Minggu, 19 Juni 2011

BENTUK-BENTUK PENYERTAAN DALAM TINDAK PIDANA PAJAK

Kesadaran bernegara merupakan tujuan kegiatan dan fungsi pemerintah dan pihak lain merupakan syarat bagi terciptanya tujuan-tujuan Negara yang telah ditetapkan. Masyarakat yang sudah tinggi kesadaran bernegara akan ikut berpartisipasi dan membantu pemerintah dalam melaksanakan kegiatan – kegiatannya, oleh karena kegiatan tersebut ditujukan untuk kepentingan masyarakat.
Penerimaan pajak merupakan salah satu sumber penerimaan yang penting bagi Negara dalam membiayai pengeluaran yang harus dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Karena itu pemerintah harus melakukan usaha untuk memungut pajak dari masyarakat dan senantiasa berusaha untuk meningkatkan kesadaran masyarakat membayar pajak. Kesadaran masyarakat membayar pajak sangat ditentukan oleh tingkat pendidikan dan pengetahuan masyarakat. ( Marihot Pahala Siahaan , 2010 : 103).
Kesadaran membayar pajak secara makro akan melahirkan moralita perpajakan ( tax morality) masyarakat . Masyarakat yang memiliki moralita perpajakan yang tinggi akan merasa membayar pajak merupakan kewajiban kenegaraan yang harus dipenuhi sebagai anggota Negara yang telah memberikan perlindungan dan fasilitas kepadanya.
Tax morality atau moralita ( kesadaran secara sungguh-sungguh ) membayar pajak merupakan salah satu aspek atau bagian kesadaran bernegara. Apabila kesadaran bernegara tinggi maka berarti pula moralita perpajakan adalah juga tinggi. Kesadaran membayar pajak sebaliknya sangat dipengaruhi oleh efisiensi dan efektivitas kegiatan pemerintah. Apabila dalam melaksanakan kegiatan atau dalam menggunakan uang Negara banyak kebocoran, korupsi, dan penyelewengan lain maka akan berakibat merosotnya moralita perpajakan masyarakat. ( Marihot Pahala Siahaan , 2010 : 104-105).
Pada dasarnya wajib pajak , memandang pajak sebagai beban, dan sudah menjadi sifat dasar manusia untuk selalu mengurangi beban seminimal mungkin. Secara umum ada tiga tahapan yang akan dilakukan seorang wajib pajak yang dikenakan pajak. Langkah pertama yang akan diambil wajib pajak adalah berusaha menghindari pajak, baik dengan upaya legal maupun upaya yang tidak legal. Apabila upaya penghindaran ini tidak dapat dilakukan maka ia akan menerima pajak itu sebagai kewajiban, tetapi ia akan mengambil langkah yang kedua, yaitu berusaha untuk mengurangi beban pajak seminimal mungkin. Usaha ini pun dapat dilakukan dengan dua cara , yaitu cara yang legal maupun cara yang tidak legal. Apabila hal ini telah dilakukan (atau ternyata tidak dapat dilakukan secara maksimal) maka barulah ia akan membayar pajak tersebut. (Marihot Pahala Siahaan , 2010 : 107).
Dalam kaitannya dengan tindak pidana pajak, ada yang dikenal dengan Penyertaan dalam melakukan tindak pidana pajak yang dilakukan oleh pihak ketiga. Pihak lain bukan merupakan satu kesatuan yang menyatu dengan pegawai pajak, wajib pajak, dan pejabat pajak, melainkan berada dalam kedudukan yang terpisah. Pihak lain meliputi pegawai wajib pajak, wakil, kuasa hukum, konsultan hukum, akuntan publik, dan profesi lain seperti, notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah, dan dokter. Karena itu, seyogianya dipahami secara tegas kedudukan pihak lain dalam penerapan kaidah hukum pajak untuk mencegah agar tidak terjadi kejahatan di bidang perpajakan.
Keikutsertaan pihak lain tidak berada dalam kedudukan sebagai pelaku (dader) kejahatan. Kedudukannya hanya sebatas “penyertaan” pada suatu kejahatan di bidang perpajakan, seperti menyuruh melakukan (“doenplegen”), turut melakukan (“medeplegen”), menganjurkan melakukan (“uitlokking”) dan membantu melakukan (“medeplichtigheid”). Dengan demikian, keterlibatan pihak lain dalam suatu kejahatan di bidang perpajakan selalu berada pada salah satu bentuk dari penyertaan itu.
Kejahatan di bidang perpajakan yang dilakukan oleh pihak lain tidak boleh terlepas dari ketentuan pada Pasal 43 UUKUP kerena secara tegas telah menunjuk jenis kejahatan sebagaimana diatur pada Pasal 39, Pasal 39A, Pasal 41A, dan Pasal 41B UUKUP.
Jenis kejahatan di bidang perpajakan sebagaimana Pasal-Pasal tersebut menunjukkan bahwa pihak lain sangat berpotensi dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara. Mengingat, pihak lain memiliki peranan agar wajib pajak dapat mewujudkan delik pajak sehingga terhindar dari pemenuhan kewajiban atau melanggar larangan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengawasan dari Direktorat Jenderal Pajak dalam bentuk pemeriksaan wajib pajak maupun pihak lain yang memiliki keterkaitan suatu kajahatan di bidang perpajakan yang terarah pada delik pajak. Hal ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan pihak lain dalam delik pajak tersebut.
Penyertaan (deelneming) adalah pengertian yang meliputi semua bentuk turut serta/terlibatnya orang atau orang-orang baik secara psikis maupun fisik dengan melakukan masing-masing perbuatan sehingga melahirkan suatu tindak pidana. Orang-orang yang terlibat dalam kerja sama yang mewujudkan tindak pidana, perbuatan masing-masing dari mereka berbeda satu dengan yang lain, demikian juga bisa tidak sama apa yang ada dalam sikap batin mereka terhadap tindak pidana maupun terhadap peserta yang lain. Tetapi dari perbedaan-perbedaan yang ada pada masing-masing itu terjalinlah suatu hubungan yang sedemikian rupa eratnya, dimana perbuatan yang satu menunjang perbuatan yang lainnya, yang semuanya mengarah pada satu ialah terwujudnya tindak pidana. ( Drs. Adami Chazawi, S.H., 2002 : 73 ).
Bentuk-bentuk penyertaan terdapat dan diterangkan dalam pasal 55 dan 56. Pasal 55 mengenai golongan yang disebut dengan medepleger (disebut para peserta, atau para pembuat), dan pasal 56 mengenai medeplichtige) ( pembuat pembantu).
Pasal 55 merumuskan sebagai berikut :
(1) Dipidana sebagai pembuat tindak pidana :
1. Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan ;
2. Mereka yang dengan member atau menjanjikan sesuatu , dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan,atau dengan member kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.
(2) Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjur sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.
Pasal 56 merumuskan sebagai berikut :
Dipidana sebagai pembantu kejahatan :
1. Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan ;
2. Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.
Dari kedua pasal ini dapatlah diketahui bahwa menurut KUHP penyertaan itu dibedakan dalam dua kelompok, yaitu :
1. Kelompok orang-orang yang perbuatannya disebabkan dalam pasal 55 ayat (1) , yang dalam hal ini disebut dengan para pembuat (medepleger) , adalah mereka :
a. Yang melakukan ( plegen) , orang yang disebut dengan pembuat pelaksana ( pleger)
b. Yang menyuruh melakukan (doen plegen), orangnya disebut pembuat penyuruh (doen pleger)
c. Yang turut serta melakukan ( mede plegen), orangnya disebut dengan pembuat peserta ( mede pleger); dan
d. Yang sengaja menganjurkan (uitlokken), yang orangnya disebut dengan pembuat penganjur ( uitlokker).
2. Orang yang disebut dengan pembuat pembantu (medeplichtige) kejahatan, yang dibedakan menjadi :
a. Pemberian bantuan pada saat pelaksanaan kejahatan ; dan
b. Pemberian bantuan sebelum pelaksanaan kejahatan.

