunan yang berkelanjutan melalui administrasi pengelolaan pertanahan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (penataan ruang dan penatagunaan tanah).
Sedangkan fungsi dari Bank Tanah adalah :
1. Sebagai Penghimpun tanah ( Land Keeper);
2. Sebagai Pengaman Tanah ( Land warrantee);
3. Sebagai Pengendali Penguasaan Tanah ( LandPurchaser);
4. Sebagai Penilai Tanah (Land Value );
5. Sebagai Pendistribusian Tanah ( Land Distributor);
6. Sebagai Management Tanah ( Land management);
Bahwa untuk melaksanakan tugas yang baik dan mulia ini memang sudah tepat dibebankan dan menjadi tanggung jawab Negara karena Negara merupakan personifikasi/penjelmaan dari seluruh rakyat , dalam kedudukannya diberi mandat oleh rakyat Indonesia sebagai pemegang hak bangsa untuk dapat mengatur bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan kesejahteraan masyarakat. Dalam kedudukan ini maka hubungan Negara dengan tanah adalah hubungan menguasai atau hak menguasai, dan Negara mempunyai wewenang untuk mengatur peruntukkan, penggunaan, persediaan dan memelihara tanah.
Negara Republik Indonesia berdasarkan amanah dari Pasal 33 ayat ( 3 ) Undang-Undang Dasar 1945 telah diberikan wewenang berupa Hak Menguasai Negara atas bumi , air, kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hak Mengusai Negara ini dijabarkan lebih lanjut dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (disingkat UUPA) pada pasal 2 ayat 2 , berupa wewenang untuk :
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan , penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air , ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Termasuk dalam wewenang ini adalah :
- Membuat suatu rencana umum mengenai penggunaan bumi, termasuk tanah , air, ruang angkasa untuk berbagai macam kepentingan yang bersifat politis, ekonomi, sosial serta keagamaan (Pasal 14 UUPA).
- Mewajibkan setiap pemegang hak atas tanah untuk memelihara tanahnya , termasuk menambah kesuburannya dan mencegah kerusakannya ( Pasal 15 UUPA).
- Mewajibkan agara setiap pemegang hak atas tanah mengerjakan sendiri tanahnya (Pasal 10 UUPA).
- Mengatur cara-cara pembukaan tanah, pemungutan hasil hutan (Pasal 46 UUPA).
b. Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, ruang udara dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Termasuk wewenang ini adalah :
- Menentukan macam-macam hak atas tanah yang dapat diberikan dan dipunyai oleh manusia Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan hukum.
- Mengusahakan agar sebanyak mungkin orang dapat mempunyai hubungan dengan tanah dengan menentukan jumlah luas maksimum dan minimum penguasaan tanah.
c. Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan hukum yang berkaitan dengan bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Termasuk wewenang ini adalah :
- Mengatur pelaksanaan peralihan hak atas tanah seperti jual- beli, sewa –menyewa, hibah, wakaf, warisan.
- Mengadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah RI untuk menjamin kepastian hukum.

Atas dasar hak menguasai tersebut, luas kekuasaan Negara atas tanah meliputi :
1. Tanah-tanah yang sudah dipunyai dengan hak-hak tertentu oleh perorangan. Kekuasaan Negara atas tanah ini bersifat tidak langsung, artinya Negara tidak bisa secara langsung menggunakan tanah ini apabila Negara memerlukan;
2. Tanah-tanah yang belum dipunyai oleh orang perorangan, kekuasaan Negara bersifat langsung. juga Negara dapat memberikan kepada perorangan atau badan hukum menurut keperluannya seperti Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan lainnya.
Dengan dasar Hak Menguasai Negara, maka Negara/Pemerintah diberikan wewenang untuk “mengatur”dan “menyelenggarakan” hal-hal yang berkenaan dengan bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Kewenangan ini memberikan amanah kepada Negara/Pemerintah untuk campur tangan dalam kehidupan sosial ekonomi rakyatnya, untuk dapat mencapai kemakmuran rakyatnya.

Dalam kaitanya dengan konsep penguasaan Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, maka pemerintah memang haruslah mencari solusidan terobosan-terobosan dalam rangka mengantisipasi lajunya pembangunan bangsa ini. Pemerintah harus menyiapkan sarana dan prasaran untuk pembangunan dalam hal ini yang utama dan pertama adalah Tanah.
Menurut Soedjarwo (Dalam bukunya Dr. Sri Susyanti Nur, S.H., M.H. : 2010 : 21) menyebutkan bahwa ketersediaan tanah dinyatakan lancar dan dapat mendukung pelaksanaan pembangunan nasional adalah jika memenuhi paling tidak 6 (enam) syarat, yaitu :
1. Lokasi tanah yang sesuai;
2. Luas areal tanah cukup;
3. Harga atau ganti rugi tanah wajar;
4. Waktu penyediaan tanah tepat;
5. Ketentuan yang berlaku ditaati dan;
6. Tidak menimbulkan keresahan serta sengketa.
Akan tetapi menurut penelitian Dr. Sri Susyanti Nur, S.H., M.H. , dalam kenyataannya persyaratan ini semakin sulit untuk dijangkau secara lengkap dan utuh, sehingga kelancaran pembangunan menjadi sering terhambat oleh tidak tersedianya tanah. Tidak tercapainya persyaratan tersebut disebabkan oleh :
a. Data pertanahan yang kurang memadai;
b. Penguasaan dan pemilikan tanah oleh perorangan, kelompok, masyarakat, dan oleh pihak-pihak tertentu;
c. Mekanisme pengadaan tanah yang kurang baik.
Kondisi dan faktor-faktor inilah yang dibahas secara baik dan apik oleh Dr. Sri Susyanti Nur, S.H., M.H. dalam bukunya termaksud.
Kalau kita menganalisis dan menelaahnya lebih jauh inilah yang menjadi inti dan fungsi utama dari Bank Tanah, yaitu menyediakan tanah yang cukup dan benar sehingga dapat dipergunakan dalam pembangunan yang merupakan akibat dari aktifitas masyarakat sebagai warga Negara yang hidup dalam suatu bangsa dan Negara sehingga pembangunan tetap berkelanjutan khususnya di daerah perkotaan.
Didalam bukunya termaksud Dr. Sri Susyanti Nur, S.H., M.H., (halaman 68 sampai dengan halaman 76 ) memaparkan bahwa bentuk kegiatan penyediaan tanah oleh Bank Tanah dapat dilakukan dengan cara :
1. Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum
2. Pemindahan Hak melalui Jual Beli
3. Pencabutan Hak
4. Konsolidasi Tanah
5. Tukar menukar/Ruislag.
Didalam bukunya halaman 215 - 217 , Dr. Sri Susyanti Nur, S.H., M.H., menyatakan bahwa Bank Tanah mempunyai lingkup yang luas yang merupakan kewenangan publik dalam penguasaan terhadap tanah guna memenuhi peruntukkan, penggunaan dan penyediaan tanah pada masa yang akan datang sesuai dengan kebijakan tanah perkotaan . Melalui Bank Tanah bukan hanya keperluan tanah untuk pembangunan dapat terpenuhi akan tetapi diharapkan mampu menjaga keseimbangan sumber daya alam terbatas dan di dalam penggunaannya dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat serta tercapainya keadilan dalam pendistribusian sehingga peruntukkan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dapat mengakomodir segala kebutuhan dan kepentingan baik secara perorangan, kelompok, masyarakat, pemerintah dan swasta.
Dr. Sri Susyanti Nur, S.H., M.H., menyatakan bahwa dalam melaksanakan tugasnya menyediakan tanah Bank Tanah akan melakukan kegiatan sebagai berikut :
1. Tahap Penyediaan

Dalam tahap ini Bank Tanah dapat melakukannya dengan cara Pengadaan Tanah, Pencabutan Hak Atas Tanah, Jual Beli, Tukar – Menukar atau Perolehan dari Tanah-Tanah Terlantar.

Menurut hemat penulis, selain cara – cara tersebut di atas Bank Tanah juga harus dapat mengoptimalkan PP Nomor 11 tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar. Pemerintah harus benar-benar melaksanakan ketentuan PP ini agar dapat mempermudah tugas dan fungsi Bank Tanah. Selain itu juga harus dioptimalkan dan dilaksanakan secara taat asas mengenai ketentuan Larangan Pembatasan luas maksimum Kepemilikan hak atas tanah, Larangan Kepemilikan Tanah secara Absentee serta konsisten menerapkan aturan Penatagunaan /Tata Guna Tanah dan Tata Ruang.

2. Tahap Pematangan
Kegiatan pada tahap ini adalah meliputi kegiatan menyiapkan sarana dan prasarana atau fasilitas pendukung , antara lain pembuatan jalan, saluran sanitasi dan sebagainya. Kegiatan ini harus memperhatikan dang mengacu pada Rencana Tata Ruang yang telah ditetapkan.
3. Tahap Pendistribusian Tanah.
Tahap terakhir yaitu pendistribusian tanah setelah melalui proses pematangan tanah. Tanah kemudian didistribusikan sesuai dengan keperluannya yaitu kepentingan sosial (pemerintah) atau kepentingan komersial (swasta).
Sebelum dilakukan pendistribusian tentunya harus didahului dengan kesiapan data antara lain mengenai berapa luas tanah yang menjadi objek bank tanah, bidang tanah mana yang menjadi prioritas (umum atau khusus) berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk pematangan sebelum di distribusikan, berapa persen dari jumlah tanah yang tersedia yang dapat di distribusikan dan bagaimana pendistribusian tanahnya.
Dengan melihat kegiatan, tujuan dan fungsi bank tanah maka sebenarnya faktor yang tidak kalah pentingnya untuk diperhatikan adalah faktor kepastian hukum dan kepastian hak atas tanah yang akan dibebaskan/dibeli atau dijadikan objek bank tanah. Faktor ini sangat penting untuk menghindari terjadinya sengketa atau masalah.
Kepastian hukum dan kepastian hak atas tanah akan dapat terwujud bila telah dilakukan proses pendaftaran tanah, baik pendaftaran untuk pertama kalinya maupun proses peralihan haknya. Kepastian hukum disini meliputi kepastian objek, kepastian hak, dan kepastian subjek dalam rangka mendapatkan dan atau memberikan perlindungan hukum atas kepemilikan tanah baik yang belum bersertifikat maupun yang sudah bersertifikat. Dengan kata lain kepastian disini adalah kepastian mengenai orangnya/badan hukum yang menjadi pemegang hak atas tanah dan kepastian mengenai letak, batas-batas serta luasnya bidang tanah . Dan dengan didaftar maka tentunya akan ada yang namanya Buku Tanah dan buku tanah ini adalah merupakan Bank Data bagi masyarakat , pemerintah, maupun bagi pemegang hak atas tanah. Dengan bank data /buku tanah ini kita dapat mengetahui mengenai subjek dan objek atas sebidang tanah yang pada akhirnya akan mempermudah Bak Tanah didalam melakukan kegiatan dan aktifitasnya.
Buku Tanah sebagai perwujudan dari Hak menguasai Negara dalam arti tugas dan fungsi Negara yaitu menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, ruang udara dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya berhak untuk menentukan macam-macam hak atas tanah yang dapat diberikan dan dipunyai oleh manusia Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan hukum seperti Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan lainya.

Peran dan fungsi buku tanah disini adalah untuk mengetahui hak-hak apa saja yang melekat di atas tanah dan atau yang telah diberikan oleh Negara kepada orang-perorangan atau kepada badan hukum, sehingga dengan adanya buku tanah sebagai alat kontrol atau bank data , pemerintah dapat dengan mudah menginventarisir/mengidentifikasi jenis-jenis hak yang ada di atasnya, dimana letak obyeknya dan siapa subyek pemegang haknya, yang akhirnya tercipta suatu kepastian hak dan kepastian hukum atas tanah dan tentunya dapat dengan mudah menataguna tanah/tata guna tanah dan tata ruang sehingga pembangunan dapat terarah dan tertib.