R. Soesilo, KUHP serta Komentar-Komentarnya lengkap Pasal Demi Pasal , halaman 72-73 menjelaskan menafsirkan ketentuan Pasal 55 KUHPidana itu sebagai berikut :
“ Dihukum sebagai orang yang melakukan peristiwa pidana :
1e. orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau turut melakukan perbuatan itu ;
1. Orang yang melakukan (pleger). Orang ini ialah seorang yang sendirian telah berbuat mewujudkan segala anasir atau elemen dari peristiwa pidana. Dalam peristiwa pidana yang dilakukan dalam jabatan misalnya orang itu harus pula memenuhi elemen “ status pegawai negeri “
2. Orang yang menyuruh melakukan ( doen plegen) . disini sedikitnya ada dua orang yang menyuruh (doen plegen) dan yang disuruh (pleger). Jadi bukan orang itu sendiri yang melakukan peristiwa pidana, akan tetapi ia menyuruh orang lain, meskipun demikian toh ia dipandang dan dihukum sebagai orang yang melakukan sendiri yang melakukan peristiwa pidana, akan tetapi ia menyuruh orang lain, disuruh (pleger) itu harus hanya merupakan suatu alat (instrument) saja, maksudnya ia tidak dapat dihukum karena tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya.
3. Orang yang turut melakukan (medepleger) “ turut melakukan” dalam arti kata “ bersama-sama melakukan” . sedikit-dikitnya harus ada dua orang, iualah orang yang melakukan (pleger) dan orang yang turut melakukan (medepleger) peristiwa pidana itu. Disini diminta , bahwa kedua orang itu semuanya melakukan perbuatan pelaksanaan, jadi melakukan anasir atau elemen dari peritiwa pidana itu. Tidak boleh misalnya hanya melakukan perbuatan persiapan saja atau perbuatan yang sifatnya hanya menolong, sebab jika demikian, maka orang yang menolong itu tidak masuk “megepleger” akan tetapi dihukum sebagai “membantu melakukan (medeplichtige) tersebut dalam pasal 56.
Dalam berbagai undang-undang yang mengatur pajak, di dalamnya terdapat ketentuan-ketentuan yang memberikan ancaman pidana di bidang pajak. Ketentuan tersebut berada baik dalam Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) maupun dalam undang-undang yang lain.
Dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang KUP, ketentuan yang mengatur ketentuan pidana terdapat dalam Bab VIII, yaitu dari Pasal 38 sampai dengan Pasal 43. Tindak pidana yang diatur di dalam UU tentang KUP ini meliputi :
a. Setiap orang yang karena kealpaannya tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan ; atau menyampaikan Surat pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapat Negara, dan perbuatan tersebut merupakan perbuatan setelah perbuatan yang pertama kali . ( Pasal 38 ).
b. Setiap orang yang dengan sengaja tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok wajib Pajak atau tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak; menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau pengukuhan Pengusaha Kena Pajak; tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan ; menyampaikan Surat pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau ridak lengkap; menolak untuk dilakukan pemeriksaan; memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya; tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain; tidak menyimpan buku, catatan , atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau diselenggarakan secara program aplikasi online di Indonesia; atau tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara (Pasal 39).
c. Setiap orang yang dengan sengaja menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya; atau menrbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. (Pasal 39 A).
d. Pejabat yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh wajib pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan; atau tindakan tersebut dilakukan secara sengaja ; termasuk pula seseorang yang menyebabkan tidak dapat dipenuhinya kewajiban pejabat tersebut (Pasal 41).
e. Setiap orang yang menurut ketentuan undang-undang wajib memberi keterangan, sengaja tidak memberi keterangan atau bukti yang diminta, padahal itu menjadi kewajibannya, atau memberi keterangan atau bukti yang tidak benar, yang diminta (Pasal 41 A).
f. Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi atau mempersulit penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan ( Pasal 41 B).
g. Setiap orang yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban untuk memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak,; sengaja meyebabkan tidak terpenuhinya kewajiban pejabat dan pihak lain untuk memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak; dengan sengaja tidak memberikan data dan informasi yang diminta oleh Direktur Jenderal Pajak; dengan sengaja menyalahgunakan data dan informasi perpajakan sehingga menimbulkan kerugian kepada Negara (Pasal 41 C).
Dari ketentuan tersebut dapat dipahami unsur-unsur dari tindak pidana perpajakan itu, yakni :
a. Tidak adanya perbuatan yang diwajibkan, seperti tidak menyampaikan SPT , atau adanya perbuatan yang dilarang, seperti memperlihatkan pembukuan yang palsu;
b. Berada dalam kaitan dengan masalah pajak;
c. Dilakukan secara sengaja maupun tidak sengaja;
d. Secara melawan hukum; tidak memenuhi kewajiban hukum, ataupun melakukan sesuatu yang dilarang oleh hukum;
e. Dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara.
Apa yang ditentukan beberapa pasal tersebut memperlihatkan adanya kualifikasi yang berbeda satu dengan yang lainnya. Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 38 adalah terjadi karena kealpaan, sementara tindak pidana yang diatur dalam Pasal 39 terjadi karena kesengajaan. Menurut ketentuan undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang KUP Pasal 42 tindak pidana tersebut dikategorikan sebagai Pelanggaran dan Kejahatan. Namun, dengan keluarnya UU No. 9 Tahun 1994 yang mengubah UU tentang KUP maka ketentuan Pasal 42 ini dihapuskan. Sementara dalam Pasal 41 termuat baik tindak pidana yang terjadi karena kealpaan (ayat 1), maupun terjadi karena kesengajaan (ayat 2) di mana tindak pidana dalam pasal ini merupakan delik aduan.
Dalam kaitannya dengan pelaku tindak pidana, dari isi kedua pasal yang pertama ini seolah-olah yang melakukan tindak pidana di bidang pajak itu cenderung para wajib pajak, namun menurut ketentuan Pasal 43 , ketentuan Pasal 39, dan Pasal 39 A tersebut berlaku juga bagi wakil, kuasa, atau pegawai wajib pajak, yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan. Ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 41 lebih diarahkan pada pejabat yang tidak memenuhi kewajiban untuk menjaga rahasia jabatan. Ketentuan pasal 41 A lebih tertuju pada pihak-pihak yang berhubungan dengan wajib pajak dalam kaitannya dengan pemeriksaan, seperti : bank, notaris, konsultan pajak, akuntan publik, dan kantor administrasi dimana pada umumnya mereka mempunyai kewajiban menjaga kerahasiaan. Ketentuan Pasal 41 B ditujukan kepada orang yang sengaja menghalangai atau mempersulit penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan atau menyembunyikan barang bukti, baik itu wajib pajak atau penanggung pajak maupun yang bukan wajib pajak atau penanggung pajak, mislanya karyawan, pemilik tanah yang disewa oleh wajib pajak, pemilik bangunan yang digunakan oleh perusahaan , dan sebagainya. ( Y. Sri Pudyatmoko, 2009 : 207-210).
Pihak lain sebagai pihak yang melakukan kejahatan di bidang perpajakan, ketentuannya secara tegas diatur pada pasal 43 UUKUP;
1. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 39 dan pasal 39A, berlaku juga bagi wakil, kuasa, pegawai dari wajib pajak, atau pihak lain yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.
2. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 41A dan 41B berlaku juga bagi yang menyuruh melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.
Jika dicermati kedua ayat dalam pasal 43 UUKUP tersebut, ternyata terdapat perbedaan prinsipil keikutsertaan pihak lain dalam melakukan kejahatan yang berfokus pada delik pajak. Pada pasal 34 ayat (1) UUKUP mengenal empat keikutsertaan pihak lain yaitu: 1) menyuruh melakukan kejahatan, 2) turut serta melakukan kejahatan, 3) menganjurkan melakukan kejahatan, 4) membantu melakukan kejahatan yang dikategorikan sebagai delik pajak. Sementara itu, ketentuan pada pasal 43 ayat (2) UUKUP tersebut hanya mengatur tiga bentuk keikutsertaan pihak lain yaitu: 1) menyuruh melakukan kejahatan, 2) yang menganjurkan melakukan kejahatan, dan 3) membantu melakukan kejahatan yang dikategorikan sebagai delik pajak.
Prof. Dr. Muhammad Djafar Saidi, dalam bukunya Kejahatan Di Bidang Hukum Pajak, halaman 125, menyatakan bahwa kalau dicermati substansi hukum yang terkandung dalam kedudukan sebagai “pesertaan” atau “penyertaan”. Dalam kaitan ini Wirjono Prodjodikoroberpendapat kata “pesertaan” berarti turut sertanya seorang atau lebih pada waktu orang lain melakukan tindak pidana (Wirjono Prodjodikor,2003: 117). Pada hakikatnya, pihak lain yang berada dalam kedudukan sebagai penyertaan dalam delik pajak bukan merupakan pelaku (dader) yang mewujudkan delik itu melainkan berada pada kedudukan memberikan sarana dan prasarana agar terjadi delik pajak yang dilakukan oleh orang lain.
Kejahatan dibidang perpajakan yang dilakukan oleh pihak lain tidak boleh terlepas dari ketentuan pada pasal 43 UUKUP karena secara tegas telah menunjuk jenis kejahatan sebagaimana telah diatur dalam pasal 39, pasal 39A, pasal 41A, dan pasal 41B UUKUP. Adapun jenis kejahatan di bidang perpajakan yang dapat dilakukan oleh pihak lain dalam kedudukan sebagai penyertaan adalah sebagai berikut.
1. Tidak mendaftarkan diri atau melapor usahanya;
2. Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan;
3. Pemalsuan Surat Pemberitahuan;
4. Menyalahgunakan Nomor Pokok Wajib Pajak;
5. Menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak;
6. Menyalahgunakan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
7. Menggunakankan tampa hak Nomor Pokok Wajib Pajak;
8. Menolak untuk diperiksa;
9. Pemalsuan pembukuan , pencatatan, atau dokumen lain;
10. Tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain;
11. Tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan;
12. Tidak menyetor pajak yang telah dipotong atau dipungut
13. Menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti, pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak dan/atau bukti setoran pajak;
14. Menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak;
15. Tidak memberikan keterangan atau bukti;
16. Menghalangi atau mempersulit penyidikan delik pajak.

Jenis kejahatan di bidang perpajakan tersebut menunjukan bahwa pihak lain sangat berpotensi dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara. Mengingat, pihak lain memiliki peranan agar wajib pajak dapat mewujudkan delik pajak sehingga terhindar dari pemenuhan kewajiban atau melanggar larangan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengawasan dari Direktorat Jenderal Pajak dalam bentuk pemeriksaan wajib pajak maupun pihak lain yang memilki keterkaitan suatu kejahatan di bidang perpajakan yang terarah pada delik pajak. Hal ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan pihak lain dalam delik pajak tersebut, seperti halnya dibawah ini.
Berikut ini akan dijelaskan yang masuk kategori tindak pidana penyertaan di bidang perpajakan yang berkaitan dengan pihak ketiga/pihak lain adalah sebagai berikut :

1. Menyuruh Melakukan (Doenplegen)

Prof. Muhammad Djafar Saidi, S.H., M.H., 2011 : 127-129, menjelaskan bahwa Menyuruh Melakukan (doenplegen) merupakan bagian dari satu bentuk penyertaan yang terkait dengan delik pajak. Dalam hal ini Lamintang (1997: 609) mengatakan didalam suatu doenplegen itu jelas terdapat seseorang yang menyuruh orang lain melakukan suatu tindak pidana, dan seseorang lainnya yang disuruh melukakan tindak pidana tersebut.
Menurut A. Zainal Abidan Farid dan A. Hamzah (2006; 176) menyatakan bahwa Doen pleger secara harfiah dapat diterjemahkan dengan pembuat pelaku karena setiap orangg di Indonesia sudah memakai istilah penyuruh. Bentuk keikutsertaan dalam terwujudnya delik yang disebut doen plegen adalah ciptaan pembuat undang-undang di Nederland yang tidak dikenal di Negara lain.
Prof. Muhammad Djafar Saidi, S.H., M.H., 2011 mengutip pendapat Wirjono Prodjodikoro (2003: 118-119) ini terjadi apabila seorang lain menyuruh si pelaku melakukan perbuatan yang biasanya merupakan tindak pidana, tetapi oleh karena beberapa hal si pelaku itu tidak dapat dikenai hukum pidana. Jadi, si pelaku (dader) itu seolah- olah menjadi alat belaka (instrument) yang dikendalikan oleh si penyuruh. Si pelaku semacam ini dalam ilmu pengetahuan hukum dinamakan manus manistra (tangan yang dikuasai) dan si penyuruh dinamakan manus domina (tangan yang menguasai).

Prof. Muhammad Djafar Saidi, S.H., M.H., 2011 mengutip pendapat Lamintang (1997: 610-611) yang mengutip pendapat Simons bahwa orang yang disuruh melakukan perbuatan haruslah memenuhi beberapa syarat tertentu sebagai berikut.
a. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu delik itu adalah seseorang yang ontoerekeningsvatbaar seperti yang dimaksud di dalam pasal 44 KUHP;
b. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu delik mempunyai suatu dwalingat atau suatu kesalahpahaman mengenai salah satu unsur dari delik yang bersangkutan;
c. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu delik itu sama sekali tidak mempunyai unsure schulf, baik dolus maupun culpa, ataupun apabila orang tersebut tidak memenuhi unsure opzet seperti yang telah disyaratkan oleh undang- undang delik tersebut;
d. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu delik itu tidak memenuhi oogmerk, padahal unsure tersebut disyaratkan dalam rumusan undang-undang menganai delik tersebut;
e. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu delik itu telah melakukan di bawah pengaruh suautu overmacht atau di bawah pengaruh suatu keadaan yang memaksa, dan terhadap paksaan mana orang tersebut tidak mampu meberikan suatu perlawanan;
f. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu delik dengan iktikad baik telah melaksanakan suautu printah jabatan, padahal perintah jabatan tersebut diberikan oleh seorang atasan yang tidak berwenang memberikan perintah semacan itu;
g. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu delik itu tidak mempunyai suatu hoedanigheid atau suatu sifat tertentu, seperti yang telah disyaratkan oleh undang-undang, yakni sebagai suatu sifat yang harus dimilki oleh pelaku sendiri.

Undang-undang tidak menerangkan tentang siapa yang dimaksud yang menyuruh melakukan itu. Dalam mencari pengertian dan syarat dari orang yang menyuruh melakukan (doen pleger) banyak ahli hukum merujuk pada keterangan yang ada di dalam MvT WvS Belanda, yang ,menyatakan bahwa “ yang menyuruh melakukan adalah juga dia yang melakukan tindak pidana akan tetapi tidak secara pribadi, melainkan dengan perantaraan orang lain sebagai alat dalam tangannya, apabila orang lain itu berbuat tanpa kesengajaan, kealpaan atau tanpa tanggung jawab karena keadaan yang tidak diketahui, disesatkan atau tunduk pada kekerasan “.
Dari keterangan MvT itu dapat ditarik unsure-unsur dari bentuk pembuat penyuruh, yaitu :
a. Melakukan tindak pidana dengan perantaraan orang lain sebagai alat di dalam tangannya ;
b. Orang lain itu berbuat :
1). Tanpa kesengajaan;
2). Tanpa kealpaan;
3). Tanpa tanggung jawab, oleh sebab keadaan :
a). yang tidak diketahuinya ;
b). karena disesatkan ; dan
c). karena tunduk pada kekerasan.
Sebagai hal yang juga penting, dari apa yang diterangkan oleh MvT ialah bahwa jelas orang yang disuruh melakukan itu tidak dapat dipidana, sebagai konsekuensi logis dari keadaan subjektif (batin : tanpa kesalahan, atau tersesatkan) dan atau tidak berdaya karena pembuat materiilnya tunduk pada kekerasan (objektif).
Berdasarkan keterangan MvT tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa penentuan bentuk pembuat penyuruh lebih ditekankan pada ukuran objektif, ialah kenyataannya tindak pidana itu dilakukan oleh orang lain yang aada dalam kekuasannya sebagai alat, yang dia berbuat tanpa kesalahan dan tanpa tanggung jawab. Walaupun sesungguhnya juga tetap memperhatikan hal-hal yang ternyata subjektif , yakni dalam hal tidak dipidananya pembuat materiilnya (orang yang disuruh melakukan) karena dia berbuat tanpa kesalahan, dan dalam hal tidak dipertanggung jawabkan karena keadaan batin orang yang dipakai sebagai alat itu, yakni tidak athu dan tersesatkan, sesuatu yang subjektif. Sedangkan alasan karena tunduk pada kekerasan adalah bersifat objektif. ( Drs. Adami Chazawi, S.H., 2002 : 88-89 ).
Berhubungan dengan delik pajak, maka orang yang menyuruh melakukan kejahatan (doenplegen) diatur dalam pasal 43 UUKUP. Ketentuan ini menunjuk pula pada pasal 39, pasal 39A, pasal 41A, dan 41B UUKUP. Penunjuk oleh pasal 43 UUKUP terhadap pasal tersebut merupakan penegasan terhadap kata “setiap orang” yang terdapat pada pasal di atas. Hal ini dapat disimak substansi pasal 43 UUKUP yang mengatur sebagai berikut.
1. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 39A, berlaku juga bagi wakil , kuasa, pewai dari wajib pajak, atau pihak lain yang menyuruh melakukan….dst….tindak pidana di bidang perpajakan;
2. Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 41A dan pasal 41B berlaku juga bagi yang menyuruh melakukan, ….dst….tindak pidana di bidang perpajakan.
Kemudian dalam penjelasan ketentuan pasal 43 ayat (1) UU KUP bahwa yang dipidana karena melakukan delik pajak tidak terbatas pada wajib pajak, melainkan termasuk penanggung pajak, kuasa hukum wajib pajak, pegawai dari wajib pajak, akuntan publik, konsultan pajak, atau pihak lain . kapasitas wakil wajib pajak, kuasa wajib pajak, pegawai wajib pajak, akuntan publik, konsultan pajak, atau pihak lain yang menyuruh melakukan sehingga terwujud delik pajak. Pengertian pihak lain dapat dikemukan misalnya, notaris, dokter, dan profesi yang terkait dengan pelaksanaan hukum pajak.
Peranan dan perbuatan yang dapat dilakukan oleh Pihak Ketiga dalam melakukan tindak pidana penyertaan di bidang pajak ini dapat berupa menyuruh wajib pajak untuk berbuat atau tidak berbuat sebagaimana yang diatur oleh Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pasal 39, Pasal 39 A, Pasal 41 A dan Pasal 41 B.
2. Turut Melakukan/Turut serta Melakukan (medeplegen)
Tentang siapa yang dimaksud dengan turut serta melakukan (medepleger), oleh MvT WvS Belanda diterangkan bahwa yang turut serta melakukan ialah setiap orang yang sengaja turut berbuat ( meedoet) dalam melakukan suatu tindak pidana. Keterangan ini belum memberikan penjelasan yang tuntas. Ioleh karena itu, menimbulkan perbedaan pandangan.
Lebih lanjut Prof. Muhammad Djafar Saidi, S.H., M.H, 2011 : 130 menjelaskan bahwa Turut melakukan (medeplegen) merupakan bagian dari deelmening. Hal ini dipertegas oleh Lamintang (1997: 615) oleh karena didalam bentuk deelmening ini selalu terdapat seorang pelaku dan seorang atau lebih pelaku yang turut melakukan delik yang dilakukan oleh pelakunya, maka bentuknya deelneming ini sering juga disebut suatu mededaderchap. Dengan demikian,maka medeplegen itu disamping melakukan suatu bentuk deelniming, maka ia jug merupakan suatu bentuk daderschap.
Menurut Lengemeijer sebagaimana dikutip oleh A. Zainal Abidin Farid dan A. Hamzah (2006; 200-201) bahwa medeplegen (turut serta melakukan), sebagai sautu bentuk penyertaan, tidak mensyaratkan bahwa tiap- tiap orang yang bekerjasama harus mewujudkan semua unsure delik seperti pada rumusan doeplegen (penyuruh, hal pembuat pelaku). semua unsure delik dapat dibagi oleh berbagai orang . Akan tetapi, harus dimungkinkan pula bahwa seorang pelaku peserta melakukan perbuatan, yang menurut uraian delik merupakan perbuatan pelaksanaan, sedangkan pelaku peserta lain melakukan perbuatan yang tidak merupakan perbuatan yang sesuai uraian delik, namun untuk pelaksanaan perbuatan yang disebut pertama sangat penting. Misalnya, pelaku peserta yang kedua melakukan penjagaan saja, sedangkan kawan berbuatnya melakukan pencurian.
Hukum pajak mengenal pula turut melakukan (medeplegen) dalam suatu delik. Dalam arti bahwa bukan hanya wajib pajak sebagai pealku delik hukum pajak mellainkan melibatkan pula pihak lain sehingga perbuatan itu terwujud. Yang termasuk sebagai pihak lain dalam kaitannya dengan medeplegen adalah wakil wajib pajak, kuasa wajib pajak, pegawai wajib pajak, akuntan publik, konsultan pajak, notaris, dokter, atau profesi lain yang terkait dengan hukum pajak.
Setiap orang yang bersama-sama melakukan delik hukum pajak bertanggung jawab sepenuhnya atas segala akibat yang timbul dalam ruang lingkup kerja sama tersebut. Jika akibat terjadi di luar ruang lingkup kerjasama itu, maka tia-tiap orang bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan. Hal ini merupakan perwujudan dari akibat yang ditimbulkan karena turut melakukan perbuatan yang menyebabkan terjadinya delik hukum pajak.
Prof. Satochid Kartanegara berpendapat bahwa untuk adanya mededader harus dipenuhi 2 (dua) syarat, yakni :
a. Harus ada kerja sama secara fisik;
b. Harus ada kesadaran kerja sama;
Selanjutnya Prof. Satochid Kartanegara mengutarakan :
“Mengenai syarat kesadaran kerja sama itu dapat diterangkan bahwa kesadaran itu perlu timbul sebagai akibat permufakatan yang diadakan oleh para peserta. Akan tetapi, sudah cukup dan terdapat kesadaran kerja sama apabila para peserta pada saat mereka melakukan kejahatan itu sadar bahwa mereka bekerja sama.
Pendapat Prof. Satochid Kartanegara di atas mirip dengan memorie van Toelichting, yang berbunyi sebagai berikut :
“Yang membedakan seorang mededader dari medeplichtige adalah bahwa orang yang disebut pertama itu secara langsung telah ikut mengambil bagian dalam pelaksanaan suatu tindak pidana yang telah diancam dengan hukuman oleh Undang-Undang, atau telah secara langsung turut melakukan perbuatan atau turut mmelakukan perbuatan yang menyelesaikan tindak pidana yang bersangkutan; sedang orang yang disebut terakhir itu hanyalah memberi bantuan untuk melakukan perbuatan seperti dimaksud di atas.”
Mr. M.H. Tirtaatmidjaja menjelaskan “bersama-sama”, antara lain sebagai berikut :
“Suatu syarat mutlak bagi bersama-sama melakukan" adalah adanya “keinsafan bekerja sama” tidak diperlukan bahwa lama sebelum perbuatan itu telah diadakan suatu persetujuan antara mereke. Persetujuan antara mereka tidak lama sebelum pelaksanaan pelanggaran pidana itu, telah cukup bagi adanya suatu keinsafan kerja sama ...
Orang-orang yang bersama-sama melakukan pelanggaran pidana itu, timbal balik bertanggung jawab bagi perbuatan bersama, sekadar perbuatan itu terletak dalam lingkungan sengaja bersama-sama.”
Peranan dan perbuatan yang dapat dilakukan oleh Pihak Ketiga dalam melakukan tindak pidana penyertaan di bidang pajak ini dapat berupa bersama-sama dengan wajib pajak atau turut membantu wajib pajak untuk berbuat atau tidak berbuat sebagaimana yang diatur oleh Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pasal 39, Pasal 39 A, Pasal 41 A dan Pasal 41 B.