Kegiatan pembangunan senantiasa membutuhkan tanah sebagai medianya semakin hari semakin meningkat, sehingga dalam perkembanganya pemerintah berupaya menyeimbangkan antara kebutuhan dan ketersediaan tanah. Hal ini tentunya bukanlah hal yang mudah mengingat semakin berkurangnya ketersediaan tanah/lahan yang memenuhi syarat untuk pembangunan, utamanya di wilayah perkotaan. Terlebih lagi harus memenuhi persyaratan antara lain lokasi yang tepat, harga yang wajar dan kegiatan pembebasan tanahnya tidak menimbulkan konflik dengan para pemilik tanah atau yang menguasai tanah-tanah yang menjadi objek pembangunan. Fungsi dan tugas ini adalah merupakan perwujudan dari Hak Menguasai Negara yaitu mengatur dan menyelenggarakan peruntukan , penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air , ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dengan membuat suatu rencana umum mengenai penggunaan bumi, termasuk tanah , air, ruang angkasa untuk berbagai macam kepentingan yang bersifat politis, ekonomi, sosial serta keagamaan (Pasal 14 UUPA). Termasuk didalamnya pengadaan tanah bagi kepentingan umum.

Disinilah letak pentingnya keberadaan Bank Tanah ( land banking) sebagai salah satu cara/teknik mengatasi penyediaan tanah di perkotaan yang di dukung oleh ketersediaan data (buku tanah sebagai bank data ), yang mulai dari kegiatan pengadaan tanah, pematangan tanah, sampai pada penyaluran tanah untuk berbagai keperluan pembangunan , tentunya harus dilengkapi dengan informasi serta data pertanahan yang akurat melalui kegiatan pendaftaran tanah. Untuk kegiatan ini pula diperlukan Rencana Tata Ruang Wilayah/Kota yang akan menjadi acuan atau pedoman dalam menetapkan lokasi-lokasi tanah yang menjadi objek bank tanah serta untuk menetapkan peruntukan dan penggunaan tanah.

Dengan demikian terjadi keterkaitan yang erat antara fungsi buku tanah / bank data (baik sebagai bukti hak maupun sebagai warkah ) dengan bank tanah . Karena dengan tersedianya buku tanah maka pemerintah dengan mudah menetapkan dan atau mengatur peruntukan dan penggunaan tanah khususnya apabila ada kegiatan pembebasan tanah untuk kepentingan umum sehingga dapat mengendalikan mekanisme pasar dan meredam konflik.

Disinilah diperlukan peran dan fungsi pemerintah dalam arti Negara dengan menggunakan Hak menguasai Negara untuk menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan hukum yang berkaitan dengan bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dalam hal ini mengatur pelaksanaan peralihan hak atas tanah seperti jual- beli, sewa –menyewa, hibah, wakaf, warisan dan mengadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah RI untuk menjamin kepastian hukum, mengingat hal yang sangat krusial dan selalu menjadi hambatan dalam pembebasan tanah untuk kepentingan umum adalah mengenai proses peralihan hak atas tanah termasuk harga dan dasar kepemilikannya.

Adalah sudah menjadi pendapat umum bahwa, pelaksanaan pendaftaran tanah ini belum berjalan optimal/efektif , dua peraturan pemerintah sebagai amanat Pasal 19 UUPA yaitu PP. No. 10 tahun 1961 dan PP. 24 tahun 1997 belum mampu menarik minat masyarakat untuk mendaftarkan tanahnya.

Sadar akan hal tersebut pemerintah mencoba melakukan terobosan yaitu dengan menanggung biaya pendaftaran melalui program PRONA nya pada tahun 1981 dan sekarang dilanjutkan lagi dengan program , program Ajudikasi dan program LARASITA (Layanan Rakyat untuk Sertifikat Tanah) sebagai salah satu program jemput bola yakni mendekatkan pelayanan sertifikat tanah kepada masyarakat . Ini semua upaya pemerintah untuk merealisasi bebannya seperti yang diamanatkan oleh Pasal 19 UUPA.

Bank Tanah dapat mengendalikan harga melalui panitia penaksir harga tanah. Penjulaan tanah dapat pula dilakukan oleh lembaga Bank Tanah dengan mengacu pada harga tanah saat ini (present value) dalam arti tidak mengejar keuntungan. Selain itu Bank Tanah dapat meminimalisir masalah spekulasi tanah yang menyebabkan harga tanah terus melonjak , Bank Tanah juga akan menumbuhkan persaingan sehat di kalangan pengembang, sehingga penyediaan tanah untuk keperluan sosial dan berbasis masyarakat menengah ke bawah dapat direalisasikan.

Pada bagian akhir dari buku Dr. Sri Susyanti Nur, S.H., M.H. menyatakan bahwa urgensi lembaga Bank Tanah adalah menjamin penyediaan tanah di perkotaan untuk pembangunan kota berkelanjutan, mengendalikan pemanfaatan tanah secara efisien dan efektif , serta mengendalikan penguasaan dan pemilikan tanah sebagai objek spekulasi.

Bank Tanah Perkotaan sebagai suatu alternatif penyediaan tanah sangat diperlukan. Adapun konsep lembaga bank tanah di Indonesia harus berbasis pada hukum adat sebagai dasar hukum agrarian Nasional dengan berdasar pada asas-asas hukumnya, ditunjang dengan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan hidup dan sesuai pula dengan karaterisitik dan geografis pertanahan Indonesia.

Kamis, 18 November 2010

Sistem dan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia

1. Latar Belakang Masalah

Kehidupan manusia merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijalani oleh setiap manusia berdasarkan aturan kehidupan yang lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk menyebut segala sesuatu yang bersifat mengatur kehidupan manusia. Bekerjanya system norma bagi manusia adalah bagaikan pakaian hidup yang membuat manusia merasa aman dan nyaman dalam menjalani tugas hidupnya.

Salah satu norma yang menjadi aturan dalam hidup kita adalah norma hukum. Norma hukum adalah sistem aturan yang diciptakan oleh lembaga kenegaraan yang ditunjuk melalui mekanisme tertentu. Artinya, hukum diciptakan dan diberlakukan oleh institusi yang memang memiliki kompetensi atau kewenangan dalam membentuk dan memberlakukan hukum, yaitu badan legislative.

Istilah hukum di Indonesia sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari untuk menunjuk pada sistem norma yang berlaku dan atau diberlakukan di Indonesia. Hukum di Indonesia adalah hukum , sistem norma atau system aturan yang berlaku di Indonesia. Dengan kata lain yang juga popular digunakan , Hukum Indonesia adalah hukum posistif Indonesia.

Sistem hukum adaalah merupakan suatu seperangkat operasional yang meliputi institusi, prosedur, aturan hukum, dalam konteks ini ada satu Negara federal dengan lima puluh system hukum di Amerika Serikat, adanya system hukum setiap bangsa secara terpisah serta ada system hukum yang berbeda seperti haklnya dalam organsasi masyarakat Ekonomi Eropa dan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Negara hukum menghendaki segala tindakan atau perbuatan penguasa mempunyai dasar hukum yang jelas atau ada legalitasnya baik berdasarkan hukum tertulis maupun berdasarkan hukum tidak tertulis. Keabsahan Negara memerintah ada yang mengatakan bahwa karena Negara merupakan lembaga yang netral, tidak berpihak, berdiri diatas semua golongan masyarakat, dan mengabdi pada kepentingan umum. Namun dalam praktek tidak jarang istilah-istilah “demi kepentingan umum, pembangunan untuk seluruh masyarakat, Negara tidak mungkin mau mencelakakan warganya” serta ungkapan atau ucapak lain yang senada selalu dikumandangkan dalam pernyataan –pernyataan politik para petinggi Negara, dapat saja dipakai sebagai pembenaran terhadap penggunaan kekuasaan Negara untuk memaksa seseorang atau sekelompok warga agar bersedia memenuhi keinginan Negara.

Negara hukum pada dasarnya terutama bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum bagi rakyat. Oleh karenanya menurut Philipus M. Hardjon bahwa perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindak pemerintah dilandasi oleh dua prinsip ; prinsip hak asasi manusia dan prinsip Negara hukum. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia mendapat tempat utama dan dapat dikatakan sebagai tujuan daripada Negara hukum. Sebaliknya dalam Negara otoriter tidak ada tempat bagi hak asasi manusia.

Konsep Negara hukum sangat terkait dengan system hukum yang dianut oleh Negara yang bersangkutan. Dalam literature lama pada dasarnya system hukum di dunia ini dapat dibedakan dalam dua kelompok besar yaitu Sistem Hukum Kontinental dan Sistem Hukum anglo saxon.

Peradilan di Indonesia merupakan satu system, artinya peradilan di Indonesia harus dilihat , diterima dan diterapkan sebagai satu kesatuan yang tersendiri dari bagian-bagian yang tidak boleh bertentangan satu sama lain. Agar system itu terpelihara secara utuh, dibutuhkan penerapan asaa-asas hukum yang menjamin keutuhan system tadi.Sebagai contoh dikenal adanya asas res judicata proveri tate habetur, yang konsekuensinya adalah bahwa setiap putusan pengadilan harus dianggap sah sepanjang tidak dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi, dan bukan sebaliknya.

Dalam Pasal 24 Undang-Undang dasar 1945 sekarang (hasil amandemen) disebutkan bahwa :
(1) Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
(2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Sebagai pelaksanaan Pasal 24 Undang-Undang dasar 1945 tersebut dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam Pasal 10 ayat (1) disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan :
a. Peradilan Umum;
b. Peradilan Agama;
c. Peradilan Militer;
d. Peradilan Tata Usaha Negara.
Dengan demikian penyelenggaraan peradilan tata usaha Negara (peradilan administrasi ) di Indonesia merupakan suatu kehendak konstitusi dalam rangka memberikan perlindungan hukum terhadap rakyat secara maksimal.
Perlindungan hukum terhadap rakyat atas tindakan pemerintah tidak dapat ditampung oleh peradilan umum yang ada. Oleh karena itu diperlukan adanya suatu peradilan khusus yang dapat menyelsaikan madsalah tersebut, yakni, masalah sengketa antara pemerintah dengan rakyat. Peradilan ini dalam tradisi rechtstaat disebut dengan peradilan administrasi.
Dengan dasar dan dalih untuk melindungi kepentingan rakyat dan sebagai realisasi dari Undang-undang Dasar 1945 , maka lahirlah Peradilan Tata Usaha Negara yang bertugas dan berfungsi untuk menyelesaikan sengketa antara pemerintah dengan warga negaranya dan bertujuan untuk mengontrol secara yuridis tindakan pemerintah yang dinilai melanggar ketentuan administrasi ( mal administrasi) ataupun perbuatan yang bertentangan dengan hukum ( abuse of power) . Eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara diatur dalam peraturan perundang-undangan khusus yakni Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara yang kemudian dirubah dengan Undang-undang Nomor 9 tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

2. Rumusan Masalah

Bagaimana system peradilan Tata Usaha Negara di indoensia dan Apa yang menjadi kewenangan atau kompetensi dari Pengadilan Tata Usaha Negara di Indonesia ?.

3. Pembahasan
Fungsi Hukum ialah menegakkan kebenaran untuk mencapai keadilan. Keadilan adalah merupakan hal yang pokok bagi manusia dalam hidup bermasyarakat, maka dibutuhkan adanya lembaga-lembaga yang bertugas menyelenggarakan keadilan ini.
Keadilan ini dituntutkan untuk semua hubungan masyarakat, hubungan-hubungan yang diadakan oleh manusia lainnya, oleh karena itu berbicara tentang keadilan meliputi segala macam segi kehidupan manusia dalam hubungannya dengan manusia yang lain.
Keadilan itu erat hubungannya dengan kebenaran, karena sesuatu yang tidak benar tidaklah mungkin adil. Sesuatu itu benar menurut norma-norma yang berlaku akan tercapailah keadilan itu.
Kepada lembaga-lembaga yang bertugas untuk menetapkan keadilannya, atau dengan perkataan lain bertugas memberi control, meminta pertanggungjawaban dan memberikan sanksi-sanksinya, maka tindakan pertama yang harus diperhatikan ialah mencari kebenaran tentang fakta-fakta.
Peradilan Tata Usaha Negara adalah salah satu lembaga yang bertugas menyelenggarakan keadilan ini juga harus memperhatikan kebenaran-kebenaran tersebut untuk mencapai keadilan. Demikian pula para anggota yang duduk dalam lembaga ini harus mempunyai keadilan khusus untuk itu dan terutama sekali mempunyai pengetahuan hukum yang cukup luas.
Pada masa Hindia Belanda , tidak dikenal adanya Pengadilan Tata Usaha Negara atau yang dikenal dengan Sistem administrasi bereop. Hal ini terurai dalam pasal 134 ayat (1) IS yang berisi :
1. Perselisihan perdata diputus oleh hakim biasa menurut Undang-undang
2. Pemeriksaan serta penyelesaian perkara administrasi menjadi wewenang lembaga administrasi itu sendiri.

Kemudian , setelah Indonesia merdeka yaitu pada maasa UUDS 1950 , dikenal tiga cara penyelesaian sengketa administrasi yaitu :
1. Diserahkan kepada Pengadilan Perdata;
2. Diserahkan kepada Badan yang dibentuk secara istimewa;
3. Dengan menentukan satu atau beberapa sengketa Tata Usaha Negara yang penyelesaiannya diserahkan kepada Pengadilan Perdata atau Badan Khusus.
Perubahan mulai terjadi dengan keluarnya Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman . dimana pada pasal 10 nya menyebutkan bahwa Kekausaan kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan antara lain Peradilan Tata Usaha Negara .
Kewenangan Hakim dalam menyelesaikan sengketa admnistrasi Negara semakin dipertegas melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dimana disebutkan bahwa kewenangan memeriksa , memutus , dan menyelsaikan suatu perkara /senghketa administrasi berada pada Hakim/Peradilan Tata Usaha Negara setelah ditempuh upaya administrative.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara yang kemudian dirubah dengan Undang-undang Nomor 9 tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara , perlindungan hukum akibat dikeluarkannya ketetapan (beschiking) atau Keputusan tertulis dari Pejabat Tata Usaha Negara sehingga setiap keputusan TUN (KTUN) dapat digugat oleh individu/badan hukum perdata yang terkena dampak langsung dari KTUN tersebut. dapat ditempuh melalui dua jalur , yaitu melalui banding administrasi atau upaya administrasi (pasal 48 ) dan melalui peradilan TUN ( Pasal 50).
Bagi sengketa yang diajukan melalui PTUN, terhadap putusannya dapat dilakukan upaya hukum Banding melalui PTTUN (Padal 51 ayat 1) sedangkan bagi sengketa yang diajukan melalui upaya administrative, penyelesaian melalui lembaga peradilan dapat langsung diajukan ke PT TUN (pasal 51 ayat 3).
System peradilan di Indonesia menganut kedua tingkatan pemeriksaan termaksud yaitu pemeriksaan tingkat pertama oleh Pengadilan Tata Usaha Negara dan pemeriksaan tingkat kedua /tingkat ulangan /Banding oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara yang kemudian dirubah dengan Undang-undang Nomor 9 tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara ditentukan pembatasan-pembatasan kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara yaitu :
1. Pembatasan Terhadap obyek sengketa ; yang meliputi :
a. Pembatasan terhadap Keputusan Tata Usaha Negara
Tidak semua keputusan Tata Usaha Negara itu masuk sebagai obyek gugatan . Dalam Pasal 2 disebutkan bahwa yang tidak termasuk dalam pengertian Keputusan tata Usaha Negara adalah :
- Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata;
- Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum;
- Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan;
- Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan KUHP dan KUHAP atau peraturan perunfang-undanagn lain yang bersifat hukum piadana;
- Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
- Keputusan Tata Usaha Negara mengenai Tata Usaha Tentara Nasional Indonesia;
- Keputusan Komisi Pemilihan Umum, baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil Pemilu.
b. Pembatasan terhadap obyek sengketa berkaitan dengan proses penyelesaian sengketa. (pasal 48 ayat 1, 2 dan pasal 51 ayat 3 ).
c. Pembatasan terhadap obyek sengketa berkaitan dengan situasi saat diterbitkan ( Pasal 49).
2. Pembatasan terhadap Penggugat dan Tergugat; ( Pasal 1 butir 3, 5 dan 6)
3. Pembatasan terhadap Waktu untuk mengajukan gugatan; (Pasal 55)
4. Pembatasan terhadap wilayah hukum. (Pasal 6 ayat 1 dan 2).

Pembatasan –pembatasan ini bersifat langsung, tidak langsung dan pembatasan langsung bersifat sementara
Kekhususan atau spesifikasi dari Tata Usaha Negara ini terjadi pula di negeri Belanda seperti yang dijelaskan oleh Thorbecke yang mengajukan usul amandemen untuk menghapuskan campur tangan hakim sipil terhadap sengketa yang bersifat administrative itu dengan alasan bahwa sengketa demikian tidak mempunyai sifat keperdataan , melainkan administrative belaka, dan tidak dapat diserahkan kepada hakim sipil untuk menyelesaikannya.
Namun oleh loef diadakan pembedaan antara perselisihan hukum dan perselisihan kebijaksanaan . Pada umumnya kepada rakyat diberi kesempatan untuk mengajukan pengaduan kepada hakim, setiap waktu ia merasa dirugikan dalam kepentingan-kepentingan pribadi oleh keputusan , tindakan –tindakan atau penolakan badan administrative karena dilanggarnya unang-undang yang bersifat public atau peraturan perundang-undangan . Akan tetapi keputusan yang didasarkan atas kebebasan admintrasi (freis ermessen ) dihormati oleh hakim.

Pada dasarnya kedua system peradilan baik di Indonesia maupun di Belanda dalam menangani atau menyelesaikan sengketa yang menjadi wewenang Pengadilan Tata Usaha Negara adalah harus dipisahkan dari peradilan lain atau dengan kata lain tanpa campur tangan hakim sipil. Peradilannya khusus dan berdiri sendiri.
Jadi sengketa Tata Usaha Negara yang selama ini ditangani oleh peradilan umum, sisanya menyangkut sengketa karena keputusan /ketetapan (bescheking) dilimpahkan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara.

sistem dan perkembangan hukum perdata

Pada dasarnya di dunia ini ada dua system hukum yang berlaku yaitu :
1. Sistem Hukum Anglo Saxon yang tumbuh dan berkembang di Negara-negara anglo saxon seperti Amerika dan Inggris ;
2. Sistem hukum Eropa Continental yang tumbuh dan berkembang di Negara –negara Eropa dan sekitarnya.
Berbicara tentang perkembangan hukum perdata tidak dapat dilepas dari sejarah hukum perdata itu sendiri. Hukum sebagai sebuah aturan yang mengikat dan mengatur kehidupan manusia di dalam hidup bermasyarakat dan berbangsa tentunya haruslah di himpun dan dikodifikasi secara baik dan benar agar dapat lebih mudah untuk diterapkan dan ditaati.
Hukum perdata itu pada dasarnya berasal dari Prancis yang berinduk pada Code Civil Prancis pada zaman Napoleon Bonaparte Prancis. Oleh karena Prancis pernah menjajah Belanda maka system hukum atau Code Civil Prancis ini diterapkan atau diberlakukan pula di Negeri Belanda sebagai Negara jajahannya dan akhirnya setelah Belanda merdeka dari kekuasaan Prancis , maka Belanda menginginkan pembentukan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sendiri yang lepas dari pengaruh kekuasaan Prancis. Dan dengan didorong oleh rasa ingin memiliki satu kodifikasi hukum sendiri maka pada tahun 1838 terbntuklah satu kodifikasi hukum tersendiri setelah berjuang bertahun-tahun untuk mewujudkannya.
Sistem hukum dan atau kodifikasi hukum yang dilakukan oleh Belanda ini akhirnya tertular juga ke Indonesia, dengan cara yang sama seperti yang dilakukan oleh Prancis terhadap Belanda yaitu dengan menjajah Negara termaksud dengan perlahanlahan system hukum di Negara asalnya diterapkan di daerah atau Negara yang menjadi jajahannya. Kodifikasi hukum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( BW) di negara Belanda diterapkan juga di Negara jajahannya yang bernama pada saat itu Hindia Belanda dengan nama B.W. Hindia Belanda, yang mana B.W. ini disahkan berlakunya oleh raja pada tanggal 16 Mei 1846 yang diundangkan melalui Staatsblad 1847-23 dan dinyatakan berlaku pada tanggal 1 Mei 1848.
Setelah Indonesia merdeka , berdasarkan aturan peralihan Undang-Undang Dasar 1945 , maka B.W. Hindia Belanda tetap dinyatakan berlaku sebelum digantikan oleh undang-undang dasar ini. B.W. hindia Belanda ini disebut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia, sebagai induk hukum perdata Indonesia.
Yang dimaksud dengan hukum perdata Indonesia adalah hukum perdata yang berlaku di Indonesia. Hukum perdata yang berlaku di Indonesia adalah hukum perdata barat (Belanda) , yang berinduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdt.), yang dalam bahasa aslinya disebut Burgelijk Wetboek (BW). Burgelijk Wetboek (BW) ini berlaku di Hindia Belanda dulu . sebagian materi Burgelijk Wetboek (KUHPerdt) ini sudah dicabut berlakunya dan diganti dengan undang-undang Republik Indoenesia seperti Undang-undang Perkawinanan Nomor 1 Tahun 1974 dan hak-hak kebenrdaan pada buku I dan II serta Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok Agraria, dan lain sebagainya seperti yang saat ini kita ketahui bersama.
Untuk mengetahui bahwa hukum perdata itu berpredikat nasional perlu ditentukan criteria yang jelas. Kriteria tersebut adalah sebagai berikut :
1. Berasal dari hukum perdata Indonesia ;
2. Berdasarkan pada system nilai budaya Pancasila;
3. Produk hukum pembentuk undfang-undang Indonesia;
4. Berlaku untuk semua wrga Negara Indonesia;
5. Berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia.