3. Menganjurkan melakukan (uitlokking)

Apakah yang sebenarnya dimaksud dengan uitlokking? Begitu pertanyaaan yang dikemukan oleh Lamintang (1997; 634). Menurut professor van hamel yang dikutip oleh lumintang (1997; 634) telah merumuskan uitlokking itu sebagai deelneming atau keikutsertaan berupa: “ het opzettelijk bewegen, met door de wet aangeduide middelen, van eenzelt- verantwoordelijk person tot een strafbaar feit, dat deze Aldus bewogen, opzettelijk pleegt”.
(“kesengajaan menggerakan orang lain yang dapat dipertanggung jawabkan pada dirinya utuk melakukan suatu delik dengan menggunakan cara-cara yang telah ditentukan oleh undang-undang karena telah tergerak, orang tersebut kemudian telah dengan sengaja melakukan delik yang bersangkutan”).
Kesimpulan menurut Lamintang ()1997;634) bahwa antra doenplegen atau menyuruh melakukan dengan uitlokking atau menggerakan orang lain untuk melakukan suatu delik itu terdapat suatu kesamaan, yaitu bahwa didalam doenpleger atau manus domina itu tidak melakukan sendiri delik yang dikehendakinya, melainkan dengan perantaraan orang lain yang biasanya disebut sebagai materiele dader ataupun diebut sebagai manus ministra. Sedangkan didalam uitlokking itu, orang yang menggerakan orang lain untuk melakukan suatu delik atau provocateur atau agent provocateur atau lokbeambte itu juga telah tidak melakukan sendiri delik yang dikehendakinya, melainkan dengan perantara orang lain, yang biasanya disebut sebagai de uitgeloktie atau sebagian orang lain yang telah digerakkan.
Lebih lanjut, dikatakan oleh Lamintang (1997; 636) walaupun antara doenplegen dengan uitlokking itu terdapat suatu kesamaan, akan tetapi diantara kedua bentuk deelneming tersebut juga terdapat perbedaan- perbedaan, yaitu antara lain adalah
a. Orang yang disuruh melakukan suatu delik di dalam doenplegen haruslah merupakan orang yang nietroerekenbaar atau haruslah merupakan orang yang perbuatanya tidak dapat dipertanggung jawabkan, sedangkan orang yang telah digerakkan untuk melakukan suatu delik itu haruslah merupakan orang yang sama halnya dengan orang yang telah menyuruh, dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau toerekenbaar;
b. Cara yang dapat dipergunakan oleh seseorang yang telah menyuruh melakukan suatu delik di dalam doenplegen itu tidak ditentukan oleh undang- undang, sedangkan cara – cara yang harus dipergunakan oleh seseorang yang telah menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu delik di dalam uitlokking itu telah ditentukan secara limitative di dalam undang-undang.
Uitlokking atau menganjurkan melakukan perbuatan merupakan salah satu bentuk dari deelmening. Uitlokking dalam kaitan dengan hukum pajak berada dalam konteks delik yang dilakukan oleh wajib pajak karena adanya anjuran untuk melakukan perbuatan itu. Anjuran itu berasal dari wakil wajib pajak, kuasa wajib pajak, pegawi wajib pajak, akuntan publik, konsultan pajak, notaris, dokter ataupun profesi lainya yang terkait dengan hukum pajak
Ketentuan dalam hukum pajak yang mengatur tentang orang yang menganjurkan melakukan perbuatan diatur dalam pasal 43 UKUUP. Ketentuan ini menunjukan pula pasal 39, pasal 39A, pasal 41A, dan 41B UUKUP. Hal ini dapa disimak substansi pasal 43 UUKUP yang berbunyi sebagai berikut.
1. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 39 dan pasal 39A, berlaku juga bagi wakil , kuasa, pegawai dari wajib pajak, atau pihak lain……. yang menganjurkan……dst……tindak pidana di bidang perpajakan;
2. Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 41A dan pasal 41B berlaku juga bagi ….yang menganjurkan …….dst……tindak pidana di bidang perpajakan.
Kemudian, penjelasan pasal 43 ayat (1) UU KUP memperluas pengertian orang yang menganjurkan melakukan perbuatan bukan hanya wakil wajib pajak, kuasa wajib pajak, pegawai wajib pajak, akuntan publik, konsultan pajak. Terjaringnya akuntan publik dan konsultan pajak sebagai bagian dari pihak yang menganjurkan melakukan perbuatan merupakan bentuk pencegahan dalam rangka mengantisipasi delik hukum pajak. Tidak dapat dipungkiri bahwa akuntan publik dan/atau konsultan pajak sangat berpan terhadap wajib pajak, termasuk kegiatan yang bersifat menganjurkan melakukan perbuatan yang mengarah kepada delik hukum pajak. ( Prof. Dr. Muhammad Djafar Saidi, S.H., M.H. , 20011 : 131-134).
Dalam KUHP Hal ini diatur pada Pasal 55 ayat (1) sub. 2 (ke-2) yang berbunyi sebagai berikut :
“Mereka yang dengan pemberian, perjajian, salah memakai kekuasaan atau derajat (martabat) dengan paksaan, ancaman atau ikhtiar atau keterangan, dengan sengaja membujuk supaya perbuatan itu dilakukan.”
Orang yang sengaja menganjurkan (pembuat penganjur, disebut juga auctor intellectualis, seperti juga pada orang yang menyuruh lakukan, tidak mewujudkan tindak pidana secara materiil, tetapi melalui orang lain. Kalau pembuat penyuruh dirumuskan dalam Pasal 55 ayat (1) dengan singkat, ialah yang menyuruh melakukan (doen plegen), tetapi pada bentuk orang yang sengaja menganjurkan ini dirumuskan dengan lebih lengkap, dengan menyebut unsure objektif yang sekaligus unsure subjektif. Rumusan itu selengkapnya ialah : “ mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan “.
Apabila rumusan itu hendak dirinci, maka unsur-unsurnya adalah :
Unsur-unsur objektif, terdiri dari :
a. Unsur perbuatan, ialah : menganjurkan orang lain melakukan perbuatan ;
b. Caranya, ialah :
• Dengan memberikan sesuatu ;
• Dengan menjanjikan sesuatu;
• Dengan menyalahgunakan kekuasaan;
• Dengan menyalahgunakan martabat;
• Dengan kekerasan;
• Dengan ancaman;
• Dengan penyesatan;
• Dengan member kesempatan ;
• Dengan memberikan sarana;
• Dengan memberikan kekurangan.
Unsure subjektif , yakni dengan sengaja.
Dari rumusan tersebut di atas, dapat disimpulkan ada 5 syarat dari seorang pembuat penganjur, ialah :
a. Tentang kesengajaan si pembuat penganjur, yang harus ditujukan pada 4 hal , yaitu :
1). Ditujukan pada digunakannya upaya-upaya penganjuran ;
2). Ditujukan pada mewujudkan perbuatan mengajurkan beserta akibatnya;
3). Ditujukan pada orang lain untuk melakukan perbuatan (apa yang dianjurkan) ; dan
4). Ditujukan pada orang lain yang mampun bertanggung jawab atau dapat dipidana.
b. Dalam melakukan perbuatan menganjurkan harus menggunakan cara-cara menganjurkan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 55 ayat 1 angka 2 tersebut.
c. Terbentuknya kehendak orang yang menganjurkan ( pembuat pelaksananya) untuk melakukan tindak pidana sesuai dengan apa yang dianjurkan adalah disebabkan langsung oleh digunakannnya upaya-upaya penganjuran oleh si pembuat penganjur (adanya psychische causaliteit)
d. Orang yang dianjurkan (pembuat pelaksananya) telah melaksanakan tindak pidana sesuai dengan yang dianjurkan (boleh pelaksanaan itu selesai tindak pidana sempurna atau boleh juga terjadi percobaannya )
e. Orang yang dianjurkan adalah orang yang memiliki kemampuan bertanggung jawab.
Cara penganjuran telah ditentukan secara limitative dalam Pasal 55 ayat (1) angka 2. Tidaklah boleh dengan menggunakan upaya yang lain, misalnya dengan mengimbau. Hal ini juga salah satu yang membedakan antara pembuat penganjur dengan pembuat penyuruh, pada pembuat penyuruh dapat menggunakan segala cara , asalkan pembuat materiilnya tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Peranan dan perbuatan yang dapat dilakukan oleh Pihak Ketiga dalam melakukan tindak pidana penyertaan di bidang pajak ini dapat saja menganjurkan wajib pajak untuk berbuat atau tidak berbuat sebagaimana yang diatur oleh Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pasal 39, Pasal 39 A, Pasal 41 A dan Pasal 41 B.
4. Membantu melakukan (medeplichtigheid)
Membantu melakukan (medeplichtigheid) merupakan pula bentuk penyertaan dalam kaitan delik hukum pajak. Kategori sifat membantu melakukan perbuatan dalam hukum pajak dapat berupa melakukan perbuatan yang bersifat aktif dan bersifat pasif (tidak berbuat). Menurut A. Zainal Farid dan A. Hamzah (2006; 224) bahwa ada dua jenis pembantuan yaitu dengan sengaja memberi bantuan pada saat kejadian diwujudkan dan yang dengan sengaja memberikan bantuan untuk melakukan atau mewujudkan kejahatan.

Dalam memahami Pasal 56 KUHP, perlu diperhatikan lebih dahulu rumusan Pasal 57 ayat (4) KUHP yang berbunyi sebagai berikut :
“Untuk menentukan hukuman bagi pembantu, hanya diperhatikan perbuatan yang dengan sengaja memudahkan atau diperlancar oleh pembantu itu serta akibatnya.”
Yang dimaksud rumusan “dengan sengaja memudahkan” adalah perbuatan yang memudahkan pelaku untuk melakukan kejahatan tersebut, yang dapat terdiri atas berbagai bentuk atau jenis, baik materiil maupun immateriil. Dalam hal ini, perlu diperhatikan Pendapat Mr. M.H. Tirtaamidjaja, yang menyatakan :
“...suatu bantuan yang tidak berarti tidak dapat dipandang sebagai bantuan yang dapat dihukum.”