Inilah kriteri atau cirri khas bahwa hukum itu dikatakan sebagai sebagai hukum nasional yang merupakan evolusi atau perkembangan dari sejarah hukum perdata dari Belanda sebagai nenek moyangnya hukum perdata.
Hukum perdata Indonesia setelah merdeka sudah banyak berubah atau berkembang dan sudah diproduksi sendiri sebagai pengganti hukum kolonial Belanda sebagai sebuah hukum nasional yang bersumber dan berasal dari Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila.
Pemberlakuan hukum perdata Indonesia didasarkan pada ketentuan undang-undang, perjanjian yang dibuat oleh para pihak dan keputusan hakim. Realisasi keberlakuan itu adalah pelaksanaan kewajiban hukum yaitu melaksanakan perintah dan menjauhi larangan yang ditetapkan oleh hukum dimana kewajiban selalu diimbangi dengan hak.
Salah satu contoh perkembangan hukum dimana sejak zaman Romawi , kemudian ke Prancis lalu ke Negeri Belanda dan akhirnya ke Indonesia mengenai Perbuatan Melawan Hukum. Yang mana Perbuatan Melawan Hukum itu dirumuskan sebagai perbuatan yang merugikan orang lain , yang menyebabkan orang yang karena salahnya menimbulkan kerugian tersebut harus mengganti kerugian. Rumusan tersebut kemudian diambil dan diterapka di negeri Belanda , yang kemudian oleh Belanda di bawa ke Indonesia, yang rumusan seperti itu sekarang kita temukan dalam pasal 1365 KUHPerdata Indonesia.
Untuk mengetahui sekilas mengenai pekembangan Perbuatan Melawan Hukum ini berikut ini akan digambarkan perkembangannya yaitu :
a. Periode sebelum tahun 1838.
Pada periode ini ketentuan seperti Pasal 1365 KUHPerdata di Indonesia saat ini tentu belum ada di Belanda . Karena kala itu tentang Perbuatan Melawan Hukum ini, pelaksanaannya belum jelas dan belum pernah terarah.

b. Periode antara tahun 1838-1919
Setelah BW Belanda dikodifikasi , maka mulailah berlaku ketentuan dalam pasal 1401 (yang sama dengan ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata di Indonesia) tentang Perbuatan Melawan Hukum.. Meskipun kala itu ditafsirkan bahwa yang merupakan perbuatan melawan hukum , baik berbuat sesuatu,(aktif berbuat ) maupun tidak berbuat sesuatu (pasif) yang merugikan orang lain baik yang disengaja maupun yang merupakan kelalaian sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 1366 KUHPerdata Indonesia , tetapi sebelum tahun 1919 diangap tidak termasuk perbuatan melawan hukum jika perbuatan tersebut hanya merupakan tindakan yang bertentangan dengan kesusilaan atau bertentangan dengan putusan masyarakat perihal memperhatikan kepentingan orang lain.

c. Periode tahun 1919
Dalam tahun 1919 terjadi suatu perkembangan yang luar biasa dalam bidang hukum tentang Perbuatan Melawan Hukum , khususnya di negeri Belanda sehingga demikian pula di Indonesia. Perkembangan tersebut ditandai dengan bergesernya makna Perbuatan Melawan Hukum dari semula yang cukup kaku kepada perkembangan nya yang luas dan luwes.Perkembangan tersebut adalah diterimanya penafsiran yang luas terhadap Perbuatan melawan Hukum oleh Hoge raad ( Mahkamah Agung) negeri Belanda yakni penafsiran terhadap pasal 1401 (yang sama dengan ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata di Indonesia) yaitu terhadap kasus Linderbaum versus Cohen. Yang intinya tentang persaingan tidal sehat dalam bisnis, yaitu dengan membajak karyawan linderbaum agara karyawan tersebut membuka rahasia atau nama –nama nasabah dari Linderbaum. Perbuatan Cohen termaksud oleh Hoge Raad ( Mahkamah Agung) dianggap Perbuatan melawan Hukum sehingga melanggar pasal 1401 BW Belanda atau yang sama dengan ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata di Indonesia.
Dalam putusannya tersebut Hoge Raad ( Mahkamah Agung) menyatakan bahwa :
“ Yang dimaksud dengan Perbuatan Melawan Hukum bukan hanya melanggar undang-undang yang tertulis seperti yang ditafsirkan saat ini, melainkan juga termasuk kedalam pengertian Perbuatan Melawan Hukum adalah setiap tindakan :
a. Yang melanggar hak orang lain yang dijamin oleh hukum atau
b. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, atau
c. Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan , atau
d. Perbuatah yang bertentangan dengan sikap yang baik dalam bermasyarakat untuk memperhatikan kepentingan orang lain.

perbandingan hukum

PERBANDINGAN HUKUM

Perbandingan hukum sebagai metode penelitian dan sebagai ilmu pengetahuan usianya masih relatif muda. Namun demikian manfaatnya semakin dirasakan.
Perbandingan hukum mempunyai banyak kegunaan, manfaat serta fungsinya tidak kecil bagi berbagai bidang antara lain :
a. Berfungsi bagi pengembangan ilmu hukum di Indonesia ;
b. Berfungsi bagi praktik dan pembinaan hukum ;
c. Berfungsi dalam rangka perencanaan hukum.
Perbandingan hukum baru berkembang secara nyata pada akhir abad ke 19 atau permulaan abad ke 20. Lebih-lebih pada saat sekarang di mana Negara-negara di dunia mempunyai saling ketergantungan antara Negara yang satu dengan Negara yang lain dan saling membutuhkan hubungan yang erat. Perbandingan hukum menjadi lebih diperlukan karena :
a. Dengan perbandingan hukum dapat diketahui jiwa serta pandangan hidup bangsa lain termasuk hukumnya ;
b. Dengan saling mengetahui hukumnya , sengketa dan kesalahpahaman dapat dihindari , bahkan dapat “ untuk mencapai perdamaian dunia”.
Dengan demikian jelaslah bahwa tujuan perbandingan hukum tidak semata-mata untuk mengetahui perbedaan dan persamaannya saja, tetapi jauh dari itu ialah untuk mengetahui sebab-sebab dan faktor-faktor yang mempengaruhi persamaan dan perbedaan daripada system-sistem hukum yang diperbandingkan.
Seperti yang tersebut di atas bahwa hakikat dari tujuan perbandingan hukum antara lain adalah untuk mengetahui adanya perbedaan-perbedaan dan titik-titik persamaan dalam hukum yang diperbandingkan. Secara luas dapat dikatakan bahwa perbedaan dan persamaan itu ialah karena hukum merupakan bagian dari kebudayaan bangsa.
Hukum adalah gejala sosial dan merupakan bagian dari kebudayaan bangsa. Tiap bangsa mempunyai kebudayaan sendiri yang berbeda dengan kebudayaan bangsa lainnya dan akhirnya membuahkan hukum tersendiri, sehingga system hukum dari Negara yang satu akan berbeda dengan system hukum bangsa yang lain. Misalnya Sistem Hukum Indonesia tidak akan sama dengan system hukum di Inggris, karena Negara Indoenesia menganut system eropa continental yang berasal dari Negara Eropa yaitu Belanda dan Inggris menganut system hukum Anglo saxson.
Adanya perbedaan termaksud disebabkan oleh karena hukum merupakan gejala sosial dan merupakan bagian dari kebudayaan bangsa.Setiap bangsa mempunyai sistem hukumnya sendiri. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa yang menyebabkan perbedaan adalah iklim, lingkungan, pandangan hidup, polaa politik dan lain sebagainya.
Sedangkan persamaan disebabkan oleh karena adanya rasa hukum dan rasa keadilan yang sama.
Untuk lebih memahami dan mendalami mengenai perbandingan hukum ini pemakalah akan memaparkan beberapa contoh dari perbedaan system hukum dan cara pandang dari system hukum itu sendiri yaitu antara lain mengenai masalah :
1. Mengenai eksistensi harta bersama menurut Undaang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dengan Kompilasi Hukum Islam .

Asas equalitas yang dipancangkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menentukan bahwa hak dan kedudukan isteri sama dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan masyarakat, seperti yang tertuang pada point 4 huruf f, Penjelasan umum Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan :
“ hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami isteri”.

Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Bab VII yang mengatur tentang Harta Benda Dalam Perkawinan yaitu Pasal 35, 36, dan 37 menyatakan bahwa proses pengelolaan harta bersama adalah :

a. Pasal 35
(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
(2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan , adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Sedangkan menurut penjelasannya apabila perkawinan putus maka harta bersama tersebut diatur menurut hukumnya masing-masing.
b. Pasal 36
(1) Mengenai harta bersama , suami isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
(2) Mengenai harta bawaan masing-masing , suami isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.

c. Pasal 37
Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.
Menurut penjelasan Pasal 37 bahwa Yang dimaksud dengan “hukumnya” masing-masing ialah hukum agama, hukum adat, dan hukum – hukum lainnya.

Pada ketentuan Pasal 35 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jelas terbaca bahwa harta dalam perkawinan itu terdiri dari harta bersama dan harta bawaan.
Harta Bersama adalah harta benda yang diperoleh selama ikatan perkawinan berlangsung dan oleh karena itu ia menjadi milik bersama suami / isteri. Karena demikian sifatnya, maka terhadap harta bersama suami/isteri dapat bertindak hanya atas persetujuan bersama.
Harta Bawaan adalah harta yang diperoleh masing-masing suami/isteri sebagai hadiah atau warisan selama dalam ikatan perkawinan , dan oleh karena itu ia menjadi hak dan dikuasai sepenuhnya oleh masing-masing suami/isteri.

Pengaturan harta bersama yang demikian sesuai dengan hukum adat, di mana dalam hukum adat itu dibedakan antara barang gono-gini yang menajdi milik bersama suami-isteri, dan barang –barang gawan yang tetap menjadi milik masing-masing pihak suami-isteri. Diikutinya system hukum adat oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagai hukum nasional adalah sebagai konsekuensi dari politik hukum Indonesia yang telah menggariskan bahwa pembangunan hukum nasional haruslah berdasarkan hukum adat sebagai hukum kepribadian bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila.

Sedangkan menurut konsep Kompilasi Hukum Islam, bahwa soal harta bersama itu diatur secara lebih enumerative, mulai Pasal 85 sampai dengan Pasal 97. Selain itu , dalam KHI juga telah didefinisikan secara gambling mengenai apa yang dimaksud dengan harta bersama seperti yang termuat dalam pasal 1 huruf f, yakni :

“ Harta kekayaan dalam perkawinan atau syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama-sama suami-isteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung, dan selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun”.