Dengan demikian, perbuatan membantu tersebut sifatnta menolong atau memberikan sokongan. Dalam hal ini, tidak boleh merupakan perbuatan pelaksanaan. Jika telah melakukan perbuatan pelaksanaan, pelaku sudah termasuk mededader, bukan lagi membantu.
Mengenai rumusan “sengaja”, dalam hal ini telah cukup jika yang bersangkutan mengetahui bahwa apa yang dilakukannya itu akan memudahkan pelaksanaan kejahatan itu atau apa yang dilakukannya berhubungan dengan kejahatan yang akan dilakukan.
Prof. Simon menyatakan bahwa “membantu” harus memenuhi dua unsur, yakni unsur obyektif dan unsur subyektif. Hal ttersebut diutarakan sebagai berikut :
“Perbuatan seseorang yang membantu itu dapat disebut telah memenuhi unsur yang bersifat obyektif apabila perbuatan yang telah dilakukannya tersebut memang telah ia meksudkan untuk mempermudah atau untuk mendukung dilakukannya suatu kajahatan. Dalam hal seorang yang membantu telah menyerahkan alat-alat untuk melakukan kajahatan kepada seorang pelaku, namun ternyata alat-alat tersebut tidak digunakan oleh si pelaku, yang membantu tersebut juga tidak dapat dihukum.
Perbuatan seseorang yang membantu dapat disebut memenuhi unsur yang bersifat subyektif apabila si pembantu memang mengetahui bahwa perbuatannya itu dapat mempermudah atau dapat mendukung dilakukannya suatu kejahatan ...”.
Semua yang telah dibicarakan di atas adalah “membantu” suatu kejahatan dengan perbuatan yang bersifat aktif. Adakalanya perbuatan “membantu” dilakukan tanpa berbuat atau bersifat pasif. Hal ini dapat terjadi jika seseorang berkewajiban untuk berbuat tetapi “tidak berbuat”, misalnya petugas ronda sengaja tidak melakukan ronda agar maling dapat masuk ke rumah A; atau penjaga gudang, walaupun barang di gudang diambil orang, ia diam saja tanpa berusaha melarang atau mencegah.
Ada perbuatan “membantu” yang dianggap oleh KUHP sebagai perbuatan atau delik yang berdiri sendiri, antara lain seperti yang dimuat dalam Pasal 106, Pasal 107, Pasal 108, Pasal 110, Pasal 236 dan Pasal 237 KHUP.
Pertanggungjawaban dari “membantu” diatur dalam Pasal 57 KUHP yang berbunyi :
1). Maksimum hukuman pokok yang diancamkann atas kejahatan, dikurangi sepertiga bagi si pembantu;
2). Jika kejahatan itu dapat dihukum dengan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup, maka dijatuhkan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun;
3). Hukuman tambahan untuk kejahatan dan membantu melakukan kejahatan itu, sama saja;
4). Untuk menentukan hukuman bagi pembantu hanya diperhatikan perbuatan yang dengan sengaja memudahkan atau diperlancara oleh pembantu itu serta akibatnya.

Membantu melakukan perbuatan yang bersifat aktif dapat terjadi, misalnya pegawai dari wajib pajak memberikan saran agar wajib pajak melakukan penghindaran pajak secara illegal dengan cara membuat dua jenis pembukuan. Sementara itu membantu melakukan perbuatan yang bersifat pasif terjadi karena konsultan pajak yang wajib memberikan konsultasi tentang hukum pajak, ternyata tidak diberikan sehingga wajib pajak melakukan delik pajak.
Siapakah yang tergolong sebagai pihak yang membantu melakukan perbuatan dalam delik hukum pajak. Sebenarnya, yang tergolong sebagai pihak yang membentu melakukan perbuatan agar terjadi delik hukum pajak adalah pegawai wajib pajak, wakil wajib pajak, kuasa wajib pajak, akuntan publik, konsultan pajak dalam kategori pihak yang membantu melakukan perbuatan karena berdasarkan pada penjelasan pasal 43 ayat 1 UUKUP. Sementra itu, yang termasuk dalam pengertian pihak lain adalah advokat dan penasehat hukum yang mendampingi wajib pajak tatkala memerlukan bantuan hukum dalam rangka penyelasaian sengketa pajak, baik di lembaga keberatan maupun pengadilan pajak.
Ketentuan dalam hukum pajak yang mengatur tentang orang yang membantu melakukan perbuatan diatur dalm pasal 43 UUKUP. Ketentuan ini menunjuk pula pada pasal 39, pasal 39A, pasal 41A, dan 41B UUKUP. Penunjuk tersebut merupakan penegesan terhadap kata “setiap orang” yang terdapat pada pasal 39, pasal 39A, pasal41A, dan pasal 41B UUKUP. Hal ini dapat disimak substansi pasal 43 UUKUP yang berbunyi sebagai berikut :
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 39A, berlaku juga bagi wakil, kuasa, pegawai dari Wajib Pajak, atau pihak lain yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A dan Pasal 41B berlaku juga bagi yang menyuruh melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.

Kemudian dalam penjelasan ketentuan pasal 43 ayat (1) UU KUP memperluas pengertian orang yang membantu melakukan perbuatan bukan hanya wakil pajak, kuasa wajib pajak, pegawai wajib pajak dan pihak lain, tetapi termasuk pula akuntan publik, dan konsultan pajak sebagai bagian dari pihak yang membantu melakukan perbuatan merupakan bentuk pencegahan dalam kerangka mengantisipasi delik hukum pajak. Tidak dapat dipungkiri bahwa akuntan publik dan konsultan pajak sangat berperan terhadap wajib pajak, termasuk kegiatan untuk membantu melakukan perbuatan yang mengarah kepada delik hukum perpajakan.
Peranan dan perbuatan yang dapat dilakukan oleh Pihak Ketiga dalam melakukan tindak pidana penyertaan di bidang pajak ini dapat membantu wajib pajak berbuat atau tidak berbuat sebagaimana yang diatur oleh Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pasal 39, Pasal 39 A, Pasal 41 A dan Pasal 41 B.

















DAFTAR PUSTAKA

Adami Chazawi, 2002, Percobaan dan Penyertaan Pelajaran Hukum Pidana , PT. RadjaGrafindo Persada, Jakarta.
Leden Marpaung, 2005, Asas-Teori –Praktek Hukum Pidana , Sinar Grafika, Jakarta.
Muhammad Djafar Saidi & Eka Merdekawati Djafar,2011, Kejahatan Di Bidang Perpajakan, PT. RadjaGrafindo Persada, Jakarta.
Marihot Pahala Siahaan, 2010, Hukum Pajak Elementer Konsep Dasar Perpajakan Indonesia, Graha Ilmu, Yogyakarta.
Zainal Abidin Farid, A, & A. Hamzah, 2006, Bentuk-Bentuk Khusus Perwujudan Delik ( Percobaan, Penyertaan, dan Gabungan Delik ) Dan Hukum Penitensier, PT. RadjaGrafindo Persada, Jakarta.
Y. Sri Pudyatmoko, 2009 (edisi Revisi), Pengadilan dan Penyelesaian Sengketa Di Bidang Pajak, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
R, Soesilo, 1996, Kitab Undang – Undang Hukum Pidana, Politea Bogor,
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah beberapa kali dan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Perubahan Undang-Undang ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMEGANG SERTIFIKAT HAK ATAS TANAH (Suatu Kajian Terhadap Asas Itikad Baik/Kebenaran dan Asas Nemo Plus Juris)

A. Latar Belakang Masalah

Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa :
“ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum “.
Selanjutnya Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa :
“ Bumi , air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat “
Bagi Negara Republik Indonesia , yang susunan perekonomiannya dan corak kehidupannya masih bersifat agraris maka tanah mempunyai fungsi dan peranan yang mencakup berbagai aspek penghidupan dan kehidupan masyarakat, bukan hanya aspek ekonomis belaka tetapi juga menyangkut aspek-aspek yang non ekonomis, apalagi tanah merupakan segala-galanya bagi masyarakat yang peranannya bukan hanya sekedar faktor produksi melainkan pula mempunyai nilai untuk mendukung martabatnya sebagai manusia.
Berbagai pengalaman historis telah membuktikan bahwa tanah sangat lengket dengan perilaku masyarakat bahkan tanah dapat menimbulkan masalah bila sendi-sendi perubahan tidak memiliki norma sama sekali.
Betapa pentingnya tanah sebagai sumber daya hidup, maka tidak ada sekelompok masyarakatpun di dunia ini yang tidak memiliki aturan-aturan atau norma-norma tertentu dalam masalah pertanahan ini, penduduk bertambah , pemikiran manusia berkembang, dan berkembang pulalah sistem , pola, struktur dan tata cara manusia menetukan sikapnya terhadap tanah.
Seiring dengan perubahan dan perkembangan pola pikir, pola hidup dan kehidupan manusia maka dalam soal pertanahanpun terjadi perubahan, terutama dalam hal pemilikan dan penguasaannya dalam hal ini tentang kepastian hukum dan kepastian hak atas tanah yang sedang atau yang akan dimilikinya.
Dengan adanya persoalan-persoalan , baik mengenai pertambahan penduduk maupun perkembangan ekonomi, maka kebutuhan terhadap tanah dalam kegiatan pembangunan akan meningkat. Berdasarkan kenyataan ini, tanah bagi penduduk Indonesia dewasa ini merupakan harta kekayaan yang paling tinggi nilainya dan juga merupakan sumber kehidupan, maka dari itu jengkal tanah dibela sampai titik darah penghabisan apabila hak tanahnya ada yang mengganggu. Untuk menjaga jangan sampai terjadi sengketa maka perlu diadakan pendaftaran tanah.
Sadar akan tugas dan kewajibannya itu maka pemerintah telah menetapkannya pada pasal 19 UUPA yang pada ayat (1) nya menyatakan bahwa : “ Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur degan Peraturan Pemerintah “. Selanjutnya pada ayat (2) nya memberikan rincian bahwa pendaftaran tanah yang disebut pada ayat (1) tersebut meliputi :
a. Pengukuran, pemetaan, dan pembukuan tanah;
b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;
c. Pemberian surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat bukti yang kuat.
Sebagai implementasi dari pasal 19 ayat (1) dan (2) ini maka dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah di bidang Pendaftaran Tanah yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 mengenai Pendaftaran Tanah. Dan pendaftaran tanah dimaksud dijejaskan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 pada pasal 2 ayat (1) nya yaitu harus dilakukann desa demi desa atau daerah-daerah yang setingkat dengan itu.
Dengan melihat konsepsi pasal 19 ayat (1 dan 2 ) UUPA serta pasal 2 ayat (1) PP Nomor 10 tahun 1961 tersebut di atas, maka kita dapat mengetahui bahwa pendaftaran tanah adalah perlu demi terciptanya kepastian hukum dan kepastian hak atas tanah. Dalam pelaksanaan pendaftaran ini, pemerintah akan melaksanakan secara sederhana dan mudah dimengerti dan secara berangsur-angsur. Konsepsi logis dari semua itu adalah ayat 2 c pasal 19 UUPA yaitu “ akan diberikan tanda bukti hak/surat bukti hak , di mana surat-surat bukti hak tersebut akan berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Inilah fungsi pokok sebenarnya dari pendaftaran tanah.
Jadi jelaslah sebenarnya bahwa tujuan pendaftaran tanah untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum terhadap hak atas tanah. Pendaftaran Tanah adalah tugas dan beban pemerintah akan tetapi untuk mensukseskannya/ keberhasilannya sangat tergantung pada partisipasi aktif / peranan masyarakat terutama pemegang hak.
Sistem pendaftaran tanah yang dianut oleh PP. No. 10 tahun 1961 adalah Sistem Negatif. Sistem ini disempurnakan atau dikembangkan oleh PP. No. 24 Tahun 1997 adalah asas negatif mengandung unsur positif , menghasilkan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
Jadi kalau dilihat dari tujuan pendaftaran tanah baik melalui Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 maupun Nomor 24 tahun 1997 maka status kepemilikan hak atas tanah bagi warga Negara Indonesia akan terjamin dan akan tercipta suatu kepastian baik mengenai, subjeknya, objeknya maupun hak yang melekat di atasnya termasuk dalam hal ini peralihan hak atas tanah. Hanya saja Kantor Pertanahan harus lebih aktif lagi mensosialisasikan kegiatan pendaftaran tanah baik mengenai tata cara, prosedur maupun biayanya serta pentingnya pendaftaran tanah ini bagi pemegang hak . Dan yang lebih penting lagi kantor Pertanahan harus senantiasa melakukan pemutakhiran data tanah agar tidak terjadi overlapping dalam pemberian haknya atau pendaftaran haknya yang dapat menimbulkan masalah hukum yaitu sengketa/perkara yang disebabkan oleh adalanya sertifikat ganda atau sertifikat palsu. Kantor Pertanahan haruslah senantiasa memutakhirkan datanya terutama buku tanah sebagai bank data .
Dalam realitas kehidupan kita ditengah-tengah masyarakat terdapat fakta bahwa masih banyak persoalan /sengketa tanah yang berawal dari belum terciptanya kepastian hukum atas sebidang tanah seperti masih adanya sengketa /perkara dibidang pertanahan sebagai akibat baik karena belum terdaftarnya hak atas tanah maupun setelah terdaftarnya hak atas tanah , dalam artian setelah tanah itu bersertifikat. Sehubungan dengan pendaftaran tanah, pertanyaan yang dapat timbul adalah siapakah yang sebenarnya yang ingin dilindungi oleh hukum dengan dilakukannya pendaftaran tanah ini.
Maka untuk menjawab pertanyaan ini, kami memilih judul /topic dari makalah ini adalah : PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMEGANG SERTIFIKAT HAK ATAS TANAH ( Suatu Kajian Terhadap Asas Itikad Baik/Kebenaran dan Asas Nemo Plus Juris) “.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana fungsi dan peranan Pendaftaran Tanah dalam memberikan perlindungan hukum bagi pemegang Sertifikat Hak Atas Tanah.

C. Pembahasan

Prof. Dr. Maria S.W. Sumardjono, SH., MCL., MPA ( 2001 : 37 ) mengutarakan , bahwa Hukum menghendaki kepastian. Hukum Pertanahan Indonesia menginginkan kepastian siapa pemegang hak milik atau hak-hak lain atas sebidang tanah. Di dalam realitasnya, pemegang sertifikat atas tanah belum merasa aman akan kepastian haknya, bahkan sikap keragu-raguan yang seringkali muncul dengan banyaknya gugatan yang menuntut pembatalan sertifikat tanah melalui pengadilan.
Sedangkan menurut DR. Muchtar Wahid, ( 2008 : 9 ) sertifikat tanah sebagai produk pendaftaran yang memenuhi aturan hukum normatif , belum menjamin kepastian hukum dari sudut pandang sosiologi hukum. Yang dimaksud oleh beliau kepastian hukum dari sudut pandang sosiologi hukum itu adalah realitas sosial yang terjadi di masyarakat.
Dengan memperhatikan kemampuan pemerintah , maka pelaksanaan pendaftaran tanah dilakukan secara bertahap. Sebagai langkah awal dilakukan pengukuran desa-demi desa untuk memenuhi ketersediaan Peta Dasar Pendaftaran Tanah yang memuat titik – titik dasar tehnik dan unsur-unsur geografis serta batas fiksik bidang-bidang tanah. Pada wilayah yang belum dilakukan secara sistematik , peta dasar pendaftraan tanah sangat diperlukan untuk mengidentifikasi dan menentapkan letak tanah yang akan didaftarkan secara sporadik, dan selanjutnya menjadi dasar untuk pembuatan peta pendaftaran.
Sehubungan dengan pemberian kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah, baik mengenai subjek maupun objeknya , maka pemerintah mengharuskan dilakukan pengumuman mengenai hak –hak atas tanah, yang meliputi :
1. Pengumuman mengenai subjek yang menjadi pemegang hak yang dikenal dengan sebagai asas publisitas dengan maksud agar masyarakat luas dapat mengetahui tentang subjek dan objek atas satu bidang tanah . Adapun implementasi dari asas publisitas ini adalah dengan mengadakan pendaftaran tanah.
2. Penetapan mengenai letak, batas-batas, dan luas bidang – bidang tanah yang dipunyai seseorang atas sesuatu hak atas tanah, dikenal sebagai asas spesialitas daan implementasinya adalah dengan mengadakan Kadaster.
Dengan demikian ,maka seseorang yang hendak membeli suatu hak atas tanah tidak perlu melakukan penyelidikan sendiri, karena keterangan mengenai subyek dan objek atas suaru bidang tanah dapat diperoleh dengan mudah pada instansi pemerintah yang ditugaskan menyelenggarakan Pendaftaran Tanah.
Pelaksanaan pendaftaran tanah sebagaimana yang diatur oleh PP. No. 10 tahun 1961 belum berjalan efektif , hal ini selain sasaran utamanya/daerah yang diutamakan adalah daerah –daerah perkotaan, juga menyangkut tata cara , administrasi dan biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat pemegang hak atas tanah sangatlah berat dirasakan oleh masayarakat pemegang hak atas tanah serta sosialisasi terhadap pelaksanaan PP itu sendiri belum maksimal. Dengan kondisi tersebut maka tujuan pendaftaran tanah belum tercapai.
Akselerasi dalam pembangunan nasional sangat memerlukan dukungan jaminan kepastian hukum di bidang pendaftaran tanah dan oleh karena PP. No. 10 Tahun 1961 dipandang tidak lagi sepenuhnya mendukung tercapainya hasil yang lebih nyata pada pembangunan nasional sehingga perlu dilakukan penyempurnaan. Dengan menimbang hal-hal tersebut , maka pemerintah memandang perlu membuat suatu aturan yang lengkap mengenai pendaftaran tanah yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat untuk adanya jaminan kepastian hukum dan akhirnya pada tanggal 8 Juli 1997 , Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Dengan berlakunya PP. No. 24 Tahun 1997 tidak serta merta menghapuskan keberlakuan PP. No. 10 Tahun 1961, akan tetapi PP. No. 10 tahun 1961 tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan atau diubah atau diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997. ( Pasal 64 ayat 1 PP. No. 24 Tahun 1997).
Objek pendaftaran tanah ini bila dikaitkan dengan sistem pendaftaran tanah maka menggunakan sistem pendaftaran tanah bukan pendaftaran akta, karena sistem pendaftaran tanah ditandai/dibuktikan dengan adanya dokumen Buku Tanah sebagai dokumen yang memuat data yuridis dan data fisik yang dihimpun dan disajikan serta diterbitkannya sertifikat sebagai surat tanda bukti hak yang didaftar, sedangkan pendaftaran akta, yang didaftar bukan haknya, melainkan justru aktanya yang didaftar, yaitu dokumen-dokumen yang membuktikan diciptakannya hak yang bersangkutan dan dilakukannya perbuatan-perbuatan hokum mengenai hak tersebut kemudian.
Dengan adanya PP. Nomor 24 tahun 1997 ini, kelihatanya program atau kegiatan pendaftaran tanah mulai menggeliat, saat ini pendaftaran tanah sudah berjalan , namun perlu ditingkatkan terus dan mencari solusi yang efektif agar tujuan hakiki dari pendaftaran tanah terutama bagi tanah yang akan didaftar secara sistematis dan sporadik dapat tercapai..
Sistem pendaftaran tanah yang dianut oleh PP. No. 10 tahun 1961 adalah Sistem Negatif. Sistem ini disempurnakan atau dikembangkan oleh PP. No. 24 Tahun 1997 adalah asas negatif mengandung unsur positif , menghasilkan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
Pemerintah harus terus mencari cara dan sistem dalam rangka optimalisasi tujuan pendaftaran tanah terutama mengenai asas sederhana . aman dan terjangkau, sehingga golongan ekonomi lemahpun dapat termotifasi untuk mendaftarkan tanahnya terutama secara sistematis dan sporadik, walaupun saat ini sudah ada program Larasita yang lebih mendekatkan pada pelayanan dan bantuan biaya .
Jadi kalau dilihat dari tujuan pendaftaran tanah baik melalui Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 maupun Nomor 24 tahun 1997 maka status kepemilikan hak atas tanah bagi warga Negara Indonesia akan terjamin dan akan tercipta suatu kepastian baik mengenai, subjeknya, objeknya maupun hak yang melekat diatasnya termasuk dalam hal ini peralihan hak atas tanah. Hanya saja Kantor Pertanahan harus lebih aktif lagi mensosialisasikan kegiatan pendaftaran tanah baik mengenai tata cara, prosedur maupun biayanya serta pentingnya pendaftaran tanah ini bagi pemegang hak . Dan yang lebih penting lagi kantor Pertanahan harus senantiasa melakukan pemutakhiran data tanah agar tidak terjadi overlapping dalam pemberian haknya atau pendaftaran haknya yang dapat menimbulkan masalah hukum yaitu sengketa/perkara yang disebabkan oleh adalanya sertifikat ganda atau sertifikat palsu. Kantor Pertanahan haruslah senantiasa memutakhirkan datanya terutama buku tanah sebagai bank data .
Sifat pembuktian sertifikat sebagai tanda bukti hak dimuat dalam pasal 32 PP no. 24 tahun 1997,yaitu :
1. Sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya,sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan.
2. Dalam atas hal suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 tahun sejak diterbitkannya sertifikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan kepala kantor pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan kepengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertifikat.