Adapun pengaturan harta bersama secara lebih lanjut, KHI menyatakan :

a. Pasal 85
Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau isteri
b. Pasal 86
(1) Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri karena perkawinan
(2) Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya
c. Pasal 87
(1) Harta bawaaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing, seoanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan
(2) Suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan hukum atas masing-masing berupa hibah, sadaqah atau lainnya.
d. Pasal 88
Apabila terjadi perselisihan antara suami isteri tentang harta bersama maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama.
e. Pasal 89
Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama , harta isteri maupun hartanya sendiri
f. Pasal 90
Isteri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama , maupun harta suami yang ada padanya
g. Pasal 91
(1) Harat bersama sebagaimana tersebut dalam pasal 85 di atas dapat berupa benda berwujud atau tidak berwujud
(2) Harta bersama yang tidak berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak , benda bergerak dan surat-surat berharga
(3) Harta bersama tidak berwujud dapat berupa hak maupun kewajiban
(4) Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lainnya
h. Pasal 92
Suami atau Isteri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama
i. Pasal 93
(1) Pertanggungjawaban terhadap hutang suami atau isteri dibebankan pada hartanya masing-masing
(2) Pertanggungjawaban terhadap hutang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga , dibebankan pada harta bersama
(3) Bila harta bersama tidak mencukupi , dibebankan pada harta suami
(4) Bila harta suami tidak ada atau tidak mencukupi dibebankan kepada harta isteri
j. Pasal 94
(1) Harat bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang, masing-masing terpisah dan berdiri sendiri
(2) Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai lebih dari seorang sebagaimana tersebut ayat (1) , dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga atau yang keempat
k. Pasal 95
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 24 ayat (2) huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 136 ayat (2) , suami atau isteri dapat meminta Pengadilan Agama untuk meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai , apabila salah satu melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama seperti judi, mabuk, boros, dan sebagainya
(2) Selama masa sita dapat dilakukan penjualan atas harta bersama untuk kepentingan keluarga dengan izin Pengadilan Agama
l. Pasal 96
(1) Apabila terjadi cerai mati, maka separoh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama
(2) Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau isteri yang isterinya atau suaminya hilang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar keputusan Pengadilan Agama.
m. Pasal 97
Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan

2. Mengenai Adopsi/Pengangkatan Anak

Dalam hal ini akan dikemukan prinsip anak angkat menurut Hukum Islam dan Hukum Adat dan KUHPerdata Belanda.

a. Menurut Hukum Islam
Anak angkat dalam arti memelihara, mendidik dan mengasuh seseorang anak orang lain adalah sangat dianjurkan dalam islam. Tetapi penamaan anak angkat tidak menjadikan seseorang menjadi mempunyai hubungan dengan seseorang lain seperti hubungan yang terdapat dalam hubungan darah. Oleh karena itu , penamaan dan penyebutan anak angkat tidak diakui dalam hukum Islam untuk dijadikan sebagai dasar dan sebab mewaris, karena prinsip pokok dalam kewarisan adalah hubungan darah atau arham.
Hubungan antara anak angkat dengan orang yang mengangkatnya bukanlah hubungan anak sulbi. Anak sulbi asalnya anak shulbi artinya ialah anak kandung yang berasal dari sumsum tulang sulbi atau tulang punggung kamu.
Jadi dalam hukum islam pada prinsipnya anak angkat itu tidak dilarang sepanjang hal itu menyangkut memelihara, mendidik dan mengasuhnya akan tetapi anak angkat itu tidak dikenal bila dihubungkan atau dikaitkan dengan kedudukan hukumnya dalam hal ini apabila menjadi ahli waris atau memperoleh kewarisan.

b. Menurut Hukum Adat
Dalam hukum adat justeru anak angkat atau pengangkatan anak ini diakuli dan harus dilakukan secara jelas, tegas dan terang atau tunai, yaitu dilakukan dengan upacara-upacara adat. Hal ini berkaitan dengan hubungan atau kedudukan hukum antara anak angkat dengan orang tua angkat serta orang tua kandungnya.
Dalam masyarakat hukum adat , dengan pengangkatan anak, maka putuslah hubungan keluarga antara anak tersebut dengan orang tua kandungnya. Dalam hal pewarisan anak tersebut mewaris dari orang tua angkatnya seperti halnya anak kandung. Jadi kedudukan hukum antara anak angkat dengan anak kandung sama dalam hal pewarisan.

c. Menurut KUHPerdata Barat
KUHPerdata Belanda yang lama tidak mengenal lembaga adopsi sehingga KUHPerdata Indonesia pun tidak mengenalnay meskipun Code Civil Prancis mengenal adopsi. Halini disebabkan karena pandangan orang-orang Belanda yang menganggap anak hanya mereka yang berhubungan darah semata-mata. Akan tetapi , perkembangan selanjutnya adalah bahwa adopsi sudah dikenal dalam KUH Perdata Belanda yang baru yaitu sejak tahun 1956.

3. Mengenai putusnya perkawinan ;
a. Menurut Hukum Adat
Dengan putusnya perkawinan ,maka bekas isteri adalah bebas untuk kawin lagi. Ia tidak dapat menuntut keprluan hidup dari bekas suaminya; sebaliknya bagi mereka yang beragam Kristen , menurut ketentuan pasal 62 H.O.C.I., ia dapat menuntut keperluan hidup dari suaminya melalui pengadilan.
Anak-anak yang masih menyusu (dibawah 2/3 tahun) selalu mengikuti ibunya. Sesudah itu, tempat mereka bergantung pada system kekerabatan masing-masing.

b. Menurut Hukum Islam
1. Akibat putusnya perkawinan karena meninggalnya suami atau isteri adalah sebagai berikut :
 Suami ditinggal mati oleh isterinya dapat secara langsung melakukan perkawinan dengan wanita lain karena tiada iddah bagi bekas suami;
 Suami dapat menerima warisan dari harta peninggalan isteri;
 Suami wajib bertanggung jawab terhadap berlangsungnya pemeliharaan, pengurusan dan pengasuhan anak-anak;
 Sebaliknya, isteri yang ditinggal mati suaminya baru boleh kawin lagi setelah iddahnya selesai;
 Isteri wajib menjalani iddah menurut ketentuan yang berlaku;
 Juga berhak mewaris harta peninggalan mendiang suaminya;
 Isteri wajib melanjutkan pemeliharaan , pengurusan, pengasuhan, dan pemeliharaan anak-amaknya yang ditinggalkan mati suaminya.

2. Akibat putusnya perkawinan karena talak ba’in kecil adalah sebagai berikut ;
 Ikatan perkawinan menjadi putus , maka putus pula hak dan kewajiban mereka sebagai suami dan isteri;
 Bila isterinya sedang dalam keadaan hamil , maka ia berhak atas tempat tinggal dan keperluan hidup dari bekas suaminya selama menjalani iddahnya, yaitu sampai me;ahirkan anaknya;
 Jika bekas isteri tiak dalam keadaan hamil , maka bekas isteri itu berhak atas keperluan hidup, baik dalam menjalani masa iddahnya maupun masa-masa berikutnya;
 Hak memperoleh keperluan hidup selama dalam keadaan hamil menjadi gugur , bilamana yang bersangkutan meninggalkan tempat tinggal yang ditunjuk oleh bekas suami tanpa alasan yang dapat dibenarkan;
 Bila bekas isteri menjalani iddahnya akibat talak ba’in yang diduga tidak hamil, sehingga tidak ditetapkan hak keperluan hidup dan tempat tinggal baginya selama iddah, kemudian terbukti bahwa ia hamil, maka sejak diketahuinya kehamilan tersebut bekas isteri berhak atas keperluan hidup dan tempat tinggal dari bekas suaminya dan diperhitungkan berlaku surut sejak dijatuhkannya talak;
 Jika bekas isteri menjalani iddahnya akibat talak ba’in mengakui dirinya hamil, oleh karena ia memperoleh keperluan hidup dan tempat tinggal dari bekas suaminya, kemudian tidak terbukti bahw ia tidak hamil, maka sejak saat itu hak atas keperluan hidup menjadi gugur , dan ketentuan inipun berlaku surut diperhitungkan sejak talak ba’in dijatuhkan;
 Atas hak keperluan hidup dan tempat tinggal bekas isteri, jika kehamilan itu akibat wathi syubhat atau nihak fasid;
 Hutang keperluan hidup dan mas kawin/mahar yang belum dibayar , bekas suaminya melunasinya;
 Antara bekas suami dan isteri tidak dapat saling mewaris , walaupun kematian bekas suami atau bekas isteri dalam keadaan iddah.
3. Akibat putusnya perkawinan karena talak ba’in besar adalah sebagai berikut ;
 Dalam kasus ba’in besar , bekas suami boleh mengawini kembali bekas isterinya, asalkan bekas isteri tersebut telah kawin dengan orang lain dengan syarat telah pernah disetubuhi dan kemudian bercerai secara wajar, dan ia telah selesai menjalani iddahnya dari suami kedua itu;
 Dalam kasus talak ba’in besar yang diakibatkan terjadinya li’an maka antara bekas suami isteri tersebut dilarang kawain lagi (hukumnya haram)
 Bekas isteri tiada memperoleh keperluan hidup maupun tempat tinggal bekas suaminya, sebab dalam kasus ini tidak ada kemungkinan untuk kawin kembali secara langsung.

c. Menurut BW
Dengan putusnya perkawinan , maka semua akibat perkawinan, yaitu semua hak dan kewajiban , menjadi hapus sejak saat itu. Bekas isteri memperoleh kembali statusnya sebagai wanita yang tidak kawin.Kebersamaan/persatuan harta perkawinan menjadi terhenti dan tibalah saatnya untuk pemisahan dan pembagian. Kekuasaan orang tua juga menjadi terhenti dan diganti dengan perwalian.
Akan tetapi terhentinya akibat perkawinan itu tidak berlaku surut. Akibat perceraian itu baru timbul pada saat sampai terdaftarnya putusan pengadilan. Hal ini perlu diketahui dalam hubungannya dengan pemberian –pemberian karena perkawinan. Hanya ada pengecualian yang diatur dalam pasal 223 BW., yang mengatakan , bahwa terhadap pihak yang dikenai putusan perceraian, maka pihak itu kehilangan semua keuntungn yang disanggupkan pihak yang lain dalam masa perkawinan.

d. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 , mengenai akibat putusnya perkawinan diatur dalam pasal 41 yang berbunyi : “ Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak –anaknya semata-mata berdasarkan kepentingan anak ;bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak –anak pengadilan member keputusannya;
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya-biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.
Dari ketentuan tersebut di atas, meskipun perkawinan telah bubar baik ayah maupun ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anakanak mereka.

PERBEDAAN DAN PERSAMAAN ANTARA PASAL 76 KUHPERDATA DENGAN PASAL 2 -SAMPAI DENGAN PASAL 9 PP. NO. 9 TAHUN 1975

KUHPerdata
Pasal 76 : menyebutkan bahwa :
“ Perkawinan harus dilaksanakan di muka umum, dalam gedung tempat membuat akta catatan sipil, di hadapan pegawai catatan sipil tempat tinggal salah satu pihak, dan dihadapan dua orang saksi, baik keluarga maupun bukan keluarga, yang telah mencapai umur dua puluh satu tahun dan berdiam di Indonesia “
Jadi dengan rumusan atau ketentuan pasal 76 tersebut maka diperoleh gambaran bahwa perkawinan menurut KUHPerdata itu harus :
1. Dilaksanakan di muka umum;
2. Dalam gedung tempat membuat akta catatan sipil;
3. Di hadapan pegawai catatan sipil tempat tinggal salah satu pihak;
4. Dihadapan dua orang saksi baik keluarga maupun bukan keluarga;
5. Telah mencapai umur 21 tahun ;
6. Berdiam /bertempat tinggal di Indonesia.

Sedangkan menurut ketentuan pasal 2 sampai dengan 9 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 adalah sebagai berikut :
1. Pasal 2 ayat (1)

“ Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat”.

2. Pasal 3 ayat :

(1) Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat ditempat perkawinan akan dilangsungkan.
(2) Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan berlangsung.



3. Pasal 4
“ Pemberitahuan dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai , atau oleh orang tua atau wali”.

4. Pasal 5

“Pemberitahuan memuat nama, umur, agama/kepercayaan,pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin disebutkan juga nama isteri atau suami terdahulu”.

5. Pasal 6 ayat :

(1) Pegawai Pencatat yang menerima pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan, meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut Undang-undang.
(2) Selain penelitian terhadap hal sebagai dimaksud dalam ayat (1) , Pegawai Pencatat meneliti pula :
a. Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai. Dalam hal tidakada akte kalahiran atau akte kenal lahir , dapat dipergunakan surat keterangan yang menyatakan umur dan asal usul calon mempelai yang diberikan oleh Kepala Desa atau yang setingkat dengan itu.
b. Keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan,pekerjaan dan tempat tinggal orang tua calon mempelai.
c. Izin tertulis/ozon Pengadilan sebagai dimaksud dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5) undang-undang, apabila salah seotang calon mempelai atau keduanya belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun :
d. Izin pengadilan sebagai dimaksud pasal 4 undang-undang : dalam hal calon mempelai adalah seorang suami yang mempunyai isteri.
e. Dispensasi Pengadilan/pejabat sebagai dimaksud Pasal 7 ayat (2) undang-undang.
f. Surat kematian Isteri atau suami yang terdahulu atau dalam hal perceraian surat keterangan perceraian , bagi perkawinan untum kedua kalinya atau lebih;
g. Izin tertulis dari Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri HANKAM/PANGAB, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya anggota Angkatan bersenjata.
h. Surat kuasa otentik atau di bawah tangan yang disahkan oleh Pegawai Pencatat, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya tidak dapat hadir sendir karena sesuatu alasan yang penting, sehingga mewakilkan kepada orang lain.

6. Pasal 7 ayat :

(1) Hasil penelitian sebagai dimaksud pasal 6 , oleh Pegawai Pencatat ditulis dalam sebuah daftar yang diperuntukkan untuk itu.
(2) Apabila ternyata dari hasil penelitian terhadap halangan perkawinan sebagai dimaksud undang-undangdan atau belum dipenuhinya persyaratan tersebut dalam pasal 6 ayat (2) Peraturan pemerintah ini, keadaan itu segera diberitahukan kepada calon mempelai atau kepada orangtua atau kepada walinya.

7. Pasal 8 : “ Setelah dipenuhinya tata cara dan syarat-syarat pemberitahuan serta tiada suatu halangan perkawinan, Pegawai pencatat menyelenggarakan pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan dengan cara menempelkan surat pengumuman menurut formulir yang ditetapkan pada Kantor Pencatatan/perkawinan pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum “.

8. Pasal 9 : “ Pengumuman ditandatangani oleh Pegawai Pencatat dan memuat :
a. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman dari calon mempelai dan dari orangtua calon mempelai; apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin disebutkan nama isteri atau suami mereka terdahulu;
b. Hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan akan dilangsungkan.

A. PERSAMAANNYA
Baik pasal 76 KUHPerdata maupun ketentuan PP. No. 9 tahun 1975
1. Sama-sama harus menyatakan/memberitahukan kehendaknya untuk kawin kepada Pegawai Pencatat.
2. Sama-sama mensyaratkan adanya pendaftaran dan pencatatan perkawinan itu oleh Pegawai Pencatat.
3. Sama-sama harus dihadiri oleh dua orang saksi
4. Sama-sama harus diumumkan dengan tenggang waktu 10mhari kerja ditempat terbuka untuk umum.
5. Sama-sama mencantumkan Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman dari calon mempelai dan dari orangtua calon mempelai; apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin disebutkan nama isteri atau suami mereka terdahulu; dan Hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan akan dilangsungkan.
6. Sama-sama dilakukan penelitian berkas dan halangan kawin oleh Pegawai Pencatat.

B. PERBEDAANNYA
Menurut Pasal 76 KUHPerdata menetapkan bahwa perkawinan itu harus :

1. Dilaksanakan di muka umum;
2. Dalam gedung tempat membuat akta catatan sipil;
3. Di hadapan pegawai catatan sipil tempat tinggal salah satu pihak;
4. Dihadapan dua orang saksi baik keluarga maupun bukan keluarga;
5. Telah mencapai umur 21 tahun ;
6. Berdiam /bertempat tinggal di Indonesia.
Menurut PP. No. 9 Tahun 1975 menetapkan bahwa perkawinan itu harus :
1. Pemberitahuan dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai , atau oleh orang tua atau wali”.
2. Adanya Surat kuasa otentik atau di bawah tangan yang disahkan oleh Pegawai Pencatat, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya tidak dapat hadir sendir karena sesuatu alasan yang penting, sehingga mewakilkan kepada orang lain.
3. Batas usia untuk kawin minimal 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita.
4. Apabila Calon mempelaibelum berusia 21 tahun harus mendapat izin kedua orangtua atau wali sedangkan KUHPerdata tidak .
PERSAMAAN DAN PERBEDAAN ANTARA PENCABUTAN DAN PEMBEBASAN DARI KEKUASAAN ORANG TUA

Menurut KUHPerdata bahwa secara garis besar kekuasaan orang tua dibedakan atas :
1. Kekuasaan orang tua terhadap diri anak ;
2. Kekuasaan orang tua terhadap harta benda.
Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya, kewajiban ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri , kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus..
Sedangkan KUHPerdata menyebutkan bahwa kekuasaan orang tua terhadap diri anak adalah kewajiban untuk memberi pendidikan dan penghidupan kepada anaknya yang belum dewasa .
Atas dasar kekuasaan orang tua yang menjadi kewajiban orang tua, maka kekuasaan orang tua baik keduanya (bapak dengan Ibu) maupun salah satunya dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain , keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang dengan keputusan Pengadilan .
Dalam tugas /kertas kerja ini akan dibahas mengenai Persamaan dan Perbedaan antara PENCABUTAN dan PEMBEBASAN dari Kekuasaan Orang Tua.
I. PERBEDAANNYA

A. PEMBEBASAN DARI KEKUASAAN ORANG TUA

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak satupun pasal yang mengatur mengenai Pembebasan kekuasaan Orang Tua. Undang – undang termaksud hanya mengatur mengenai pencabutan kekuasan orang tua .

Oleh karena dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengatur mengenai pembebasan orangtua dari kekuasaan orangtua terhadap anak, maka yang dapat dijadikan dasar atau sebagai dasar hukumnya adalah KUHperdata, yaitu pasal 319a sampai dengan 319m (pasal-pasal ini juga mengatur pemecatan/pencabutan).

Pasal 319 a paragraf pertama menyebutkan bahwa :
“ Si ayah atau si ibu yang melakukan kekuasaan orangtua, dapat dibebaskan dari kekuasaan orangtua, baik terhadap semua anak-anak maupun terhadap seorang anak atau lebih, atas permohonan dewan perwalian atau atau atas tuntutan jawatan kejaksaan , bila ternyata bahwa dia tidak cakap atau tidak mampu memenuhi kewajibannya untuk memelihara dan mendidik anak-anaknya , dan kepentingan anak-anaknya itu tidak berlawanan dengan pembebasan itu berdasarkan hal lain”.

Dengan demikian maka pembebasan orangtua dari kekuasaan orangtua dapat dilakukan atas permohonan dewan perwalian atau atas tuntutan kejaksaan, apabila :
1. Dia ( Orangtua) tidak cakap ;
2. Dia (orangtua) tidak mampu memenuhi kewajibannya untuk memelihara dan mendidik anak-anaknya dan kepentingan anak itu tidak bertentangan dengan pembebasan itu berdasarkan hal lain.

B. PENCABUTAN DARI KEKUASAAN ORANG TUA
Pemecatan orangtua dari kekuasaan orangtua dapat dilakukan oleh Negara apabila orangtua tidak patut dan tidak mau memenuhi kewajibannya sebagai pemelihara anak. Pemecatan dapat dilakukan oleh hakim terhadap setiap orangtua atas satu atau lebih , dengan memperhatikan hanya kepentingan anak-anak.Pasal 319 a ayat 2 memberi contoh yang didalamnya menyebutkan dasar-dasar untuk menuntut
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengenai Pencabutan kekuasaan orangtua hanya diatur dalam satu pasal saja yaitu pasal 49 ayat (1) yang berbunyi :
“ (1) salah satu atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang dengan keputusan Pengadilan dalm hal-hal :
a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya;
b. Ia berkelakuan buruk sekali.
Sedangkan pasal 319 a paragraph 2 menyebutkan bahwa :
“ Bila hakim menganggap perlu untuk kepentingan anak-anak,masing-masing dari orangtua, sejauh belum kehilangan kekuasaan orangtua, boleh dipecat dari kekuasaan orangtua, baik terhadap semua anak maupun terhadap seorang anak atau lebih, atas permohonan orangtuanya yang lainnya atau salah seorang keluarga sedarah atau semenda dari anak-anak itu sampai dengan derajat keempat, atau dewan perwalian , atau jawatan kejaksaan, atas dasar :
1. Menyalahgunakan kekuasaan orangtua atau terlalu mengabaikan kewajiban memelihara dan mendidik seorang anak atau lebih;
2. Berkelakuan buruk;
3. Dijatuhi hukuman yang tak dapat ditarik kembali karena sengaja ikut serta dalam suatu kejahatan dengan seorang anak di bawah umur yang ada dalam kekuasaannya;
4. Dijatuhi hukuman yang tidak dapat ditarik kembali karena melakukan suatu kejahatan yang tercantum dalam Bab XIII, XIV, XV, XVIII, XIX, dan XX, Buku Kedua Kitab Undang-undang Hukum Pidana, terhadap seorang di bawah umur yang ada dalam kekuasaannya;
5. Dijatuhi hukuman badan yang tidak dapat ditarik kembali untuk dua tahun atau lebih.

II. PERSAMAANNYA

Untuk membahas mengenai persamaannya akan dilihat dari beberapa segi/aspek yaitu :

a. Segi/ Aspek Persyaratan atau pihak yang berhak mengajukan permohonan yaitu Dewan Perwalian dan Kejaksaan: (Pasal 319a KUHperdata)

Baik Pembebasan maupun pemecatan sama –sama dimohonkan oleh Dewan Perwalian atau Kejaksaan.

b. Segi/aspek Permohonan/tuntutan diajukan kepada Pengadilan Negeri : (Pasal 319b KUHperdata)

Baik Pembebasan maupun pemecatan sama –sama harus mengajukan permohonan yang memuat peristiwa-peristiwa dan keadaan-keadaan yang menjadi dasarnya, dan diajukan bersama dengan surat –surat yang diperlukan sebagai bukti kepada pengadilan negeri tempat tinggal orangtua yang dimintakan pembebasannya atau pemecatannya, atau bila tidak ada tempat tinggal yang demikian, kepada Pengadilan Negeri ditempat tinggalnya yang terakhir, atau bila permohonan atau tuntutan itu mengenai pembebasan atau pemecatan salah seorang dari orangtua yang diserahi tugas melakukan kekuasaan orangtua setelah pisah meja dan ranjang. Dalam permohonan atau tuntutan itu , panitera pengadilan hal dicatat terlebih dahulu hari pengajuannya. Kemudian salinan permohonan atau tuntutan itu beserta surat-surat tersebut di atas harus disampaikan secepatnya oleh panitera pengadilan negeri kepada dewan perwalian, kecuali bila permohonan atau tuntutan untuk pelepasan atau pemecatan itu diajukan oleh dewan perwalian sendiri. (pasal

c. Segi/Aspek tenggang waktu perlawanan yang dapat diajukan oleh orangtua yang dipecat atau dibebaskan dari kekuasaan orangtua. ( Pasal 319f KUHperdata)

Bila orang yang dimohon atau dituntut pembebasannya atau pemecatannya itu atas panggilan tidak datang, maka dia boleh mengajukan perlawanan dalam 30 (tiga puluh) hari setelah keputusan itu atau akta yang dibuat berdasarkan hal itu atau yang dibuat untuk melaksanakan hal itu disampaikan kepadanya, atau setelah dia melakukan suatu perbuatan yang tak dapat tidak member kesimpulan, bahwa keputusan itu atau permulaan pelaksanannya telah diketahui olehnya.

Orang yang permohonannya atau jawatan kejaksaan yang tuntutannya untuk pembebasan atau pemecatan dari kekuasaan orangtua ditolak, dan orang yang dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan orangtua kendati telah menghadap setelah dipanggil, demikian pula orang yang perlawanannya ditolak, boleh naik banding dalam waktu tigapuluh hari setelah keputusan diucapkan.

d. Segi/aspek Pengembalian kekuasaan orangtua /perolehan hak untuk menjadi kekuasaan orangtua atau menjadi wali atas anak-anaknya yang masih dibawah umur (Pasal 319g KUHperdata).

Orang yang telah dilepaskan atau dipecat dari kekuasaan orangtua , baik atas permohonan sendiri maupun atas permohonan mereka yang berwenang untuk memohon pembebasan atau pemecatan menurut pasal 319a , atau atas tuntutan jawatan kejaksaan, boleh diberi kekuasaan orangtua kembali atau diangkat menjadi wali atas anak-anaknya yang masih dibawah umur , bila ternyata, bahwa peristiwa –peristiwa yang telah mengakibatkan pembebasan atau pemecatan , tidak lagi menjadi halangan untuk pemulihan atau pengangkatan itu.
Demikian pula , orang yang telah dibebaskan atau dipecat dari perwalian atas anak-anaknya sendiri kemudian kawin kembali dengan suami atau istri yang dahulu, selama perkawinan itu, boleh diberi kekuasaan orangtua kembali.
Permohonan atau tuntutan untuk itu hal diajukan kepada Pengadilan negeri yang dulu menangani permohonan atau tuntutan untuk pembebasan atau pemecatan, kecuali bila yang dibebaskan atau dipecat itu pisah meja dan ranjang , atau perkawinannya dibubarkan oleh perceraian perkawinan atau setelah pisah meja dan ranjang; dalam hal kekecualian ini, semua permohonan atau tuntutan hal diajukan kepada Pengadilan negeri yang telah menangnya permohonan atau tuntutan pisah meja dan ranjang, perceraian atau pembubaran perkawinan.

e. Segi/aspek menikmati hasil dari barang-barang anak-anaknya yang belum dewasa. (pasal 311 KUHperdata).

Ayah atau Ibu yang melakukan kekuasaan orangtua, berhak menikmati hasil dari barang-barang anak-anaknya yang belum dewasa.

Dalam hal orangtua itu, baik si ayah maupun si ibu, dilepaskan dari kekuasaan orangtua atau perwalian, kedua orangtua itu berhak untuk menikmati hasil kekayaan anak-anak mereka yang masih di bawah umur.

Pembebasan si ayah atau si ibu yang melakukan kekuasaan orangtua atau perwalian , sedang orangtua yang lain telah meninggal atau dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan perwalian, tidak berakibat terhadap hak menikmati hasil.

f. Segi/aspek kewajiban untuk memelihara dan mendidik anak (pasal 319j KUHPerdata).
Orang yang dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan orangtua, wajib memberikan tunjangan kepada dewan perwalian untuk biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang telah ditarik dari kekuasaanya, tiap-tiap minggu, tiap-tiap bulan, atau tiap-tiaptiga bulan, sebesar jumlah yang ditentukan oleh Pengadilan Negeri atas permohonan dewan perwalian.
g. Segi/aspek pemberitahuan keputusan pembebasan atau pemecatan dari kekuasaan orangtua (pasal 319k KUHPerdata).
Tiap-tiap keputusan yang mengandung pembebasan atau pemecatan dari kekuasaan orangtua, harus segera diberitahukan oleh panitera berupa salinan kepada pihak yang menerimakekuasaan orangtua itu atau kepada pihak yang ditugaskan untuk melakukan perwalian,demikian pula kepada dewan perwalian.

Kamis, 11 November 2010

Hak Menumpang

Dalam pembahasan mengenai Hak Menumpang ini penulis akan menganalisis atau membahasnya dengan bertitik tolak pada 2 (dua) pertanyaan pokok yaitu :
1. BENARKAH HAK MENUMPANG ITU MASUK SEBAGAI HAK-HAK ATAS TANAH ?
2. BENARKAH HAK MENUMPANG ITU MENGANDUNG UNSUR PEMERASAN DAN FEODAL ?
Pasal 16 ayat ( 1 ) UUPA yaitu : “Hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat 1 ialah : Hak Milik , Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai , Hak Sewa , Hak Membuka Tanah , Hak Memungut Hasil Hutan, dan Hak – hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam pasal 53 “.
Selanjutnya Pasal 53 (1) menyebutkan bahwa :” Hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang dimaksud dalam pasal 16 ayat 1 huruf h , ialah hak gadai, hak usaha –bagi-hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan dengan Undang-undang ini dan hak-hak tersebut diusahakan hapusnya di dalam waktu yang singkat “.
Bahwa untuk lebih mendalami dan memudahkan kita untuk mengerti dan menganalisis mengenai keberadaan /eksistensi dari Hak Menumpang ini , akan dikemukan pula mengenai pengertian atau definisi hak atas tanah dari beberapa pakar yaitu diantaranya adalah :
1. Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., ( yang dikutip dari bukunya Urip Santoso, S.H., M.H. Pendaftaran Tanah dan Peralihan Hak Atas Tanah , 2010 : 49 ) memberikan pengertian Hak atas tanah adalah “ hak yang memberi wewenang kepada yang mempunyai hak untuk menggunakan atau mengambil manfaat dari tanah yang dihakinya”.
Pengertian/pendapat ini sama dengan pendapat/pengertian dari Efendi Perangin, S.H. ( Hukum Agraria Indonesia Suatu Telaah dari Sudut Pandang Praktisi Hukum ,1986 : 229 ).
2. Prof. Dr. Maria S.W. Sumardjono, SH., MCL. MPA. ( Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya , 2008 : 128 ) memberikan pengertian Hak atas Tanah sebagai suatu hubungan hukum didefinisikan sebagai “ hak atas permukaan bumi yang memberi wewenang kepada pemegangnya untuk menggunakan tanah yang bersangkutan , beserta tubuh bumi dan air serta ruang udara di atasnya , sekedar diperlukan untuk kepentingan langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu, dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan hukum lain yang lebih tinggi “.
3. Prof. Ny. Arie Sukanti Hutaglung, S.H., M.LI dan Markus Gunawan, S.H., M. Kn. ( Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan , 2008 : 29 ) memberikan pengertian hak atas tanah adalah “ hak yang memberikan wewenang untuk memakai tanah yang diberikan kepada orang atau badan hukum “.
4. Tim Pengajar Hukum Agraria Fakultas Hukum UNHAS: Prof. Dr. H. Aminuddin Salle, S.H.,M.H., Prof. Dr. Ir. H. Abrar Saleng, S.H., M.H., Prof. Dr. A. Suriyaman A. Mustari Pide, S.H., M.H., Prof. Dr. Farida Patittingi. S.H., M.Hum., Dr. Sri Susyanti Nur, S.H., M.H. dan Kahar Lahae, S.H., M.H., dalam ( Bahan Ajar Hukum Agraria , 2010 : 95 ) memberikan pengertian bahwa Hak Atas Penguasaan atas tanah berisi serangkaian wewenang, kewajiban, dan atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki”.
5. Prof. Boedi Harsono ( Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria Isi dan pelaksanaannya Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, 2005 : 262) memberikan pengertian bahwa Hak-hak penguasaan atas tanah berisikan serangkaian wewenang, kewajiban dan/atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu dengan tanah yang di haki”.
Hak Menumpang yaitu hak yang memberikan wewenang kepada seseorang untuk mendirikan dan menempati rumah di atas pekarangan milik orang lain. Di atas tanah itu mungkin sudah ada rumah lain kepunyaan pemilik tanah, tetapi mungkin juga tanah itu merupakan tanah pekarangan yang semula kosong.
Kalau dilihat secara sepintas rumusan-rumusan di atas menggambarkan bahwa Hak Menumpang adalah masuk sebagai Hak – Hak Atas Tanah, namun kalau dicermati dan dianalisis lebih mendalam lagi maka Hak menumpang bukanlah merupakan Hak Atas Tanah, karena hak itu tidak memberikan wewenang untuk mempergunakan atau mengusahakan tanah tertentu secara bebas dan leluasa sebagaimana hak atas tanah pada umumnya. Pemegang Hak Menumpang hanya mempunyai wewenang sebatas mendiami atau membangun rumah di atasnya selebihnya pemegang Hak Menumpang tidak punya hak dan wewenang lagi. Pemegang Hak Menumpang tidak mempunyai hak dan kewajiban seperti yang dimiliki oleh pemegang hak atas tanah lainnya seperti , mempergunakan tanah dan atau mengambil manfaat dari tanah, mewariskan Hak Atas Tanah, memindahkan hak atas tanah, membebani hak atas tanah dengan Hak Tanggungan, melepaskan atau menyerahkan hak atas tanah.
Selain itu pemegang hak atas tanah pada umumnya mempunyai kewajibannya untuk , mendaftarkan hak atas tanah untuk pertama kali, mendaftarkan peralihan Hak Atas Tanah, mendaftarkan pembebanan Hak Atas Tanah, mendaftarkan hapusnya Hak Atas Tanah.
Adapun sifat dari Hak Menumpang adalah , tidak mempunyai jangka waktu yang pasti karena sewaktu-waktu dapat diberhentikan, hubungan hukumnya lemah, yaitu sewaktu-waktu dapat diputuskan oleh pemilik tanah jika ia memerlukan tanah tersebut, pemegang hak menumpang tidak wajib membayar sesuatu (uang sewa) kepada pemilik tanah, hanya terjadi pada tanah pekarangan (tanah untuk bangunan ), tidak wajib untuk di daftarkan ke Kantor Pertanahan, bersifat turun temurun, artinya dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya ( bukan diwariskan ),tidak dapat dialihkan kepada pihak lain yang bukan ahli warisnya.
Menurut beberapa pakar menyatakan bahwa Hak Menumpang biasanya terjadi atas dasar kepercayaan oleh pemilik tanah kepada orang lain yang belum mempunyai rumah sebagai tempat tinggal dalam bentuk tidak tertulis, tidak ada saksi, dan tidak diketahui oleh perangkat desa/kelurahan setempat, sehingga jauh dari jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi kedua belah pihak. Pada mulanya Hak Menumpang terjadi karena adanya unsur tolong menolong dari pemilik tanah kepada orang lain yang tertimpa musibah atau tidak mempunyai rumah, namun dalam perkembangan juga terdapat sifat pemerasan, yaitu orang yang mempunyai hak menumpang tersebut tidak mau keluar atau mengosongkan rumah yang ditempatinya kalau tidak diberi ganti rugi atau pesangon oleh pemilik tanah dengan alasan bahwa ia telah mendirikan rumah dengan biaya sendiri atau merawat rumah yang ditempati dalam jangka waktu yang lain bahkan rumah tersebut ditempati oleh keturunannya ( ahli warisnya).
Untuk mengantisipasi agar dikemudian hari tidak terjadi hal yang demikian , maka sebaiknya antara pemberi Hak Menumpang dengan penerima Hak Menumpang membuatnya secara tertulis yang memuat hak dan kewajiban masing-masing pihak.
Dengan bertitik tolak pada uraian dan pendapat tersebut diatas, maka penulis berkesimpulan bahwa :
1. Hak Menumpang pada dasarnya/prinsipnya merupakan pengejewantahan dari fungsi sosial hak atas tanah dan asas pemisahan horizontal yang dianut oleh hukum adat kita .
2. Hak Menumpang bukanlah merupakan Hak Atas Tanah karena Hak Menumpang tidak dapat memberikan wewenang, kewajiban dan/atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu dengan tanah yang di haki karena dia bukanlah merupakan pemilik secara langsung atas tanah dimaksud. Pemegang Hak Menumpang hanyalah berhak sebatas mendiami/menumpang dengan cara membangun rumah di atas tanah milik orang lain . Pemegang Hak menumpang tidak dapat berbuat bebas atas tanah yang didiami/ditempatinya sebagaimana layaknya pemegang hak atas tanah dengan Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, Hak pakai, Hak Membuka Tanah, Hak Memungut Hasil Hutan. Dia dibatasi oleh hak-hak pemilik aslinya.
3. Penulis sependapat dengan pendapat yang mengemukakan bahwa Pemegang Hak Menumpang tidak dapat :
a. Mewariskan Hak Atas Tanah yang didiaminya termaksud kepada ahli waris seperti halnya pewarisan yang terjadi pada Hak Milik, Hak Guna Bangunan dan atau Hak – hak lainnya. Ahli warisnya hanyalah dapat meneruskan haknya untuk mendiami atau bertempat tinggal di atas tanah termaksud. Jadi bukan hak mewaris melainkan hak untuk meneruskan saja itupun kalau pemilik tanah mengizinkannya untuk tetap tinggal/menempati/mendiami tanahnya.
b. Memindahkan hak atas tanah. Pemegang Hak Menumpang tidak berhak memindahkan/mengalihkan hak atas tanah yang didiaminya baik dalam bentuk Jual beli, hibah, tukar menukar, pemasukan dalam modal perusahaan ( inbreng), lelang kepada pihak lain.
c. Membebani hak atas tanah dengan hak tanggungan atau hak jaminan lainnya seperti, Gadai .
d. Melepaskan atau menyerahkan hak atas tanah. Pemegang Hak Menumpang tidak berhak melepaskan atau menyerahkan hak atas tanah yang didiaminya termaksud kepada instansi pemerintah atau perusahaan swasta dengan pemberian ganti rugi.
Dengan tidak adanya hak tersebut maka secara otomatis pemegang Hak Menumpang juga tidak punya kewajiban untuk : Mendaftarkan hak atas tanah untuk pertama kali, Mendaftarkan peralihan Hak Atas Tanah, Mendaftarkan pemebabanan Hak Atas Tanah dan Mendaftarkan hapusnya Hak Atas Tanah.
4. Untuk menghindari terjadinya pemerasan dan unsur feodal sebagaimana alasan Undang-undang, maka pemilik tanah selaku pemegang hak atas tanah pada pasal 16 ayat 1 point a sampai dengan g haruslah terlebih dahulu mengikat pemegang Hak Menumpang secara tertulis yang didalamnya mengatur dan menetapkan hak dan kewajiban pemilik dan pemegang Hak Menumpang sebelum menyerahkan tanahnya untuk ditempati/didiami oleh orang lain.
5. Sifat feodal pada dasarnya tidak ada dalam Hak Menumpang karena Hak menumpang itu pada prinsipnya merupakan pengejewantahan dari fungsi sosial hak atas tanah dan sifat hukum adat yang menganut pemisahan horizontal.

Perkawinan Beda Agama

A. LATAR BELAKANG MASALAH
Negara Indonesia adalah Negara berdasar atas hukum bukan berdasar atas kekuasaan belaka. Demikian bunyi penjelasan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Bunyi penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 ini haruslah diimplementasikan dengan apa yang disebut dengan politik hukum. Karena politik hukum adalah merupakan kebijakan dari Negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan .
Bahwa untuk melaksanakan dan sebagai realisasi dari politik hukum termaksud serta untuk menciptakan suasana yang aman dan harmonis bagi kehidupan warga Negara serta untuk mengatur suatu tatanan hukum dibidang perkawinan, maka pada tanggal 2 Januari 1974 di Jakarta telah disahkan atau diundangkan satu Undang-undang yang mengatur mengenai perkawinan. Bagi suatu Negara dan Bangsa seperti Indonesia adalah mutlak adanya Undang-undang Perkawinan Nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi berbagai golongan dalam masyarakat kita.
Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha ESa. ( Demikian bunyi Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974) .
Sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila, yang sila pertamanya adalah Ke Tuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan erat dengan agama/kerokhanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir atau jasmani, akan tetapi unsur batin/rokhani juga mempunyai peranan penting.
Pengertian perkawinan tersebut di atas adalah pengertian perkawinan menurut hukum nasional atau hukum positive yang berlaku di Negara kita . Kita sadar bahwa masyarakat Indonesia ini tergolong heterogen dalam segala aspeknya salah satu diantaranya adalah adanya bermacam-macam agama dan suku , yang mana agama dan suku ini masing-masing mempunyai pengertian sendiri-sendiri mengenai perkawinan.
Menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 menyebutkan bahwa Perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat ata miitsaaaqon gholiidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Dengan tujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah ( pasal 3 KHI).
Perkawinan yang dalam istilah agama disebut “Nikah” ialah : Melakukan suatu aqad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antara keduabelah pihak, dengan dasar suka dan keridhoaan kedua belah pihak untuk mewujudkn suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih saying dan ketentraman dengan cara-cara yang diridhoi oleh Allah.
Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Bahwa tujuan perkawinan atau nikah adalah mensahkan hubungan antara serang pria atau laki-laki dengan seorang wanita atau perempuan untuk membina keluarga yang kekal , abadi, sakinah, mawadah wa rahmah tentunya semata-mata untuk mendapatkan ridho dan rakhmat dari Allah Swt. Dengan disahkannya melalui tali perkawinan atau pernikahan diharapkan kepada suami isteri tersebut dapat memperoleh keturunan, memenuhi nalurinya sebagai manusia, memeliharanya dari kejahatan dan kerusakan ( terhindar dari perbuatan zina/maksiat), membentuk dan mengatur rumah tangga/keluarga yang harmonis serta menumbuhkan semangat untuk hidup yang lebih baik dalam rangka mencari nafkah yang halal lagi baik demi menjalankan hak dan kewajibannya masing-masing sebagai suami - isteri .
Perkawinan atau pernikahan sebagai sesuatu yang suci dan sakral. Dan untuk itulah perlu diatur dan ditata dengan sebaik-baiknya agar tujuan perkawinan atau pernikahan itu dapat tercapai /terwujud. Tanpa adanya aturan dan ketentuan yang mengatur secara jelas dan tegas baik mengenai syarat sahnya dan batalnya suatu perkawinan/pernikahan, tata cara atau prosedur, syarat-syarat perkawinan, larangan atau hal-hal apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan hak dan kewajiban suami isteri termasuk didalamnya adanya aturan mengenai larangan perkawinan antar (beda) agama, maka tentunya tujuan atau kesakralan dari suatu perkawinan atau pernikahan itu tidak akan terwujud atau tercapai bahkan akan melanggar ketentuan baik ketentuan agama maupun ketentuan hukum Negara.
Dalam kenyataannya dalam praktek masih ada perkawinan yang dilaksanakan antar (beda) agama . Dan untuk mengetahui bagaimana Perkawinan antar (beda) agama ini maka penulis memlilih dan menetapkan judul tulisan ini adalah : ” PERKAWINAN ANTAR AGAMA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM “

B. RUMUSAN MASALAH
“ Bagaimana kedudukan Perkawinan Antar (beda) Agama menurut pandangan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Hukum Islam “

C. PEMBAHASAN
Diatas telah dijelaskan bahwa Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha ESa yang bersifat sakral dan suci . Untuk itu perlu dilakukan pembatasan-pembatasan dan atau larangan-larangan supaya terhindar dari perbuatan yang melanggar hukum baik itu hukum agama maupun hukum Negara (hukum positif).
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak disebutkan secara jelas dan tegas mengenai perkawinan antar (beda) agama ini. Bahkan dapat dikatakan tidak diatur sama sekali. Tidak ada satu pasal atau ketentuanpun yang mengatur secara khusus mengenai larangan kawin antar (beda) agama.
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ini hanya menjelaskan bahwa Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Bahkan didalam penjelasannya hanya dikatakan bahwa dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945.
Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini.
Sedangkan dalam pasal 8 huruf f Undang-undang itu juga mengatakan bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.
Dengan demikian jelaslah bahwa dalam undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengatur mengenai perkawinan yang dilakukan oleh sesorang yang berbeda agama. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 hanya menganggap bahwa perkawinan itu baru dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum agamanya masing-masing dan kepercayaannya itu. Ini berarti bahwa seseorang yang akan melangsungkan perkawinan haruslah terlebih dahulu satu agama atau satu kepercayaan sehingga dapat dicatat oleh pegawai pencatat nikah., apakah oleh Kantor Urusan Agama ataukah oleh kantor Catatan Sipil demikian menurut ketentuan pasal 2 ayat 2.
Hal ini perlu dilakukan dan diatur secara jelas dan tegas karena akan membawa dan atau menimbulkan implikasi hukum apabila perkawinan nanti putus ditengah jalan atau terjadi perceraian, apakah cerai hidup atau cerai mati. Apabila perkawinan itu dilakukan dalam dua atau lebih ketentuan hukum maka akan sulit ditentukan hukum apa yang akan diberlakukan terhadap pasangan suami isteri nanti apabila terjadi perceraian, atau terhadap anak yang akan lahir.
Lain halnya kalau dalam hukum Islam diatur secara jelas dan tegas mengenai perkawinan antar (beda) agama ini.
Pada dasarnya atau prinsipnya seorang laki-laki islam diperbolehkan kawin dengan perempuan mana saja. Sungguhpun demikian juga diberikan pembatasan-pembatasan. Sebagai pembatasan , seorang laki-laki Muslim dilarang kawin dengan perempuan –perempuan tertentu. Dalam larangan itu tertampak segi-segi larangan itu. Sifat larangan itu berupa berlainan (beda) agama.
Dalam Pasal 40 ayat c Kompilasi Hukum Islam (KHI) dijelaskan bahwa :
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu :
c. seorang wanita yang tidak beragama islam
Lebih lanjut Pasal 44 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyatakan bahwa : “ Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama islam.
Dengan melihat kedua ketentuan ini jelas bahwa antara Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dengan Hukum Islam dalam hal ini Kompilasi Hukum Islam (KHI) terdapat perbedaan yang mendasar dalam mengatur mengenai perkawinan antara agama (beda) agama ini.
Dalam hukum islam dijelaskan lebih lanjut bahwa yang dimaksud dengan beda agama disini adalah perempuan muslimah dengan laki-laki nonmuslim dan sebaliknya laki-laki muslim dengan perempuan nonmuslim. Dalam istilah fiqg disebut kawin dengan orang kafir. Orang yang tidak beragama islam dalam pandangan islam dikelompkkan kepada kafir kitabi yang disebut juga dengan ahli kkitab ; dan kafir bukan kitabi atau disebut juga musyrik atau pangan.
D. KESIMPULAN
Sebagai kesimpulan dari makalah ini adalah :
1. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak menentukan atau mengatur secara khusus dan tegas mengenai larangan perkawinan antar (beda) agama . Undang-undang ini hanya mengisyaratkan bahwa perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
2. Didalam hukum Islam (Kompilasi Hukum Islam) diatur secara jelas dan tegas mengenai larangan perkawinan antara (beda) agama ini , yaitu sebagaimana yang diatur dalam pasal 40 dan 44 Kompilasi Hukum Islam.
3. Bahwa larangan perkawinan antar (beda) agama ini harus jelas dan tegas diatur karena menyangkut implikasi dan atau akibat hukum yang timbul bagi pasangan suami isteri baik terhadap akibat putusnya perkawinan atau terhadap status hukum anak yang akan lahir atau dilahirkan.















DAFTAR PUSTAKA

Amir Syarifuddin,2007, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Figh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Prenada Media, Jakarta.
Fokus Media, 2007, Kompilasi Hukum Islam, Bandung.
Gitamedia, 1987, Undang-Undang Perkawinan, Surabaya.
Sayuti Thalib,1986, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Universitas Indonesia Press (UI Press), Jakarta.