Ketentuan pasal ayat (1) Peraturan pemerintah no.24 tahun 1997 merupakan penjabaran dari ketentuan pasal 19 ayat (2) huruf c, pasal 23 ayat (2), Pasal 32 ayat (2), dan Pasal 38 ayat (2) UUPA, yang berisikan bahwa pendaftaran tanah menghasilkan surat tanda bukti yang berlakusebagai alat pembuktian yang kuat.
Berdasarkan ketentuan Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah no.24 Tahun 1997, maka sistem publikasi pendaftaran tanah yang dianut adalah sistem publikasi negatif,yaitu sertifikat hanya merupakan surat tanda bukti yang mutlak. Hal ini berarti bahwa data fisik dan data yuridis yang tercantum dalam sertifikat mempunyai kekuatan hukum dan harus diterima hakim sebagai keterangan yang benar selama dan sepanjang tidak ada alat bukti lain yang membuktikan sebaliknya. Dengan demikian, pengadilanlah yang berwenang memutuskan alat bukti mana yang benar dan apabila terbukti sertifikat tersebut tidak benar, maka diadakan perubahan dan penbetulan sebagaiamana mestinya.
Ketentuan pasal 32 ayat (1) peraturan Pemerintah no. 24 tahun 1997 mempunyai kelemahan, yaitu Negara tidak menjamin kebenaran data fisik dan data yuridis yang disajikan dan tidak adanya jaminan bagi pemilik sertifikat dikarenakan sewaktu-sewaktu akan mendapatkan gugatan dari pihak lain yang merasa dirugikan atas diterbitkannya sertifikat.
Untuk menutupi kelemahan dalam ketentuan pasal 32 Ayat (1) Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 dan untuk memberikan perlindungan hukum kepada pemilik sertifikat dari gugatan dari pihak lain dan menjadikannya sertifikat sebagai tanda bukti yang bersifat mutlak. Maka dibuatlah ketentuan Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997, sertifikat sebagai surat tanda bukti hak yang bersifat mutlak apabila memenuhi unsur-unsur secara kumulatif,yaitu :
1. Sertifikat diterbitkan secara sah atas nama orang atau badan hukum
2. Tanah diperoleh dengan itikad baik
3. Tanah dikuasai secara nyata
4. Dalam waktu 5 tahun sejak diterbitkannya sertifikat itu tidak ada yang mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan kepala kantor pertanahan kabupaten/kota setempat ataupun tidak mengajukan gugatan ke pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertifikat.

Secara lengkap bunyi ketentuan Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menyatakan :
Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertipikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertipikat itutelah tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertipikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertipikat tersebut.

Menurut Dr. Irawan Soerodjo, SH., MSi, (2002 : 186) menyatakan bahwa ketentuan setelah 5 (lima) tahun sertipikat tanah tak bisa digugat , disatu sisi memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum tetapi disisi lain kebijakan tersebut juga riskandan tak memberikan perlindungan hukum kepada rakyat kecil yang sejauh ini belum sepenuhnya paham hukum. Pengumuman penerbitan sertipikat tanah di kantor kepala desa/kelurahan atau media massa tidak menjamin masyarakat dapat mengetahui atas adanya pengumuman sehubungan dengan penerbitan sertipikat. Hal ini dikarenakan masyarakat belum terbiasa membaca pengumuman di kelurahan atau media massa.
Elyana (sebagaimana yang dikutip oleh Dr. Irwan Soerdjo , 2002 : 187), menyatakan bahwa :
Pembatasan 5 (lima) tahun saja hak untuk menggugat tanah yang telah bersertipikat harus disambut dengan rasa gembira karena akan memberikan kepastian hukum dan ketentraman pada orang yang telah memperoleh sertipikat tanah dengan itikad baik. Pengalaman menunjukkan bahwa sering terjadi sertipikat hak atas tanah yang telah berumur lebih dari 20 tahun pun (karena sertipikat tersebut telah diperpanjang sampai dengan 20 tahun lagi ) masih juga dipersoalkan dengan mengajukan gugatan. Bahkan baik di Pengadilan Negeri maupun ke Pengadilan Tata Usaha Negara dan pihak tergugat umumnya tidak berhasil dengan mengajukan eksepsi kedaluwarsaan baik akusatif maupun extingtip karena Hakim menganggap Hukum Tanah Nasional kita berpijak pada hukum adat yang tidak mengenal lembaga verjaring. Dengan adanya pembatasan 5 tahun dalam pasal 32 ayat 2 maka setiap Tergugat dalam kasus tanah yang sertipikatnya telah berumur 5 tahun dapat mengajukan eksepsi lewat waktu. Ketentuan pasal 32 ayat 2 ini dapat dipastikan akan banyak mengurangi kasus/sengketa tanah.
Lebih lanjut Dr. Irawan Soerodjo, SH., MSi, (2002 : 187) menyatakan bahwa sedangkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menyebutkan setelah lewat jangka waktu 5 (lima) tahun setelah diterbitkan ; maka sertipikat tanah tak dapat digugat lagi, sehingga hal tersebut akan relatif lebih memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum.
Menurut kami, ketentuan ini pada prinsipnya menganut sistem publikasi positif, karena dengan adanya pembatasan waktu lewat dari 5 (lima) tahun tidak dapat digugat lagi oleh orang yang merasa berhak atas tanah termaksud. Dengan ketentuan bahwa proses permohonan dan pendaftaran maupun peralihan haknya senantiasa dilandasai oleh itikad baik atau kebenaran serta berpegang teguh pada asas Nemo Plus Yuris.
Dengan menerapkan kedua asas ini yaitu asas itikad baik/kebenaran dan asas Nemo Plus Yuris akan memberikan perlidungan hukum kepada pemegang sertifikat hak atas tanah, tentunya penerapan kedua asas ini harus dikuti pula dengan asas penguasaan fisik atas tanah termaksud,karena dengan menguasai secara fisik dan tanpa ada keberatan dari pihak lain , itu berarti masyarakat atau siapapun orangnya telah mengakui kepemilikan seseorang atas tanah yang dikuasainya itu. Dengan mebguasai terus menerus atas tanah termaksud berarti secara tidak langsung pemilik tanah itu menolak atau terhindar dari prinsip rechtsverwerking. Prinsip ini menyatakan bahwa pihak yang merasa mempunyai hak atas tanah harus mempertahankan haknya akan tetapi kalau pemilik tanah tidak memelihara atau mempertahankan haknya atas tanah termaksud berarti dia telah melepaskan haknya.
Di dalam penjelasan peraturan pemerintah No. 10 Tahun 1961 tentang pendaftaran tanah dinyatakan bahwa pembukuan suatu hak di dalam daftar buku tanah atas nama seseorang tidak mengakibatkan bahwa orang yang seharusanya berhak atas nama itu akan kehilangan haknya. Orang tersebut masih dapat menggugat hak dari yang terdaftar dalam buku tanah sebagai orang yang berhak. Jadi, cara pendaftaran hak yang diatur dalam peraturan pemerintah ini tidaklah positif, tetapi negative. Demikian penjelasan peraturan pemerintah No. 10 tahun 1961.
Pengertian sistem pendaftaran tanah yang positif mencakup ketentuan bahwa apa yang sudah terdaftar itu dijamin kebenaran data yang didaftarkannya dan untuk keperluan itu pemerintah meniliti kebenaran dan sahnya tiap warkah yang diajukan untuk didaftarkan sebelum hal itu dimaksukkan dama daftar-daftar.
Dalam sistem positif, Negara menjamin kebenaran data yang disajikan, sistem positif mengandung ketentuan-ketentuan yang merupakan perwujudan ungkapan “title by registration” (dengan pendaftaran diciptakan hak), pendaftaran menciptakan suatu “indefeasible title” (hak yang tidak dapat diganggu gugat) dan “the register is everything” (untuk memutuskan adanya suatu hak dan pemegang haknya cukup diliat buku tanahnya). Sekali didaftar pihak yang dapat membuktikan bahwa dialah pemegang hak yang sebenarnya kehilangan haknya untuk menuntut kembali tanah yang bersangkutan. Jika pendaftaran terjadi karena kesalahan pejabat pendaftaran dia hanya dapat menuntut pemberian ganti rugi atau kompensasi berupa uang. Untuk itu Negara menyediakan apa yang disebut sebagai suatu “assurance fund”.
Ketentuan-ketentuan yang merupakan perwujudan-perwujudan ungkapan-ungkapan demikian tidak terdapat dalam UUPA. Dalam sistim publikasi negative juga dalam sistem negative, kita yang mengandung unsure positif, Negara tidak dapat menjamin kebenaran data yang disajikan. Penggunaannya adalah atas risiko pihak yang menggunakan sendiri. Di dalam asas Nemo plus yuris, perlindungan diberikan pada pemegang atas hak sebenarnya maka dengan asas ini selalu terbuka kemungkinan adanya gugatan kepada pemilik terdaftar dari orang yang merasa sebagai pemilik sebenarnya.
Terlepas dari kemungkinan kalah atau menangnya, tergugat yaitu pemegang hak terdaftar, maka hal ini berarti bahwa daftar umum yang diselenggarakan disuatu Negara dengan prinsip pemilik terdaftar tidak dilindungi hukum, tidak mempunyai kekuatan bukti. Ini berarti bahwa terdaftarnya seseorang di dalam daftar umum sebagai pemegang hak belum membuktikan orang itu seebagai pemegang hak yang sah menurut hukum. Jadi pemerintah tidak menjamin kebenaran dari sisi daftar-daftar umum yang diadakan dalam pendaftaran hak dan tidak pula dinyatakan dalam Undang-Undang.
Sebagai contoh lihat UUPA Pasal 23, 32 dan 38 yang isinya menyatakan pula dalam peralihan hak-hak (Hak milik, HGU, dan HGB) harus didaftar dan pendaftaran dimaksud merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai sahnya peralihan hak tersebut. Kuat tidak berarti mutlak, namun lebih dari yang lemah sehingga pendaftaran berarti lebih menguatkan pembuktian pemilikan, akan tetapi tidak mutlak yang berarti pemilik terdaftar tidak dilindungi hukum dan bisa digugat sebagai mana dimaksud didalam penjelasan PP Nomor 10 Tahun 1961.
Hal pokok yang penting diluar perlindungan masalah hukum dan kekuatan bukti dari daftar-daftar umum ialah masalah artihukum dari suatu pendaftaran hak ataupun pendaftaran peralihan hak atas tanah.
Pasal 1 angka (20)
Sertipikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat 2 huruf (c) UUPA. Untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan.
Pasal 4
1. Untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 huruf a kepda pemegang hak yang bersangkutan diberikan SERTIFIKAT ATAS TANAH
2. Untuk melaksanakan informasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 huruf b data fisik, data yuridis dari bidang tanah dan satuan rumah susun yang sudah terdaftar terbuka untuk umum
3. Untuk mencapai tertib administrasi sebagaimana dimaksud dalma pasal 3 huruf c, setiap bidang tanah dan satuan rumah susun termasuk peralihan, pembebanan dan hapusnya hak atas bidang tanah atas satuan rumah susun wajib didaftar
Dalam pendaftaran tanah dikenal dua macam sistem publiaksi, yaitu :
1. Sistem publiaksi positif yaitu apa yang terkandung dalam buku tanah dan surat-surat tanda bukti hak yang dikeluarkan merupakan alat pembuktian yang mutlak. Artinya pihak ketiga bertindak atas bukti-bukti tersebut diatas, mendapatkan perlindungan yang mutlak, biarpun dikemudian hari ternyata keterangan yang tercantum didalamnya tidak benar. Bagi mereka yang dirugiakn akan mendapat kompensasi ganti rugi
Dlam sistem publikasi positif, orang yang mendaftar sebagai pemegang hak atas tanah tidak dapat diganggu gugat lagi haknya. Dalam sistem ini, Negara sebagai pendaftar menjamin bahwa pendaftaran yang sudah dilakukan adalah benar.
Cirri-ciri sistem publikasi positif dalam pendaftaran tanah adalah :
a. Sistem pendaftaran tanah menggunakan sistem pendaftaran hak (registration of titles)
b. Sertifikat yang diterbitkan sebagai tanda bukti hak bersifat mutlak, yaitu data fisik dan data yuridis yang tercantum dalamsertifikat tidak dapat diganggu gugat dan memberikan kepercayaan yang mutlak pada buku tanah.
c. Negara sebagai pendaftar menjamin bahwa data fisik dan data yuridis dalam pendafataran tanah adalah benar
d. Pihak ketiga yang memperoleh tanah dengan itikad baik mendapatkan perlindungan hukum yang mutlak
e. Pihak lain yang dirugikan atas diterbitkannya sertifikat mendapatkan kompensasi dalam bentuk yang lain
f. Dalam pelaksanaan pendaftraan tanah membutuhkan waktu yang lama, petugas pendaftaran tanah melaksanakan tugasnya dengan sangat teliti, dan biaya yang relative lebih besar.

Boedi Harsono (2003 : 81-82 ) mengemukakan, dalam sistem positif, pendaftaran tanah menagnut sikap bahwa apa yang sudah terdaftar itu dijamin mencerminkan keadaan yang sebenarnya, baik tentang subyek hak maupun obyek haknya. Pemerintah menjamin kebenaran data yang telah terdaftar dan untuk keperluan tersebut pemerintah telah meneliti kebenaran dan sahnya tiap berkas yang diajukan untuk didaftarkan sebelum dimasukan kedalam daftar-daftar tanah. Dengan demikian subyekhak yang terdaftar sebagai pemegang hak atas tanah merupakan pemegang hak yang sah menurut hukum dan tidak bisa diganggu gugat dengan dasar atau alasan apapun juga. Orang yang namannya terdaftar sebagai pemegang hak dalam register, memperoleh apa yang disebut suatu indefeasible title ( hak yang tidak dapat diganggu gugat). Dengan selesainya dilakukan pendaftaran atas nama penerima hak ,maka orang lain yang sebenarnya berhak menjadi kehilangan haknya. Ia tidak dapat menuntut pembatalan perbuatan hukum yang memindahkan hak yang bersangkutan kepada pembeli. Dalam keadaan tertentu ia hanya bisa menuntut ganti kerugian kepada Negara. Untuk menghadapi tuntutan ganti kerugian tersebut , Negara menyediakan suatu dana khusus.
2. Sisitem publikasi negatif, sertifikat yang dikeluarkan merupakan tanda bukti hak atas tanah yang kuat, artinya semua keterangan yang terdapat dalam sertifikat mempunyaik kekuatan hukum dan harus diterima sebagai keterangan yang benar oleh hakim, selama tidak dibuktikan sebaliknya alat pembuktian yang lain.
Lebih lanjut Boedi Harsono mengatakan bahwa pendaftaran tanah yang menggunakan sistem publikasi negatif, Negara sebagai pendaftar tidak menjamin bahwa orang yang terdaftar sebagai pemegang hak benar-benar orang yang berhak karena menurut sistem ini bukan pendaftaran tetapi sahnya perbuatan hukum yang dilakukan yang menentukan berpindahnya hak kepada pembeli. Pendaftaran tidak membikan orang yang memperoleh hak dari pihak yang tidak berhak menjadi pemegang hak yang baru
Dalam sistem publikasi negatif, jaminan perlindungan hukum yang diberikan pada pihak ketiga tidak bersifat mutlak seperti pada sistem positif. Piahk ketiga masih selalu berhati-hati dan tidak mutlak percaya pada apa yang tercantum dalam buku pendaftaran tanah atau surat tanda bukti hak yang dikeluarkannya.
Dalm sistem publikasi negatif berlaku asas nemo plus juris, artinya orang tidak dapat menyerahkan atau memindahkan hak melebihi apa yang dia sendiri dia punyai. Seseorang yang tidak berhak atas bidang tanah tertentu dengan sendidirnya tidak dapat melakukan suatu perbuatan hukum mendaftarkan tanah tersebut, apalagi mengalihkannya pada pihak lain. Asas nemo plus juris ini dalam rangka memberikan perlindungan hukum kepada pemilik tanah yang sebenarnya, yang tanahnya disertifikatkan pada orang lain
Ciri-ciri sistem publikasi negatif dalam pendaftaran tanah yaitu :
a. Sistem pendaftaran tanah menggunakan sistem pendaftaran akta ( registration of deed)
b. Sertifikat yang diterbitkan sebagai tanda bukti hak bersifat kuat, yaitu data fisik dan data yuridis yang tercantum dalam sertifikat dianggap benar sepanjang tidak dibuktikan sebaliknya oleh alat bukti yang lain. Sertifikat bukan sebagai satu satunya tanda bukti hak
c. Negara sebagai pendaftar tidak menjamin bahwa data fisik dan data yuridis dalam pendaftaran tanah adalah benar
d. Dalam sistem publikasi ini menggunakan lembaga kedaluwarsa
e. Pihak lain yang dirugikan atas diterbitkannya sertifikat dapat mengajukan keberatan kepada penyelenggara pendaftaran tanah untuk membatalkan sertifikat ataupun gugatan ke pengadilan untuk meminta agar sertifikat dinyatakan tidak sah
f. Petugas pendaftaran bersifat pasif, yaitu hanya menerima apa yang dinyatakan oleh pihak yang meminta pendaftaran tanah.
Apabila ditelaah dan dianalisis cara kerja sistem publikasi negatif ini, maka kami menyimpulkan bahwa dengan sistem ini pada dasarnya tidak dapat menciptakan kepastian hukum apalagi memberikan perlindungan hukum, karena masih ada kemungkinan pihak lain mengganggu kepemilikan pihak yang telah memegang sertifikat hak atas tanah sebagai bukti bahwa dia telah mematuhi perintah hukum dan atau aturan perundang-undangan, apalagi Negara kita hanya mengenal sistem hukum positif . , tidak ada sistem hukum negatif.
DR. Muchtar Wahid ( 2008 : 75-76 ) menyatakan bahwa sistem negatif murni dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Kelemahan yang mendasar mengenai sistem negatif adalah pendaftaran tanah tidak menciptakan hak yang tidak dapat diganggu gugat. Yang menentukan sah atau tidaknya suatu hak serta pemilikannya adalah sahnya perbuatan hukum yang dilakukan, bukan pendaftarannya. Oleh karena itu, biarpun sudah didaftar dalam buku tanah dan diterbitkan sertifikat masih selalu dihadapi kemungkinan pemegang hak yang terdaftar kehilangan hak tanah yang dikuasainya karena digugat oleh pihak yang berhak sebenarnya.
Kami sependapat dengan pendapat DR. Muchtar Wahid dan Boedi Harsono, memang seharusnyalah kelemahan dari sistem negatif ini ditutupi dan pendaftaran tanah kita kedepannya haruslah memilih sistem positif, agar tercipta kepastian hukum yang dapat melindungi kepentingan para pemegang sertifikat hak atas tanah.., tentunya pemohon hak yang berdasarkan dan atau dilandasi oleh itikad baik ( kebenaran baik formil maupun materil) dan Nemo Plus Juris. Dan kedua asas ini dimiliki oleh manusia sebagai mahkluk Allah SWT., dan adalah sangat wajar untuk di realisasikan dan diwujudkan dalam tingkah laku dan tindak tanduk kehidupan kita sehari-hari.
D. Kesimpulan

1. Bahwa tujuan pendaftaran tanah adalah untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah
2. Sertifikat hak atas tanah adalah sebagai bukti hak yang merupakan perwujudan dari proses pendaftaran tanah yang dapat memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pemegangnya.
3. Sistem pendaftaran tanah di Indonesia menganut sistem publikasi negatif yang bertendensi positif. Sistem ini pada dasarnya kurang memberikan kepastian hukum apalagi perlindungan hukum baik kepada pemegang sertifikat, maupun pihak ketiga yang memperoleh hak atas tanah.
4. Untuk dapat lebih memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum sebaiknya UUPA kita atau hukum tanah kita menganut sistem publikasi positif.
5. Yang dilindungi dengan diadakannya pendaftaran tanah yaitu pemegang sertifikat hak atas tanah, karena dengan dilakukannya pendaftaran tanah berarti akan tercipta kepastian hukum, kepastian hak serta tertib administrasi pertanahan sehingga semua pihak terlidungi dengan baik, baik pemegang sertifikat, pemegang hak atas tanah , pihak ketiga yang memperoleh hak atas tanah maupun pemerintah sebagai penyelenggara Negara.













DAFTAR PUSTAKA

Adrian Sutedi, 2009, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftaranya, Sinar Grafika, Jakarta.
Boedi Harsono, 2003, Hukum Agraria Indonesia, (Edisi Revisi), Penerbit Djambatan, Jakarta.
Irwan Soerodjo, 2002, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah Di Indonesia, Arkola, Surabaya.
Maria S.W. Sumardjono, 2001, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, Kompas Jakarta.
Muchtar Wahid, 2008, Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah, Republika Penerbit, Jakarta.
Urip Santoso, 2010, Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah, Kencana Prenada Media Group , Jakarta.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah