Kamis, 03 November 2011

ANALISIS HUKUM PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 10 TAHUN 1983 JO. PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 45 TAHUN 1990 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan adalah salah satu peristiwa yang sangat penting dalam penghidupan masyarakat kita ; sebab perkawinan itu tidak hanya menyangkut wanita dan pria bakal mempelai saja, tetapi juga orang tua kedua belah pihak, saudara-saudaranya, bahkan keluarga-keluarga mereka masing-masing. ( Soerjono Wignjodipoero, 1990 : 122).
Pasal 1 Undang- Undang Perkawinan menyebutkan bahkan Perkawinan ialah :
“ ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” .

Apabila pengertian perkawinan tersebut di atas di telaah lebih lanjut, maka ada lima unsur yang terkandung didalamnya yaitu :
1. Ikatan lahir batin ;
Ikatan itu tidak hanya cukup dengan ikatan lahir atau batin saja, akan tetapi kedua-duanya harus terpadu erat. Suatu ikatan lahir merupakan ikatan yang dapat dilihat dan mengungkapkan adanya hubungan hukum antara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami isteri ( hubungan formal). Hubungan formal ini nyata, baik bagi pihak-pihak yang mengikatkan dirinya maupun bagi pihak ketiga. Sebaliknya suatu ikatan batin merupakan suatu hubungan yang tidak formal, suatu ikatan yang tidak nampak, tidak nyata, yang hanya dapat dirasakan oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Ikatan batin inilah yang merupakan fondasi atau dasar dalam membentuk dan membina keluarga yang bahagia.
2. Antara seorang pria dengan seorang wanita ;
Ikatan perkawinan hanya boleh terjadi antara seorang pria dan seorang wanita. Dengan demikian,perkawinan itu akan terjadi apabila ada dua jenis kelamin yang menyatakan kehendaknya untuk bersatu dalam membentuk keluarga (rumah tangga). Perkawinan tidak akan terjadi atau tidak dapat dilangsungkan apabila antara seorang wanita dengan wanita atau sebaliknya antara seorang laki-laki dengan laki-laki.
3. Sebagai suami isteri ;
Seorang laki-laki dan seorang wanita yang akan hidup bersama sebagai suami isteri yang diikat oleh tali perkawinan itu baru dapat dianggap sah apabila telah memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang, baik syarat-syarat intern yang meliputi perkawinan itu harus didasarkan atas persetujuan kedua belah pihak, mendapat izin dari kedua orang tua apabila kedua calon mempelai belum berumur 21 tahun, bagi pria harus berumur 19 tahun dan bagi wanita harus berumur 16 tahun kecuali ada dispensasi dari pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua belah pihak, kedua belah pihak harus dalam keadaan tidak kawin, kecuali bagi mereka yang agamanya mengizinkan untuk berpoligami, dan bagi seorang wanita yang akan melakukan perkawinan untuk kedua kalinya dan seterunya harus menunggu masa iddah sekurang-kurangnya 90 (sembilanpuluh ) hari bagi yang putus perkawinannya karena perceraian dan 130 (seratus tiga puluh ) hari bagi mereka yang putus perkawinannya karena kematian suaminya.
Sedangkan syarat-syarat eksternnya adalah harus membuat laporan , pengumuman, pencegahan dan pelangsungan perkawinan.
4. Membentuk keluarga ( rumah tangga ) yang bahagia dan kekal ;
Yang dimaksud dengan keluarga disini adalah satu kesatuan yang terdiri atas ayah, ibu, dan anak atau anak-anak yang merupakan sendi dasar susunan masyarakat Indonesia. Dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat , sangat penting artinya kesejahteraan dan kebahagiaan keluarga karena kebahagiaan masyarakat terbentuk atas kebahagiaan dan kesejahteraan keluarga (rumah tangga).

5. Berdasarkan ke Tuhanan Yang Maha Esa.
Sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila, yang sila pertamanya adalah Ke Tuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan erat dengan agama/kerokhanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir atau jasmani, akan tetapi unsur batin/rokhani juga mempunyai peranan penting.
Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa :

Perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat ata miitsaaaqon gholiidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Dengan tujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah” ( pasal 2 KHI).

Perkawinan yang dalam istilah agama disebut “Nikah” ialah :
Melakukan suatu aqad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antara keduabelah pihak, dengan dasar suka dan keridhoaan kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman dengan cara-cara yang diridhoi oleh Allah. ( Ahmad Azhar, 1977 : 10).

Sedangkan menurut Hukum Barat atau peradaban Barat bahwa Perkawinan itu
Adalah persekutuan hidup antara seorang pria dan seorang wanita yang dikukuhkan secara formal dengan undang-undang (yaitu yuridis dan kebanyakan juga “religious”, menurut tujuan suami - isteri dan undang-undang, dan dilakukan untuk selama hidupnya menurut pengertian lembaga perkawinan. ( R. Soetojo Prawirohamidjojo, 2006 : 22 ).

Undang – undang Perkawinan bermaksud untuk melakukan unifikasi dalam bidang hukum perkawinan tanpa menghilangkan kebinekaan yang masih harus dipertahankan, karena masih berlakunya dan dianutnya bermacam-macam hukum perkawinan dalam masyarakat Indonesia seperti hukum Islam dan hukum adat. Hal ini pun pada dasarnya diakomodir atau dibenarkan oleh Undang-undang perkawinan Nasional karena didalam ketentuan pasal 2 dijelaskan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu, asalkan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ini berarti bahwa yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini, artinya kebebasan dimaksud adalah terbatas sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang perkawinan nasional.
Secara umum Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 menentukan bahwa dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
Pengadilan dimaksud hanya akan memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila :
a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri ;
b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan ;
c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, maka harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. Adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri ;
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka ;
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
Persetujuan dari isteri/isteri-isteri tidak diperlukan bagi seorang suami, apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada khabar dari isterinya selama sekurang – kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.
Perkawinan atau pernikahan adalah sesuatu yang suci dan sakral. Dan untuk itulah perlu diatur dan ditata dengan sebaik-baiknya agar tujuan perkawinan atau pernikahan itu dapat tercapai /terwujud. Tanpa adanya aturan dan ketentuan yang mengatur secara jelas dan tegas baik mengenai syarat sahnya dan batalnya suatu perkawinan/pernikahan, tata cara atau prosedur, syarat-syarat perkawinan, larangan atau hal-hal apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan hak dan kewajiban suami isteri maka tentunya tujuan atau kesakralan dari suatu perkawinan atau pernikahan itu tidak akan terwujud atau tercapai bahkan akan melanggar ketentuan baik ketentuan agama maupun ketentuan hukum Negara.
Apabila ditelaah dan dianlisis lebih jauh ketentuan dan syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 maupun ketentuan lain menyangkut perkawinan ini, maka seorang suami yang ingin melakukan perkawinan lebih dari seorang isteri sungguh sangatlah berat dan ketat.
Prinsip atau azas yang dianut oleh pasal 3 Undang-undang Perkawinan ini terkadang dilanggar atau tidak dipatuhi oleh masyarakat. Hal ini terbukti masih adanya seorang laki-laki atau seorang suami yang hendak kawin lagi atau menikah lebih dari satu kali atau berkeinginan memiliki isteri lebih dari seorang. Perbuatan ini tentunya adalah merupakan bentuk penyimpangan dari ketatnya kriteria dan syarat yang ditetapkan oleh undang-undang itu sendiri.
Poligami pada dasarnya telah ada sejak manusia itu ada, dan ketentuannyapun sudah pasti tunduk pada hukum adat atau menurut kepercayannya masing-masing. Setelah berlakunya undang-undang ini perkawinan poligami masih dijumpai pula dengan frekuensi yang tidak besar, tentunya dengan berbagai macam alasan atau dasar yang kadang-kadang berada diluar ketentuan undang-undang ini, misalnya seorang suami menghamili seorang gadis, sehingga terpaksa diberikan izin oleh isteri.
Perkawinan poligami tentunya bukan saja menjadi milik dan atau dilakukan oleh masyarakat kebanyakan tetapi juga terkadang dilakukan atau dipraktekkan oleh seorang suami yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS), baik militer maupun sipil. Hanya saja bagi mereka yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) itu untuk melakukan perkawinan poligami harus tunduk dan taat pada ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang dikhususkan untuk itu yaitu ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagaimana yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990. Didalam ketentuan dan peraturan termaksud telah diatur mengenai tata cara, prosedur, syarat-syarat, dan lain sebagainya .
Praktek atau perbuatan semacam ini masih ada dalam masyarakat kita di Indonesia. Dan kalaupun praktek perkawinan poligami ini dilakukan sesuai dengan perintah dan syarat-syarat yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah pekawinan maka tentu saja hal tersebut tidak akan membawa implikasi hukum yang buruk dan itu akan sah-sah saja.
Yang menjadi persoalan adalah bagaimana jika praktek poligami itu tidak didasarkan pada ketentuan dan aturan hukum yang berlaku untuk itu ?. Apalagi kalau hal tersebut dilakukan atau dipraktekkan oleh seorang laki-laki yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS), tentulah hal tersebut akan berimplikasi hukum yang tidak baik dan dapat merugikan baik dirinya sendiri maupun terhadap wanita yang dinikahinya.
Dalam kenyataannya praktek perkawinan poligami masih saja dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS) dihampir semua daerah di Indonesia, dan hal yang samapun penulis masih menemukannya di daerah atau di Kabupaten . Dan untuk mengetahui bagaimana Praktek perkawinan poligami termaksud antara apa yang seharusnya dan apa yang senyatanya (kenyataannya) terjadi maka penulis memlilih dan menetapkan judul tesis ini adalah : ” ANALISIS HUKUM PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 10 TAHUN 1983 JO. PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 45 TAHUN 1990 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL
B. Rumusan Masalah
1. Apakah prosedur perizinan bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang ingin melakukan perkawinan dan perceraian di lingkup Pemerintah Kabupaten Takalar berjalan efektif dan telah sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Jo Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990? ;
2. Faktor-faktor apakah yang berpengaruh dalam pelaksanaan izin perkawinan dan perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS)
3. Bagaimana bentuk sanksi menurut ketentuan peraturan perundang-undangan dan atau sanksi yang diberikan oleh atasannya terhadap seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) apabila melakukan perkawinan dan perceraian diluar ketentuan yang telah ditetapkan;
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Berkaitan dengan permasalahan atau rumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, pada hakekatnya penelitian ini bertujuan :
1. Untuk mengetahui tingkat kepatuhan terhadap tata cara dan prosedur perizinan untuk perkawinan dan perceraian sebagaimana yang diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Jo Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) . .
2. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi dalam permohonan dan pemberian perizinan kepada Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang akan melakukan perkawinan dan perceraian ..
3. Untuk mengetahui penerapan sanksi yang diberikan oleh pemerintah Kabupaten Takalar terhadap Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang melakukan perkawinan dan perceraian.
Sedangkan Kegunaan dari penelitian ini antara lain :
1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan referensi atau masukan bagi pengembangan ilmu hukum perkawinan Indonesia ,khususnya mengenai penerapan dan efektifitas dari Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974 , Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 serta Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980, karena kenyataan masih banyak Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang mempraktekkan atau melakukan perkawinan dan percerian yang tidak berdasarkan kedua peraturan pemerintah tersebut. Hukum perkawinan tidak hanya merupakan masalah yuridis semata-mata , akan tetapi juga masalah keagamaan dan kemasyarakatan. Oleh karena ittu pemikiran-pemikiran hukum mengenai perkawinan dan perceraian harus juga memperhatikan aspek-aspek keagamaan dan kemasyarakatan.
2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada segenap unsur pelaksana pemerintah didalam melaksanakan ketentuan dan aturan perkawinan dan perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) serta untuk lebih memahami dan mentaati Undang-Undang Perkawinan dan atau peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku terutama mengenai perkawinan dan perceraian, sehingga penerapan dan atau pemberian sanksi bagi yang melanggar ketentuan perundang-undangan dapat diberikan secara adil dan efektif .

PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM OPERASIONALISASI PERBANKAN SYARIAH

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa : “ Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan , kemandirian , serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional “.
Perbankan Syariah sebagai sebuah lembaga keuangan yang bertugas dan bertujuan memajukan ekonomi bangsa tentunya tunduk dan patuh pada ketentuan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 termaksud, sehingga dengan demikian Bank Syariah secara yuridis Normatif dan yuridis empiris diakui keberadannya di Negara Republik Indonesia. Pengakuan secara yuridis normative tercatat dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia , diantaranya, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Undang-Undang Nomor 10 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1998 tentang Perbankan, undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Selain itu pengakuan secara yuridis empiris dapat dilihat Perbankan Syariah tumbuh dan berkembang pada umumnya di seluruh Ibukota Provinsi dan Kabupaten di Indonesia.
Bahwa sesuai dengan Visinya Perbankan Syariah harus dapat mewujudkan sistem perbankan syariah yang kompetitif, efisien, dan memenuhi prinsip kehati-hatian yang mampu mendukung sektor riil secara nyata melalui kegiatan pembiayaan berbasis bagi hasil ( share-based financing) dan transaksi dalam rangka keadilan, tolong menolong menuju kebaikan guna mencapai kemaslahatan masyarakat.
Sehubungan dengan operasionalisasi Perbankan Syariah, bank syariah dituntut untuk menerapkan prinsip kehati-hatian. Prinsip ini secara khsusus dan tegas dicantumkan dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah.
Mekanisme kebijakan yang sarat diwarnai oleh proses tarik ulur, lemahnya penegakan hukum serta rontoknya keterlibatan hukum, telah memberikan sumbangan yang besar terhadap komplikasi persoalan di lingkungan perbankan. Padahal goyahnya lembaga perbankan tidak hanya disebabkan oleh memburuknya posisi devisa netto dan meroketnya rekening administratif dalam valuta asing, tetapi itu juga berkaitan dengan rontoknya likuiditas, rentabilitas dan solvabilitas bank, seperti yang terlihat melalui besaran non perfoming loan dan merosotnya return on assets.
Menurut penulis, prinsip kehati-hatian itu harus dijalankan oleh bank tidak hanya karena dihubungkan dengan kewajiban bank untuk tidak merugikan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank, tetapi juga karena kedudukan bank yang istimewa dalam masyarakat, yaitu sebagai bagian dari sistem moneter yang menyangkut kepentingan semua anggota masyarakat yang bukan hanya nasabah penyimpan dan dari bank itu saja.
Pelaksanaan prinsip kehati-hatian itu harus pula tercermin dalam kaitannya dengan kewajiban bank berperan serta dalam pengelolaan lingkungan hidup. Dikaitkan dengan ketentuan Undang-undang No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup yang kemudian undang-undang tersebut telah diganti dengan Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, perbankan diharuskan untuk menempuh kebijakan perkreditan yang berwawasan lingkungan .
Menurut ketentuan Pasal 2 UU No. 10 Tahun 1998 dikemukakan, bahwa Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan Demokrasi Ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian dari ketentuan ini , menunjukkan bahwa prinsip kehati-hatian adalah salah satu asas penting yang wajib diterapkan atau dilaksanakan oleh bank dalam menjalankan kegiatan usahanya.
Prinsip kehati-hatian tersebut mengharuskan pihak bank untuk selalu berhati-hati dalam menjalankan kegiatan usahanya, dalam arti harus selalu konsisten dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan di bidang perbankan berdasarkan profesionalisme dan itikad baik. Akar dari ukuran teknis perbankan itu ternyata bermuara pada dua persoalan pokok , yaitu lemahnya institusi pengawasan dan pudarnya prinsip prudential banking.
Berkaitan dengan prinsip kehati-hatian sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 2 di atas, kita dapat menemukan pasal lain di dalam Undang-undang No. 10 Tahun 1998 yang mempertegas kembali mengenai pentingnya prinsip kehati-hatian ini diterapkan dalam setiap kegiatan usaha bank, yakni dalam Pasal 29 ayat (2) yang mengemukakan bahwa :
“Bahwa bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan kecukupan modal kualitas asset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank, dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian”.
Berdasarkan ketentuan Pasal 29 ayat (2) di atas, maka tidak ada alasan apapun juga bagi pihak bank untuk tidak menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menjalankan kegiatan usahanya dan wajib menjunjung tinggi prinsip kehati-hatian. Ini mengandung arti, bahwa segala perbuatan dan kebijaksanaan yang dibuat dalam rangka melakukan kegiatan usahanya harus senantiasa berdasarkan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
Risiko yang sering terjadi dalam usaha perbankan pada umumnya adalah risiko kredit macet atau Non Performing Loan ( NPL). Faktor penyebab risiko kredit macet antara lain karena kesalahan penggunaan kredit, manajemen pengggunaan kredit yang buruk, serta kondisi perekonomian yang mempengaruhi iklim usaha dalam negeri, oleh karena itu apa yang disebut dalam Pasal 8 ayat (1) harus benar-benar diterapkan oleh setiap perbankan , yaitu :
“ Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atau itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan “.
Dengan kata lain munculnya atau timbulnya kerugian bagi bank adalah akibat dari banyaknya kredit macet sebagai akibat dari adanya salah kelola atau salah menerapkan prinsip-prinsip manajemen yang baik. Dan untuk menghindari adanya tumpukan kredit macet maka perlu diterapkan prinsip kehati-hatian dengan konsisten (istiqomah).
Untuk melihat sejauh mana pengaruh penerapan Prinsip Kehati hatian ini dalam operasionalisasi lembaga Perbankan khususnya Perbankan Syariah, maka issu sentral yang akan dibahas dalam Tugas atau Makalah ini adalah : “ HAKIKAT PRINSIP KEHATI HATIAN DALAM OPERASIONALISASI PERBANKAN SYARIAH”.
1.2 Rumusan Masalah
1. Sejauh mana pengaruh penerapan Prinsip Kehati hatian dalam menyehatkan perbankan !
2. Bagaimana fungsi dan peranan prinsip kehati-hatian didalam mengelola dan mengoperasikan bank syariah ?



BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Tinjauan Pustaka
Salah satu bentuk penggalian potensi dan wujud kontribusi masyarakat dalam perekonomian nasional tersebut adalah pengembangan sistem ekonomi berdasarkan nilai islam ( syariah) dengan mengangkat prinsip-prinsipnya ke dalam sistem hukum nasional. Prinsip Syariah berlandaskan pada nilai-nilai keadilan, kemanfaatan, keseimbangan, dan keuniversalan (rahmatan lil ‘alamin). Nilai-nilai tersebut diterapkan dalam pengaturan perbankan yang didasarkan pada Prinsip Syariah yang disebut Perbankan Syariah.
Perbankan Syariah sebagai salah satu sistem perbankan nasional memerlukan berbagai sarana pendukung agar dapat memberikan kontribusi yang maksimum bagi pengembangan ekonomi nasional. Salah satu sarana pendukung vital adalah adalah adanya pengaturan yang memadai dan sesuai dengan karakteristiknya. Pengaturan tersebut diantaranya dituangkan dalam Undang-Undang Perbankan Syariah. Pembentukan Undang-undang Perbankan Syariah menjadi kebutuhan dan keniscayaan bagi berkembangnya lembaga tersebut. Pengaturan mengenai Perbankan Syariah dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 belum spesifik dan kurang mengakomodasi karakteristik operasional Perbankan Syariah, dimana, di sisi lain pertumbuhan dan volume usaha Bank Syariah berkembang cukup pesat.
Dalam penjelasan Pasal 2 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “ Prinsip kehati-hatian “ adalah pedoman pengelolaan Bank yang wajib dianut guna mewujudkan perbankan yang sehat, kuat, dan efisien sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam rangka menjalankan asas Prinsip kehati hatian ini, pengelolaan sebuah bank secara baik berdasarkan prinsip-prinsip perbankan yang sehat dan dinamis (prudential banking), harus dilakukan beberapa langkah sebagai berikut :
1. Perumusan kebijaksanaan bank
Secara ringkas ada dua macam kebijaksanaan bank yang perlu diperhatikan dengan sungguh-sungguh, yaitu :
a. Kebijaksanaan yang dirumuskan sesudah pertimbangan-pertimbangan yang matang terhadap konsekuensi dari semua pilihan yang tersedia.
b. Kebijaksanaan yang timbul dari tunggal atau berulang-ulang.
Dalam prudential banking, Dewan Komisaris mempunyai kedudukan yang penting. Mereka bertugas tidak hanya melakukan pengawasan umum atau mengawasi kebijaksanaan , tetapi juga melakukan analisis atas berbagai masalah bank dan memberikan masukan-masukan penting bagi direksi dan staf – staf operasional.
2. Penyusunan rencana pengembangan organisasi
Pada dasarnya , perencanaan organisasi atau mengevaluasi organisasi yang ada adalah pembagian kerja (division of work) yang logis, penetapan garis wewenang yang jelas, pengukuran pelaksanaan dan prestasi. Melalui perencanaan yang demikian akan dapat dibuat struktur organisasi yang sehat dan efektif. Bagi bank-bank yang telah berjalan , dapat pula dilakukan reorganisasi guna penyesuaian organisasi pada kebutuhan bisnis masa kini.
3. Staffing dan pengembangan manajerial skill
Perencanaan manajemen bukanlah melaksanakan sendiri pemecahan masalah-masalah tertentu yang dihadapi, melainkan mengawasi bahwa tindakan-tindakan yang semestinya telah dilaksanakan oleh orang-oranag lain dengan cara yang teratur, efektif dan kontinyu.
4. Pengawasan internal
Kelancaran operasional bank adalah kepentingan paling utama dari direksi (top manajemen) melalui pengawasan, para manejer dapat menentukan tercapai tidaknya harapan mereka. Di samping itu, pengawasan ini dapat membantu manajer mengambil keputusan yang lebih baik.
5. Penetapan sistem manajemen
Sistem manajemen yang kita maksudkan dalam pembahasan ini adalah berhubungan dengan tata cara bank mengatur pola operasional dari berbagai aktivitas bank. Pola ini erat pula dengan sistem sentralisasi maupun desentralisasi.
6. Sound banking business sebagai suatu sistem universal yang harus diikuti oleh manajemen bank.
Sebagai agent of development, bank tidak semata-mata mengejar profit, tetapi juga memperhatikan prioritas-prioritas pembiayaan pembangunan nasional sesuai dengan tahap-tahap yang ditetapkan . dengan demikian , bank sebagai lembaga keuangan yang berfungsi sebagai financial intermediary atau perantara keuangan dari dua pihak, yakni pihak yang kelebihan dana dan pihak yang kekurangan dana hendaklah memperhatikan prinsip-prinsip tersebut di atas dalam rangka melindungi pihak yang berkaitan dengannya.
Untuk mengetahui atau menentukan bahwa seseorang dipercaya untuk memperoleh kredit, pada umumnya dunia perbankan menggunakan instrument analisis yang dikenal dengan the fives of credit atau 5 C , 7 P dan 3 R .
A. Prinsip 5 C, yaitu :
1. Character ( Watak) : Watak merupakan bahan pertimbangan untuk mengetahui risiko.
2. Capital (modal) : Seseorang atau badan usaha yang akan menjalankan usaha atau bisnis sangat memerlukan modal untuk memperlancar kegiatan bisnisnya.
3. Capacity ( kemampuan) : Untuk dapat memenuhi kewajiban pembayaran Debitur harus memiliki kemampuan yang memadai yang berasal dari pendapatan pribadi. Seorang analis harus mampu menganalisis kemampuan Debitur untuk membayar kembali hutangnya.
4. Collateral (jaminan) : Jaminan berarti harta kekayaan yang dapat diikat sebagai jaminan guna menjamin kepastian pelunasan hutang jika dikemudian hari Debitur tidak melunasi hutangnya dengan jalan menjual jaminan dan mengambil pelunasan dari penjualan harta kekayaan yang menjadi jaminan itu.
5. Condition of Economy ( kondisi ekonomi): Kondisi ekonomi adalah situasi ekonomi pada waktu dan jangka waktu tertentu dimana kredit itu diberikan oleh Bank kepada pemohon. Apakah kondisi ekonomi pada kurun waktu kredit dapat mempengaruhi usaha dan pendapatan pemohon kredit untuk dapat melunasi hutangnya. Kondisi ekonomi Negara yang buruk sudah pasti mempengaruhi usaha pemohon kredit dan pendapatan perorangan yang akibatnya berdampak pada kemampuan pemohon kredit untuk melunasi hutangnya.
Prof. Dr. H. Abdullah Marlang,SH., MH., dalam kuliahnya menyatakan bahwa selain prinsip 5 C ini masih ada lagi prinsip 2 C ( Catabelece dan Conection ), beliau menjelaskan bahwa dengan catabelece dan Conection ini akan mengganggu prinsip kehati-hatian.
B. Prinsip 7 P yaitu :
Prinsip 7 P ini sebagai berikut :
1. Party atau Para Pihak yang mengadakan perjanjian saling mengenal karakter satu dengan yang lainnya. Tidak hanya bank yang harus mengenal nasabah yang akan mengajukan kredit, tetapi calon nasabah debitur juga harus memperhatikan kondisi kesehatan perbankan.
2. Purpose atau tujuan yang hendak dicapai dalam rangka peminjaman kredit. Disini tujuan menjadi pembeda yang tegas antara kredit dan utang. Sebab dalam kredit, bank memiliki kewajiban harus mengawasi nasabahnya dalam menggunakan kreditnya agar jangan sampai kredit yang diberikan menimbulkan masalah di kemudian hari.
3. Payment atau pembayaran yang akan dikembalikan oleh nasabah. Bank harus melihat pendapat nasabahnya, bagaimana nasabah tersebut dapat membayar kredit dengan lancar, tentu juga dipengaruhi oleh pendapatannya.
4. Profitability atau perolehan laba yang akan diperoleh oleh bank. Kredit merupakan salah satu cara bank untuk memperoleh laba atau keuntungan yang diambil daribunga maupun bagi hasil atau yang sejenisnya. Dengan demikian, bank harus mempertimbangkan perolehan laba yang hendak diperoleh.
5. Protection atau perlindungan yang berupa jaminan nasabah apabila terjadi sesuatu hal diluar yang telah direncanakan dan diperjanjikan oleh para pihak.
6. Personality atau kepribadian nasabah berdasarkan tingkah laku dan kepribadian nasabah pada kegiatan sehari-hari maupun masa lalunya. Termasuk juga emosi, sikap, dan tindakan nasabah dalammenghadapi suatu masalah.
7. Prospect atau nilai usaha nasabah di maka yang akan datang, menguntungkan atau tidak. Bila bank tidak mampu melihat prospek ini, di kemudian hari apabila tidak terdapat prospek pada usaha yang dibiayai dengan kredit, maka bukan hanya bank yang akan menghadapi risiko kesilitan mengadakan tagihan, tetapi juga nasabah yang menjalankan usahanya akan kesulitan dalam membayar tagihannya.
C. Prinsip 3 R yaitu :
Prinsip 3 R ini sebagai berikut :
1. Returns atau hasil yang diperoleh debitur ketika kredit itu dimanfaatkan.
Bank harus mempertimbangkan apakah kredit yang diajukan akan membawa manfaat sehingga debitur mampu mengembalikan kredit beserta bunga, ongkos-ongkos, dan sebagainya.
2. Repayment atau pembayaran kembali.
Bank harus memperhatikan kemampuan membayar kredit debitur sesuai dengan waktu yang disediakan.
3. Risk Bearing Ability atau kemampuan debitur menanggung risiko bila terjadi hal-hal di luar dugaan kedua belah pihak sehingga menyebabkan kredit menjadi macet.
Disamping pemberian kredit harus berdasar pada prinsip-prinsip pemberian kredit, bank juga mengadakan penilaian berdasarkan aspek-aspek tertentu dalam memberikan kredit kepada nasabahnya. Aspek-aspek tersebut antara lain : Aspek Hukum ; Aspek Pemasaran; Aspek Keuangan; Aspek Operasional; Aspek Manajemen; Aspek Sosial Ekonomi; Aspek AMDAL ( Analisis Mengenai Dampak Lingkungan).
Disiplin pasar yang lebih tinggi yang dikenalkan oleh Islam dalam sistem keuangannya, bagaimanapun, tidak mengesampingkan peran regulasi dan pengawasan. Bank berhubungan dengan dana masyarakat. Dana pihak ketiga jauh lebih besar dari modal, oleh karenanya, tingkat leverage bank lebih besar daripada jenis perusahaan lainnya. Dengan demikian , regulasi dan penegakannya, harus dilakukan dengan prinsip kehati-hatian dan pengawasan yang efektif. Regulasi yang dibuat seharusnya tidak terlalu kaku dan memberatkan , yang justru akan membatasi kreativitas dan inovasi bank.
Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum penyaluran dana berdasarkan Prinsip Syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi surat berharga, atau hal lain yang serupa dapat dilakukan oleh Bank Syariah kepada :
a. Pemegang saham yang memiliki 10 % (sepuluh persen) atau lebih dari modal disetor oleh bank Syariah;
b. Anggota dewan komisaris;
c. Anggota direksi;
d. Keluarga dari pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c;
e. Pejabat Bank lainnya; dan
f. Perusahaan yang di dalamnya terdapat kepentungan dari pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf e.
Dengan demikian prinsip kehati-hatian merupakan prinsip yang sangat penting dalam pengelolaan perbankan. Kehati-hatian khususnya dalam penyaluran dana menjadi keniscayaan agar bank dalam mengelola dana masyarakat dapat berhasil dengan optimal dan mampu memberi manfaat bagi nasabah yang menginvestasikan dananya pada Bank Syariah yang bersangkutan. Hal ini akan dapat menaikkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap bank syariah, sehingga pengerahan dana masyarakat untuk kepentingan pembangunan bisa berjalan sebagaimana mestinya.
Pasal tersebut di atas sebenarnya menentukan kriteria sehat. Suatu Bank dikatakan sehat apabila memenuhi ketentuan yakni ; Kecukupan modal; Kualitas asset; Kualitas manajemen; Likuiditas; Rentabilitas; Solvabilitas; Aspek lain yang berhubungan dengan usaha Bank; Melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian; Tidak merugikan Bank dan kepentingan nasabah.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat dikemukakan 4 (empat) hal yang perlu diatur oleh Bank Indonesia dalam rangka pembinaan Bank sehat sebagai badan usaha dan wajib dipenuhi oleh bank. Keempat hal tersebut adalah :
1. Kepercayaan masyarakat pada bank, mengingat Bank sebagai pemegang amanat menyimpan dana dan menjalankan usaha terutama dengan dana masyarakat.
2. Prinsip kehati-hatian, terutama dalam pengambilan keputusan pengelolaan usaha Bank secara rasional sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku, karena erat hubungannya dengan risiko, misalnya penyaluran kredit kepada masyarakat, menetapkan suku bunga yang wajar, mengingat Bank menjalankan usaha terutama menggunakan dana masyarakat.
3. Kesehatan Bank, ini merupakan landasan mencapai tujuan, masyarakat hanya akan percaya menyimpan dana pada bank jika Bank itu sehat menurut kriteria yang ditetapkan oleh undang-undang, pengambilan keputusan selalu berpegang pada prinsip kehati-hatian , dan masyarakat harus mengetahui secara transparan tingkat kesehatan Bank.
Ketentuan kehati-hatian meliputi :
a. Menyempurnakan landasan ketentuan kehati-hatian dan Good Corporate Governance
Untuk mencapai hal dimaksud, Bank Indonesia telah dan akan terus mendorong terwujudnya beberapa standar keuangan syariah.
Penyelesaian pernyataan standar akuntansi keuangan akuntansi perbankan syariah dan pedoman akuntansi perbankan syariah Indonesia yang dipersiapkan oleh ikatan Akuntansi Indonesia bekerja sama dengan bank Indonesia dan lembaga keuangan syariah lainnya merupakan salah satu prasyarat untuk dapat menyusun berbagai ketentuan perbankan syariah. Kedua hal dimaksud sudah selesai dalam tahun 2002. Ketentuan-ketentuan yang menjadi prioritas utama pada tahap ini adalah sebagai berikut :
1. Melengkapi ketentuan spesifik untuk perbankan syariah sebagai berikut : Kualitas aktiva produktif; Penyisihan penghapusan aktiva produktif; Fasilitas pembiayaan jangka pendek; Fasilitas likuiditas intra-hari; Ketentuan mengenai laporan bulanan Bank; Kewajiban penyediaan modal minimum; Batas maksimum pemberian pembiayaan; Posisi devisa netto; Tingkat likuiditas; Tingkat kesehatan bank; Transparansi kondisi keuangan Bank.
2. Melengkapi kerangka pengawasan seperti camel rating untuk bank-bank syariah;
3. Penyempurnaan : (i) ketentuan reserve requirement bagi perbankan syariah termasuk penyesuaian giro wajib minimum, secondary reserve dan rasio asset lancer, (ii) ketentuan portofolio aktiva produktif untuk mengantisipasi perkembangan instrument keuangan syariah.
4. Mengembangkan mekanisme kerjasama antara BPRS dengan bank umum syariah dan Unit Usaha Syariah untuk meningkatkan layanan kepada UJM dan masyarakat pedesaan;
5. Melakukan riset akademis dan kegiatan lainnya dalam upaya penjagaan kemungkinan pengusulan UU Perbankan Syariah khusus.
b. Menyempurnakan ketentuan jaringan kantor
Bank Indonesia pada bulan Maret 2002 yang lalu telah mengeluarkan PBI No. 41 /I/PBI/2002 tentang perubahan kegiatan usaha bank umum konvensional menjadi bank umum berdasarkan prinsip syariah dan prinsip pembukaan kantor bank berdasarkan prinsip syariah oleh bank umum konvensional tanpa mengurangi prinsip kehati-hatian . ketentuan dimaksud , mencakup : (1) konvensi Bank Umum konvensional menjadi Bank Umum Syariah, (2) perkembangan unit usaha syariah dalam kaitannya dengan pembukaan Kantor Cabang pembantu syariah dank o-lokasi (menumpangkan) kantor cabang pembantu syariah di kantor cabang pembantu yang sudah ada.
c. Mengkaji mekanisme umpan balik dalam desain pengaturan perbankan
Bank Indonesia secara konsisten akan selalu mendukung kemungkinan terwujudnya mekanisme umpan balik dalam penyusunan setiap instrument pengaturan bagi perbankan syariah. Dukungan dimaksud, sebenarnya telah mulai direalisasikan dalam bentuk kerja sama dengan berbagai pihak dalam perumusan ketentuan-ketentuan perbankan syariah.
d. Mengkaji penerapan real-time supervision
Untuk meningkatkan efektivitas tugas pengawasan , Bank Indonesia akan mengkaji suatu kemungkinan sistem pengawasan berbasis teknologi informasi. Hal itu, bertujuan real – time supervision bagi bank syariah dan UUUS, sementara BPRSW akan menggunakan sistem yang memungkinkan Bank Indonesia untuk memantau perkembangan harian.
2.2 Analisis
Berbicara tentang Prinsip kehati-hatian kita tidak bisa melepaskan diri dengan faktor pengawasan yang berpedoman pada prinsip 5 C , 7 P dan 3 R.
Penerapan prinsip kehati – hatian ini sangatlah perlu dan dibutuhkan dalam mengelola /dalam manajemen sebuah bank. Dengan menerapkan secara konsisten dan taat asas (istiqomah) prinsip ini maka sebuah bank akan tetap mampu dan dapat mempertahankan likuiditas, rentabilitas dan solvabilitas bank, seperti yang terlihat melalui besaran non perfoming loan dan meningkatnya return on assets. Prinsip kehati-hatian ini adalah merupakan rohnya sebuah perbankan. Maju mundurnya atau likuid tidaknya sebuah bank sangat dipengaruhi oleh prinsip ini.
Rontoknya likuiditas, rentabilitas dan solvabilitas bank, seperti yang terlihat melalui besaran non perfoming loan dan merosotnya return on assets, paling tidak dipengaruhi oleh tidak diterapkannya prinsip kehati-hatian ini secara konsisten dan benar. Penerapan dari sebuah prinsip kehati-hatian adalah adanya lembaga pengawasan intern (internal control) atau menurut saya harus ada pengawasan melekat baik terhadap nasabah maupun terhadap manajemen bank.
Prinsip kehatian – hatian haruslah diartikan sebagai sebuah amanah dan kearifan bagi perbankan dalam mengelola bank, karena bank memengang dan mengelola dana nasabah yang dititipkan kepadanya. Bank harus dapat mempertanggungjawabkan dan menjaga amanah yang dititipkan oleh nasabah tersebut. Amanah ini akan dapat dijaga dan dipertahankan apabila seseorang atau sebuah bank itu menjunjung tinggi profesionalisme.
Secara sederhana prinsip kehati-hatian ini adalah melaksanakan dan atau menerapkan aturan perundang-undangan dibidang perbankan (syariah) secara konsisten (istiqomah) , tentunya tetap berpegang teguh pada prinsip 5 C, 7 P dan 3 R serta 2 C dengan memperhatikan konsep manajemen risiko.
Dengan berpegang pada prinsip – pinsip tersebut di atas maka perbankan akan selalu dipercaya oleh masyarakat, hal ini oleh karena lembaga perbankan adalah suatu lembaga yang sangat bergantung kepada kepercayaan dari masyarakat. Oleh karena itu, tanpa adanya kepercayaan dari masyarakat, tentu suatu bank tidak akan mampu menjalankan kegiatan usahanya dengan baik.







BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian dan hasil analisis di atas, penulis berkesimpulan bahwa :
1. Penerapan prinsip kehati-hatian sangatlah penting dan sangat menentukan dalam pengoperasian dari sebuah bank. Prinsip ini adalah merupakan rohnya bank. Oleh karena itu haruslah diterapkan secara benar dan istiqomah.
2. Prinsip kehati-hatian adalah perwujudan dari nilai-nilai 5 C, 7 R dan 3 R yang dikenal dalam manajemen pengelolaan bank .Prinsip kehati-hatian ini meliputi bukan hanya dari pengelola bank saja melainkan juga harus dari nasabah.
3. Prinsip kehati-hatian ini adalah sarana atau kunci untuk menghindari kredit macet yang akan dialami oleh perbankan yang dapat mengakibatkan rontoknya likuiditas, rentabilitas dan solvabilitas bank, seperti yang terlihat melalui besaran non perfoming loan dan merosotnya return on assets.
4. Perbankan merupakan institusi yang keberadaannya sangat memerlukan adanya kepercayaan dari masyarakat. Ruh dari perbankan adalah kepercayaan, sehingga apabila kepercayaan masyarakat hilang maka habislah perbankan. Untuk menjaga kepercayaan masyarakat bank hendaknya mampu melaksanakan dengan optimal prinsip kehati-hatian ini. Terutama dalam pengambilan keputusan pengelolaan usaha Bank secara rasional sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku, karena erat hubungannya dengan risiko, misalnya penyaluran kredit kepada masyarakat, menetapkan suku bunga yang wajar, mengingat Bank menjalankan usaha terutama menggunakan dana masyarakat.
5. Prinsip Syariah berlandaskan pada nilai-nilai keadilan, kemanfaatan, keseimbangan, dan keuniversalan (rahmatan lil ‘alamin). Nilai-nilai tersebut diterapkan dalam pengaturan perbankan yang didasarkan pada Prinsip Syariah yangh disebut Perbankan Syariah.
6. Prudential Banking Principle itu adalah kunci keberhasilan dari sebuah bank ; Yang perlu diperhatikan adalah regulasinya. Oleh karena bank itu adalah industri ( yang regulasinya harus ketat).
3.2 Saran
1. Bahwa untuk lebih mengoptimalkan penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengoperasionalisasi Perbankan Syariah, sebaiknya prinsip kehati-hatian ini harus diatur secara tersendiri dalam Undang-undang, tidak cukup diatur dalam Bab atau pasal. Hal ini oleh karena ruang lingkup dan aspek prinsip kehati-hatian ini sangat luas cakupannya dan merupakan roh dari perbankan.
2. Untuk mencegah terjadinya kebangrutan atau insolvennya suatu bank (perbankan syariah) hendaknya prinsip kehati-hatian ini diterapkan secara benar dan sungguh-sungguh serta istiqomah baik oleh manajemen Perbankan Syariah maupun oleh nasabah.











DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Anshori, Abdul Ghofur, 2008, Hukum Perbankan Syariah (UU No. 21 Tahun 2008), , Refika Aditama Bandung.
Ali, H. Zainuddin, 2008 , Hukum Pebankan Syariah, Sinar Grafika, Jakarta.
Chapra, M. Umar & Tariquliah Khan, 2008, Regulasi & Pengawasan Bank Syariah , Bumi Aksara, Jakarta.
Harun,Badriyah, 2010, Penyelesaian Sengketa Kredit Bermasalah Solusi Hukum (Legal Action) dan Alternatif Penyelesaian Segala Jenis Kredit Bermasalah, , Pustaka Yustisia, Jakarta.
Hermasyah, 2005 (Edisi Revisi), Hukum Perbankan Nasional Indonesia Ditinjau Menurut Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1998, dan Undang-undang No. 23 tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Kaligis, O.C., 2010, Aspek Hukum Transaksi Derivatif Di Indonesia, PT. Alumni, Bandung.
Muhammad, Abdulkadir & Rilda Murniati, 2000, Lembaga keuangan dan Pembiayaan , Citra Aditya Bakti, Bandung.
Sjahdeini,Sutan Remy , 2009 , Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia , PT. Pustaka Utama Grafiti, Jakarta.
Sutarno, 2003 , Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Alfabeta Bandung.




B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

Rabu, 02 November 2011

PERJANJIAN KERJASAMA PEMANFAATAN BARANG MILIK DAERAH DALAM BENTUK BUILD, OPERATE, TRANSFER (BOT)

A. Latar Belakang Masalah.

Indonesia adalah salah satu Negara yang dinamis di dunia, kecenderungan semacam ini menuntut penambahan di bidang pengadaan sarana dan prasarana untuk kepentingan umum (infrastruktur) seperti sarana transportasi dan lain sebagainya, tentunya sangat membutuhkan dana yang cukup besar selain itu juga membutuhkan lahan/tanah untuk membangun. Pembangunan infrastruktur /pembangunan fisik sangat ditentukan oleh modal/dana dan lahan/tanah. Dalam membangun adakalanya para pihak memiliki modal yang besar tapi tidak memiliki lahan/tanah yang cukup untuk membangun, dari kondisi inilah timbulnya saling membutuhkan antara satu pihak dengan pihak yang lain yang menimbulkan adanya hubungan kerja yang melahirkan perjanjian kerjasama . Perjanjian kerjasama ini dapat dilakukan oleh siapapun , baik antara pemerintah/Negara (pusat mapun daerah) dengan swasta atau antara swasta dengan swasta, dan salah satu perjanjian kerjasama yang sedang dikembangkan di Indonesia saat ini adalah Perjanjian Kerjasama antara Negara /Pemerintah ( Pusat/Daerah ) dengan Swasta untuk memanfaatkan Barang Milik Daerah dan salah satu model atau bentuk kerjasama termaksud adalah dengan model Build Operate Transfer (BOT).

Perjanjian Kerjasama pemanfaatan Barang Milik Negara/ Daerah ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah. Dan khusus untuk pengelolaan atau pemanfataan barang milik daerah diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah.

Dalam ketentuan pasal 32 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah dijelaskan bahwa salah satu bentuk pemanfataan barang milik daerah yaitu dengan model Build Operate Transfer (BOT) atau Bangun Guna Serah dengan tujuan untuk menyediakan bangunan dan fasilitasnya dalam rangka penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi kementrian /lembaga, yang dana pembangunannya tidak tersedia dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah. .

Dalam Pasal 1 angka 12 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Bangun guna serah adalah pemanfaatan barang milik Negara/daerah berupa tanah oleh pihak lain dengan cara mendirikan bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya , kemudian didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu yang telah disepakati, untuk selanjutnya diserahkan kembali tanah beserta bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya setelah berakhirnya jangka waktu.

Bangun Guna Serah barang milik Negara/daerah dapat dilaksanakan dengan persyaratan apabila pengguna barang memerlukan bangunan dan fasilitas bagi penyelenggaraan pemerintah Negara/daerah untuk kepentingan pelayanan umum dalam rangka penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi dan tidak tersedia dana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah untuk penyediaan bangunan dan fasilitas dimaksud yang dilaksanakan oleh Pengelola barang setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati/walikota, dan mitra bangun guna serah yang telah ditetapkan selama jangka waktu pengoperasian harus membayar kontribusi ke rekening kas umum negara/daerah setiap tahunnya yang besarnya ditetapkan berdasarkan hasil perhitungan tim yang dibentuk oleh pejabat yang berwenang dan tim ini dikenal dengan Tim Penilai Kontribusi dengan dasar pertimbangan bahwa barang milik daerah belum dimanfaatkan dan belum dioptimalkan, dalamrangka efiseiensi dan efektifitas serta menambag /meningkatkan Pendapatan Daerah dan menunjang program pembangunan dan kemasyarakatan Pemerintah Daerah.

Pembiayaan proyek dengan model BOT ini akan mencakup studi kelayakan, pengadaan barang, pembiayaan , sampai dengan pengoperasian. Sebagai gantinya pada Kontraktor diberikan hak konsesi untuk jangka waktu tertentu guna mengambil manfaat ekonominya serta pada akhirnya mengembalikan semua asset tersebut pada pemerintah pada saat berakhirnya masa konsesi.

Namun dalam kenyataannya, sebuah proyek BOT tentunya tidak seindah dan semudah dalam paparan. Permasalahan demi permasalahan dapat saja muncul dalam pelaksanaan proyek. Untuk itu perlu dirancang sedemikian rupa agar proyek BOT dapat berjalan sesuai rencana serta memberikan keuntungan pada para pihak yang terkait. Beberapa permasalahan sekitar perhitungan untung rugi perlu dipersiapkan lebih matang, baik bagi pemilik proyek dalam hal ini Pemerintah maupun Kontraktor sebagai pelaksana proyek. Dikeluarkan lebih dari itu proyek BOT memerlukan sebuah kontrak ( mungkin lebih dari satu kontrak ). Untuk itu perlu dirancang dengan hati-hati agar kepentingan masing-masing dapat terlindungi dengan baik.

Pada dasarnya BOT adalah salah satu bentuk pembiayaan proyek pembangunan yang mana kontraktor harus menyediakan sendiri pendanaan untuk proyek tersebut juga kontraktor harus menanggung pengadaan material, peralatan, jasa lain yang dibutuhkan untuk kelengkapan proyek. Sebagai gantinya kontraktor diberikan hak untuk mengoperasikan dan mengambil manfaat ekonominya sebagai ganti atas semua biaya yang telah dikeluarkan untuk selama waktu tertentu.
Dalam konteks pengadaan proyek infrastruktur, maka BOT tidak lain adalah sebuah kontrak atau perjanjian antara pemilik proyek (pemerintah) dengan pihak lain sebagai operator atau pelaksana proyek. Dalam hal ini pemilik proyek memberikaan hak kepada operator atau pelaksana untuk membangun sebuah sarana dan prasarana (umum) serta mengoperasikannya untuk selama jangka waktu tertentu dan mengambil seluruh atau sebagian keuntungan dan pada akhir masa kontrak harus mengembalikan proyek tersebut . Apabila semuanya berjalan dengan baik atau sesuai rencana maka pada akhir masa kontrak , atau pada saat proyek tersebut harus dikembalikan semua biaya pada pemerintah maka kontraktor telah dapat mengembalikan semua biaya yang telah dikeluarkan ditambah dengan sejumlah keuntungan yang diharapkan dari proyek tersebut.

Mengingat model kerjasama BOT saat ini semakin diminati oleh masyarakat dan pemerintah khususnya dalam mensiasati kurangnya atau tidak adanya anggaran untuk membangun sementara disisi lain tuntutan untuk membangun sangat mendesak maka perlu dilaksanakan dengan hati-hati dan para pihak haruslah memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang menaungi kerjasama BOT ini.

Perjanjian Kerjasama pemanfaatan barang milik Negara /daerah ini telah banyak dilakukan oleh pemerintah, khususnya pemerintah Kota Makassar, seperti proyek pembangunan Makassar Mall, Pembangunan Lapangan Karebosi, dan lainnya.

Suatu perjanjian yang baik adalah yang dapat melahirkan dan atau memberikan hak dan kewajiban serta kedudukan yang seimbang bagi para pihak, , perjanjian/kontrak yang dibuat secara bebas oleh kedua belah pihak, dengan demikian akan melahirkan kehendak yang bebas dan penuh itikad baik untuk melaksanakannya serta tidak terkesan adanya pihak yang kuat dan pihak yang lemah. Sehubungan dengan pelaksanaan bangun guna serah atas barang milik daerah ditetapkan/ dilaksanakan dalam bentuk perjanjian yang memuat antara lain yaitu pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian, objek , jangka waktu dan pokok –pokok bangun guna serah, data barang milik daerah yang menjadi objk bangun guna serah, hak dan kewajiban para pihak yang terikat dalam perjanjian, jumlah/besarnya kontribusi yang harus dibayar oleh Pihak Ketiga, dan sanksi, dan siapa yang berwenang untuk menandatangani perjanjian termaksud serta persyaratan lain yang dianggap perlu.

Berdasarkan pada uraian dan fakta di atas, penulis tertarik untuk menuangkannya atau mengangkatnya menjadi satu issu sentral dan menelitinya lebih lanjut mengenai bagaimana akibat hukum yang timbul dari perjanjian kerjasama termaksud, apa dan bagaimana peranan dan tanggung jawab dari Tim Penilai Kontribusi serta bagaimana karakteristik dari perjanjian kerjasama pemanfaatan barang milik daerah dengan model BOT itu, dan ini semua penulis mengemasnya dalam satu judul tulisan/tesis yaitu “ Perjanjian Kerjasama Pemanfaatan Barang Milik Daerah dengan Model Build Operate Transfer (BOT) “ .

Minggu, 19 Juni 2011

BENTUK-BENTUK PENYERTAAN DALAM TINDAK PIDANA PAJAK

Kesadaran bernegara merupakan tujuan kegiatan dan fungsi pemerintah dan pihak lain merupakan syarat bagi terciptanya tujuan-tujuan Negara yang telah ditetapkan. Masyarakat yang sudah tinggi kesadaran bernegara akan ikut berpartisipasi dan membantu pemerintah dalam melaksanakan kegiatan – kegiatannya, oleh karena kegiatan tersebut ditujukan untuk kepentingan masyarakat.
Penerimaan pajak merupakan salah satu sumber penerimaan yang penting bagi Negara dalam membiayai pengeluaran yang harus dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Karena itu pemerintah harus melakukan usaha untuk memungut pajak dari masyarakat dan senantiasa berusaha untuk meningkatkan kesadaran masyarakat membayar pajak. Kesadaran masyarakat membayar pajak sangat ditentukan oleh tingkat pendidikan dan pengetahuan masyarakat. ( Marihot Pahala Siahaan , 2010 : 103).
Kesadaran membayar pajak secara makro akan melahirkan moralita perpajakan ( tax morality) masyarakat . Masyarakat yang memiliki moralita perpajakan yang tinggi akan merasa membayar pajak merupakan kewajiban kenegaraan yang harus dipenuhi sebagai anggota Negara yang telah memberikan perlindungan dan fasilitas kepadanya.
Tax morality atau moralita ( kesadaran secara sungguh-sungguh ) membayar pajak merupakan salah satu aspek atau bagian kesadaran bernegara. Apabila kesadaran bernegara tinggi maka berarti pula moralita perpajakan adalah juga tinggi. Kesadaran membayar pajak sebaliknya sangat dipengaruhi oleh efisiensi dan efektivitas kegiatan pemerintah. Apabila dalam melaksanakan kegiatan atau dalam menggunakan uang Negara banyak kebocoran, korupsi, dan penyelewengan lain maka akan berakibat merosotnya moralita perpajakan masyarakat. ( Marihot Pahala Siahaan , 2010 : 104-105).
Pada dasarnya wajib pajak , memandang pajak sebagai beban, dan sudah menjadi sifat dasar manusia untuk selalu mengurangi beban seminimal mungkin. Secara umum ada tiga tahapan yang akan dilakukan seorang wajib pajak yang dikenakan pajak. Langkah pertama yang akan diambil wajib pajak adalah berusaha menghindari pajak, baik dengan upaya legal maupun upaya yang tidak legal. Apabila upaya penghindaran ini tidak dapat dilakukan maka ia akan menerima pajak itu sebagai kewajiban, tetapi ia akan mengambil langkah yang kedua, yaitu berusaha untuk mengurangi beban pajak seminimal mungkin. Usaha ini pun dapat dilakukan dengan dua cara , yaitu cara yang legal maupun cara yang tidak legal. Apabila hal ini telah dilakukan (atau ternyata tidak dapat dilakukan secara maksimal) maka barulah ia akan membayar pajak tersebut. (Marihot Pahala Siahaan , 2010 : 107).
Dalam kaitannya dengan tindak pidana pajak, ada yang dikenal dengan Penyertaan dalam melakukan tindak pidana pajak yang dilakukan oleh pihak ketiga. Pihak lain bukan merupakan satu kesatuan yang menyatu dengan pegawai pajak, wajib pajak, dan pejabat pajak, melainkan berada dalam kedudukan yang terpisah. Pihak lain meliputi pegawai wajib pajak, wakil, kuasa hukum, konsultan hukum, akuntan publik, dan profesi lain seperti, notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah, dan dokter. Karena itu, seyogianya dipahami secara tegas kedudukan pihak lain dalam penerapan kaidah hukum pajak untuk mencegah agar tidak terjadi kejahatan di bidang perpajakan.
Keikutsertaan pihak lain tidak berada dalam kedudukan sebagai pelaku (dader) kejahatan. Kedudukannya hanya sebatas “penyertaan” pada suatu kejahatan di bidang perpajakan, seperti menyuruh melakukan (“doenplegen”), turut melakukan (“medeplegen”), menganjurkan melakukan (“uitlokking”) dan membantu melakukan (“medeplichtigheid”). Dengan demikian, keterlibatan pihak lain dalam suatu kejahatan di bidang perpajakan selalu berada pada salah satu bentuk dari penyertaan itu.
Kejahatan di bidang perpajakan yang dilakukan oleh pihak lain tidak boleh terlepas dari ketentuan pada Pasal 43 UUKUP kerena secara tegas telah menunjuk jenis kejahatan sebagaimana diatur pada Pasal 39, Pasal 39A, Pasal 41A, dan Pasal 41B UUKUP.
Jenis kejahatan di bidang perpajakan sebagaimana Pasal-Pasal tersebut menunjukkan bahwa pihak lain sangat berpotensi dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara. Mengingat, pihak lain memiliki peranan agar wajib pajak dapat mewujudkan delik pajak sehingga terhindar dari pemenuhan kewajiban atau melanggar larangan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengawasan dari Direktorat Jenderal Pajak dalam bentuk pemeriksaan wajib pajak maupun pihak lain yang memiliki keterkaitan suatu kajahatan di bidang perpajakan yang terarah pada delik pajak. Hal ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan pihak lain dalam delik pajak tersebut.
Penyertaan (deelneming) adalah pengertian yang meliputi semua bentuk turut serta/terlibatnya orang atau orang-orang baik secara psikis maupun fisik dengan melakukan masing-masing perbuatan sehingga melahirkan suatu tindak pidana. Orang-orang yang terlibat dalam kerja sama yang mewujudkan tindak pidana, perbuatan masing-masing dari mereka berbeda satu dengan yang lain, demikian juga bisa tidak sama apa yang ada dalam sikap batin mereka terhadap tindak pidana maupun terhadap peserta yang lain. Tetapi dari perbedaan-perbedaan yang ada pada masing-masing itu terjalinlah suatu hubungan yang sedemikian rupa eratnya, dimana perbuatan yang satu menunjang perbuatan yang lainnya, yang semuanya mengarah pada satu ialah terwujudnya tindak pidana. ( Drs. Adami Chazawi, S.H., 2002 : 73 ).
Bentuk-bentuk penyertaan terdapat dan diterangkan dalam pasal 55 dan 56. Pasal 55 mengenai golongan yang disebut dengan medepleger (disebut para peserta, atau para pembuat), dan pasal 56 mengenai medeplichtige) ( pembuat pembantu).
Pasal 55 merumuskan sebagai berikut :
(1) Dipidana sebagai pembuat tindak pidana :
1. Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan ;
2. Mereka yang dengan member atau menjanjikan sesuatu , dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan,atau dengan member kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.
(2) Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjur sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.
Pasal 56 merumuskan sebagai berikut :
Dipidana sebagai pembantu kejahatan :
1. Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan ;
2. Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.
Dari kedua pasal ini dapatlah diketahui bahwa menurut KUHP penyertaan itu dibedakan dalam dua kelompok, yaitu :
1. Kelompok orang-orang yang perbuatannya disebabkan dalam pasal 55 ayat (1) , yang dalam hal ini disebut dengan para pembuat (medepleger) , adalah mereka :
a. Yang melakukan ( plegen) , orang yang disebut dengan pembuat pelaksana ( pleger)
b. Yang menyuruh melakukan (doen plegen), orangnya disebut pembuat penyuruh (doen pleger)
c. Yang turut serta melakukan ( mede plegen), orangnya disebut dengan pembuat peserta ( mede pleger); dan
d. Yang sengaja menganjurkan (uitlokken), yang orangnya disebut dengan pembuat penganjur ( uitlokker).
2. Orang yang disebut dengan pembuat pembantu (medeplichtige) kejahatan, yang dibedakan menjadi :
a. Pemberian bantuan pada saat pelaksanaan kejahatan ; dan
b. Pemberian bantuan sebelum pelaksanaan kejahatan.

R. Soesilo, KUHP serta Komentar-Komentarnya lengkap Pasal Demi Pasal , halaman 72-73 menjelaskan menafsirkan ketentuan Pasal 55 KUHPidana itu sebagai berikut :
“ Dihukum sebagai orang yang melakukan peristiwa pidana :
1e. orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau turut melakukan perbuatan itu ;
1. Orang yang melakukan (pleger). Orang ini ialah seorang yang sendirian telah berbuat mewujudkan segala anasir atau elemen dari peristiwa pidana. Dalam peristiwa pidana yang dilakukan dalam jabatan misalnya orang itu harus pula memenuhi elemen “ status pegawai negeri “
2. Orang yang menyuruh melakukan ( doen plegen) . disini sedikitnya ada dua orang yang menyuruh (doen plegen) dan yang disuruh (pleger). Jadi bukan orang itu sendiri yang melakukan peristiwa pidana, akan tetapi ia menyuruh orang lain, meskipun demikian toh ia dipandang dan dihukum sebagai orang yang melakukan sendiri yang melakukan peristiwa pidana, akan tetapi ia menyuruh orang lain, disuruh (pleger) itu harus hanya merupakan suatu alat (instrument) saja, maksudnya ia tidak dapat dihukum karena tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya.
3. Orang yang turut melakukan (medepleger) “ turut melakukan” dalam arti kata “ bersama-sama melakukan” . sedikit-dikitnya harus ada dua orang, iualah orang yang melakukan (pleger) dan orang yang turut melakukan (medepleger) peristiwa pidana itu. Disini diminta , bahwa kedua orang itu semuanya melakukan perbuatan pelaksanaan, jadi melakukan anasir atau elemen dari peritiwa pidana itu. Tidak boleh misalnya hanya melakukan perbuatan persiapan saja atau perbuatan yang sifatnya hanya menolong, sebab jika demikian, maka orang yang menolong itu tidak masuk “megepleger” akan tetapi dihukum sebagai “membantu melakukan (medeplichtige) tersebut dalam pasal 56.
Dalam berbagai undang-undang yang mengatur pajak, di dalamnya terdapat ketentuan-ketentuan yang memberikan ancaman pidana di bidang pajak. Ketentuan tersebut berada baik dalam Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) maupun dalam undang-undang yang lain.
Dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang KUP, ketentuan yang mengatur ketentuan pidana terdapat dalam Bab VIII, yaitu dari Pasal 38 sampai dengan Pasal 43. Tindak pidana yang diatur di dalam UU tentang KUP ini meliputi :
a. Setiap orang yang karena kealpaannya tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan ; atau menyampaikan Surat pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapat Negara, dan perbuatan tersebut merupakan perbuatan setelah perbuatan yang pertama kali . ( Pasal 38 ).
b. Setiap orang yang dengan sengaja tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok wajib Pajak atau tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak; menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau pengukuhan Pengusaha Kena Pajak; tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan ; menyampaikan Surat pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau ridak lengkap; menolak untuk dilakukan pemeriksaan; memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya; tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain; tidak menyimpan buku, catatan , atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau diselenggarakan secara program aplikasi online di Indonesia; atau tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara (Pasal 39).
c. Setiap orang yang dengan sengaja menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya; atau menrbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. (Pasal 39 A).
d. Pejabat yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh wajib pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan; atau tindakan tersebut dilakukan secara sengaja ; termasuk pula seseorang yang menyebabkan tidak dapat dipenuhinya kewajiban pejabat tersebut (Pasal 41).
e. Setiap orang yang menurut ketentuan undang-undang wajib memberi keterangan, sengaja tidak memberi keterangan atau bukti yang diminta, padahal itu menjadi kewajibannya, atau memberi keterangan atau bukti yang tidak benar, yang diminta (Pasal 41 A).
f. Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi atau mempersulit penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan ( Pasal 41 B).
g. Setiap orang yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban untuk memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak,; sengaja meyebabkan tidak terpenuhinya kewajiban pejabat dan pihak lain untuk memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak; dengan sengaja tidak memberikan data dan informasi yang diminta oleh Direktur Jenderal Pajak; dengan sengaja menyalahgunakan data dan informasi perpajakan sehingga menimbulkan kerugian kepada Negara (Pasal 41 C).
Dari ketentuan tersebut dapat dipahami unsur-unsur dari tindak pidana perpajakan itu, yakni :
a. Tidak adanya perbuatan yang diwajibkan, seperti tidak menyampaikan SPT , atau adanya perbuatan yang dilarang, seperti memperlihatkan pembukuan yang palsu;
b. Berada dalam kaitan dengan masalah pajak;
c. Dilakukan secara sengaja maupun tidak sengaja;
d. Secara melawan hukum; tidak memenuhi kewajiban hukum, ataupun melakukan sesuatu yang dilarang oleh hukum;
e. Dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara.
Apa yang ditentukan beberapa pasal tersebut memperlihatkan adanya kualifikasi yang berbeda satu dengan yang lainnya. Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 38 adalah terjadi karena kealpaan, sementara tindak pidana yang diatur dalam Pasal 39 terjadi karena kesengajaan. Menurut ketentuan undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang KUP Pasal 42 tindak pidana tersebut dikategorikan sebagai Pelanggaran dan Kejahatan. Namun, dengan keluarnya UU No. 9 Tahun 1994 yang mengubah UU tentang KUP maka ketentuan Pasal 42 ini dihapuskan. Sementara dalam Pasal 41 termuat baik tindak pidana yang terjadi karena kealpaan (ayat 1), maupun terjadi karena kesengajaan (ayat 2) di mana tindak pidana dalam pasal ini merupakan delik aduan.
Dalam kaitannya dengan pelaku tindak pidana, dari isi kedua pasal yang pertama ini seolah-olah yang melakukan tindak pidana di bidang pajak itu cenderung para wajib pajak, namun menurut ketentuan Pasal 43 , ketentuan Pasal 39, dan Pasal 39 A tersebut berlaku juga bagi wakil, kuasa, atau pegawai wajib pajak, yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan. Ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 41 lebih diarahkan pada pejabat yang tidak memenuhi kewajiban untuk menjaga rahasia jabatan. Ketentuan pasal 41 A lebih tertuju pada pihak-pihak yang berhubungan dengan wajib pajak dalam kaitannya dengan pemeriksaan, seperti : bank, notaris, konsultan pajak, akuntan publik, dan kantor administrasi dimana pada umumnya mereka mempunyai kewajiban menjaga kerahasiaan. Ketentuan Pasal 41 B ditujukan kepada orang yang sengaja menghalangai atau mempersulit penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan atau menyembunyikan barang bukti, baik itu wajib pajak atau penanggung pajak maupun yang bukan wajib pajak atau penanggung pajak, mislanya karyawan, pemilik tanah yang disewa oleh wajib pajak, pemilik bangunan yang digunakan oleh perusahaan , dan sebagainya. ( Y. Sri Pudyatmoko, 2009 : 207-210).
Pihak lain sebagai pihak yang melakukan kejahatan di bidang perpajakan, ketentuannya secara tegas diatur pada pasal 43 UUKUP;
1. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 39 dan pasal 39A, berlaku juga bagi wakil, kuasa, pegawai dari wajib pajak, atau pihak lain yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.
2. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 41A dan 41B berlaku juga bagi yang menyuruh melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.
Jika dicermati kedua ayat dalam pasal 43 UUKUP tersebut, ternyata terdapat perbedaan prinsipil keikutsertaan pihak lain dalam melakukan kejahatan yang berfokus pada delik pajak. Pada pasal 34 ayat (1) UUKUP mengenal empat keikutsertaan pihak lain yaitu: 1) menyuruh melakukan kejahatan, 2) turut serta melakukan kejahatan, 3) menganjurkan melakukan kejahatan, 4) membantu melakukan kejahatan yang dikategorikan sebagai delik pajak. Sementara itu, ketentuan pada pasal 43 ayat (2) UUKUP tersebut hanya mengatur tiga bentuk keikutsertaan pihak lain yaitu: 1) menyuruh melakukan kejahatan, 2) yang menganjurkan melakukan kejahatan, dan 3) membantu melakukan kejahatan yang dikategorikan sebagai delik pajak.
Prof. Dr. Muhammad Djafar Saidi, dalam bukunya Kejahatan Di Bidang Hukum Pajak, halaman 125, menyatakan bahwa kalau dicermati substansi hukum yang terkandung dalam kedudukan sebagai “pesertaan” atau “penyertaan”. Dalam kaitan ini Wirjono Prodjodikoroberpendapat kata “pesertaan” berarti turut sertanya seorang atau lebih pada waktu orang lain melakukan tindak pidana (Wirjono Prodjodikor,2003: 117). Pada hakikatnya, pihak lain yang berada dalam kedudukan sebagai penyertaan dalam delik pajak bukan merupakan pelaku (dader) yang mewujudkan delik itu melainkan berada pada kedudukan memberikan sarana dan prasarana agar terjadi delik pajak yang dilakukan oleh orang lain.
Kejahatan dibidang perpajakan yang dilakukan oleh pihak lain tidak boleh terlepas dari ketentuan pada pasal 43 UUKUP karena secara tegas telah menunjuk jenis kejahatan sebagaimana telah diatur dalam pasal 39, pasal 39A, pasal 41A, dan pasal 41B UUKUP. Adapun jenis kejahatan di bidang perpajakan yang dapat dilakukan oleh pihak lain dalam kedudukan sebagai penyertaan adalah sebagai berikut.
1. Tidak mendaftarkan diri atau melapor usahanya;
2. Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan;
3. Pemalsuan Surat Pemberitahuan;
4. Menyalahgunakan Nomor Pokok Wajib Pajak;
5. Menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak;
6. Menyalahgunakan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
7. Menggunakankan tampa hak Nomor Pokok Wajib Pajak;
8. Menolak untuk diperiksa;
9. Pemalsuan pembukuan , pencatatan, atau dokumen lain;
10. Tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain;
11. Tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan;
12. Tidak menyetor pajak yang telah dipotong atau dipungut
13. Menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti, pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak dan/atau bukti setoran pajak;
14. Menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak;
15. Tidak memberikan keterangan atau bukti;
16. Menghalangi atau mempersulit penyidikan delik pajak.

Jenis kejahatan di bidang perpajakan tersebut menunjukan bahwa pihak lain sangat berpotensi dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara. Mengingat, pihak lain memiliki peranan agar wajib pajak dapat mewujudkan delik pajak sehingga terhindar dari pemenuhan kewajiban atau melanggar larangan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengawasan dari Direktorat Jenderal Pajak dalam bentuk pemeriksaan wajib pajak maupun pihak lain yang memilki keterkaitan suatu kejahatan di bidang perpajakan yang terarah pada delik pajak. Hal ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan pihak lain dalam delik pajak tersebut, seperti halnya dibawah ini.
Berikut ini akan dijelaskan yang masuk kategori tindak pidana penyertaan di bidang perpajakan yang berkaitan dengan pihak ketiga/pihak lain adalah sebagai berikut :

1. Menyuruh Melakukan (Doenplegen)

Prof. Muhammad Djafar Saidi, S.H., M.H., 2011 : 127-129, menjelaskan bahwa Menyuruh Melakukan (doenplegen) merupakan bagian dari satu bentuk penyertaan yang terkait dengan delik pajak. Dalam hal ini Lamintang (1997: 609) mengatakan didalam suatu doenplegen itu jelas terdapat seseorang yang menyuruh orang lain melakukan suatu tindak pidana, dan seseorang lainnya yang disuruh melukakan tindak pidana tersebut.
Menurut A. Zainal Abidan Farid dan A. Hamzah (2006; 176) menyatakan bahwa Doen pleger secara harfiah dapat diterjemahkan dengan pembuat pelaku karena setiap orangg di Indonesia sudah memakai istilah penyuruh. Bentuk keikutsertaan dalam terwujudnya delik yang disebut doen plegen adalah ciptaan pembuat undang-undang di Nederland yang tidak dikenal di Negara lain.
Prof. Muhammad Djafar Saidi, S.H., M.H., 2011 mengutip pendapat Wirjono Prodjodikoro (2003: 118-119) ini terjadi apabila seorang lain menyuruh si pelaku melakukan perbuatan yang biasanya merupakan tindak pidana, tetapi oleh karena beberapa hal si pelaku itu tidak dapat dikenai hukum pidana. Jadi, si pelaku (dader) itu seolah- olah menjadi alat belaka (instrument) yang dikendalikan oleh si penyuruh. Si pelaku semacam ini dalam ilmu pengetahuan hukum dinamakan manus manistra (tangan yang dikuasai) dan si penyuruh dinamakan manus domina (tangan yang menguasai).

Prof. Muhammad Djafar Saidi, S.H., M.H., 2011 mengutip pendapat Lamintang (1997: 610-611) yang mengutip pendapat Simons bahwa orang yang disuruh melakukan perbuatan haruslah memenuhi beberapa syarat tertentu sebagai berikut.
a. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu delik itu adalah seseorang yang ontoerekeningsvatbaar seperti yang dimaksud di dalam pasal 44 KUHP;
b. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu delik mempunyai suatu dwalingat atau suatu kesalahpahaman mengenai salah satu unsur dari delik yang bersangkutan;
c. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu delik itu sama sekali tidak mempunyai unsure schulf, baik dolus maupun culpa, ataupun apabila orang tersebut tidak memenuhi unsure opzet seperti yang telah disyaratkan oleh undang- undang delik tersebut;
d. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu delik itu tidak memenuhi oogmerk, padahal unsure tersebut disyaratkan dalam rumusan undang-undang menganai delik tersebut;
e. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu delik itu telah melakukan di bawah pengaruh suautu overmacht atau di bawah pengaruh suatu keadaan yang memaksa, dan terhadap paksaan mana orang tersebut tidak mampu meberikan suatu perlawanan;
f. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu delik dengan iktikad baik telah melaksanakan suautu printah jabatan, padahal perintah jabatan tersebut diberikan oleh seorang atasan yang tidak berwenang memberikan perintah semacan itu;
g. Apabila orang yang disuruh melakukan suatu delik itu tidak mempunyai suatu hoedanigheid atau suatu sifat tertentu, seperti yang telah disyaratkan oleh undang-undang, yakni sebagai suatu sifat yang harus dimilki oleh pelaku sendiri.

Undang-undang tidak menerangkan tentang siapa yang dimaksud yang menyuruh melakukan itu. Dalam mencari pengertian dan syarat dari orang yang menyuruh melakukan (doen pleger) banyak ahli hukum merujuk pada keterangan yang ada di dalam MvT WvS Belanda, yang ,menyatakan bahwa “ yang menyuruh melakukan adalah juga dia yang melakukan tindak pidana akan tetapi tidak secara pribadi, melainkan dengan perantaraan orang lain sebagai alat dalam tangannya, apabila orang lain itu berbuat tanpa kesengajaan, kealpaan atau tanpa tanggung jawab karena keadaan yang tidak diketahui, disesatkan atau tunduk pada kekerasan “.
Dari keterangan MvT itu dapat ditarik unsure-unsur dari bentuk pembuat penyuruh, yaitu :
a. Melakukan tindak pidana dengan perantaraan orang lain sebagai alat di dalam tangannya ;
b. Orang lain itu berbuat :
1). Tanpa kesengajaan;
2). Tanpa kealpaan;
3). Tanpa tanggung jawab, oleh sebab keadaan :
a). yang tidak diketahuinya ;
b). karena disesatkan ; dan
c). karena tunduk pada kekerasan.
Sebagai hal yang juga penting, dari apa yang diterangkan oleh MvT ialah bahwa jelas orang yang disuruh melakukan itu tidak dapat dipidana, sebagai konsekuensi logis dari keadaan subjektif (batin : tanpa kesalahan, atau tersesatkan) dan atau tidak berdaya karena pembuat materiilnya tunduk pada kekerasan (objektif).
Berdasarkan keterangan MvT tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa penentuan bentuk pembuat penyuruh lebih ditekankan pada ukuran objektif, ialah kenyataannya tindak pidana itu dilakukan oleh orang lain yang aada dalam kekuasannya sebagai alat, yang dia berbuat tanpa kesalahan dan tanpa tanggung jawab. Walaupun sesungguhnya juga tetap memperhatikan hal-hal yang ternyata subjektif , yakni dalam hal tidak dipidananya pembuat materiilnya (orang yang disuruh melakukan) karena dia berbuat tanpa kesalahan, dan dalam hal tidak dipertanggung jawabkan karena keadaan batin orang yang dipakai sebagai alat itu, yakni tidak athu dan tersesatkan, sesuatu yang subjektif. Sedangkan alasan karena tunduk pada kekerasan adalah bersifat objektif. ( Drs. Adami Chazawi, S.H., 2002 : 88-89 ).
Berhubungan dengan delik pajak, maka orang yang menyuruh melakukan kejahatan (doenplegen) diatur dalam pasal 43 UUKUP. Ketentuan ini menunjuk pula pada pasal 39, pasal 39A, pasal 41A, dan 41B UUKUP. Penunjuk oleh pasal 43 UUKUP terhadap pasal tersebut merupakan penegasan terhadap kata “setiap orang” yang terdapat pada pasal di atas. Hal ini dapat disimak substansi pasal 43 UUKUP yang mengatur sebagai berikut.
1. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 39A, berlaku juga bagi wakil , kuasa, pewai dari wajib pajak, atau pihak lain yang menyuruh melakukan….dst….tindak pidana di bidang perpajakan;
2. Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 41A dan pasal 41B berlaku juga bagi yang menyuruh melakukan, ….dst….tindak pidana di bidang perpajakan.
Kemudian dalam penjelasan ketentuan pasal 43 ayat (1) UU KUP bahwa yang dipidana karena melakukan delik pajak tidak terbatas pada wajib pajak, melainkan termasuk penanggung pajak, kuasa hukum wajib pajak, pegawai dari wajib pajak, akuntan publik, konsultan pajak, atau pihak lain . kapasitas wakil wajib pajak, kuasa wajib pajak, pegawai wajib pajak, akuntan publik, konsultan pajak, atau pihak lain yang menyuruh melakukan sehingga terwujud delik pajak. Pengertian pihak lain dapat dikemukan misalnya, notaris, dokter, dan profesi yang terkait dengan pelaksanaan hukum pajak.
Peranan dan perbuatan yang dapat dilakukan oleh Pihak Ketiga dalam melakukan tindak pidana penyertaan di bidang pajak ini dapat berupa menyuruh wajib pajak untuk berbuat atau tidak berbuat sebagaimana yang diatur oleh Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pasal 39, Pasal 39 A, Pasal 41 A dan Pasal 41 B.
2. Turut Melakukan/Turut serta Melakukan (medeplegen)
Tentang siapa yang dimaksud dengan turut serta melakukan (medepleger), oleh MvT WvS Belanda diterangkan bahwa yang turut serta melakukan ialah setiap orang yang sengaja turut berbuat ( meedoet) dalam melakukan suatu tindak pidana. Keterangan ini belum memberikan penjelasan yang tuntas. Ioleh karena itu, menimbulkan perbedaan pandangan.
Lebih lanjut Prof. Muhammad Djafar Saidi, S.H., M.H, 2011 : 130 menjelaskan bahwa Turut melakukan (medeplegen) merupakan bagian dari deelmening. Hal ini dipertegas oleh Lamintang (1997: 615) oleh karena didalam bentuk deelmening ini selalu terdapat seorang pelaku dan seorang atau lebih pelaku yang turut melakukan delik yang dilakukan oleh pelakunya, maka bentuknya deelneming ini sering juga disebut suatu mededaderchap. Dengan demikian,maka medeplegen itu disamping melakukan suatu bentuk deelniming, maka ia jug merupakan suatu bentuk daderschap.
Menurut Lengemeijer sebagaimana dikutip oleh A. Zainal Abidin Farid dan A. Hamzah (2006; 200-201) bahwa medeplegen (turut serta melakukan), sebagai sautu bentuk penyertaan, tidak mensyaratkan bahwa tiap- tiap orang yang bekerjasama harus mewujudkan semua unsure delik seperti pada rumusan doeplegen (penyuruh, hal pembuat pelaku). semua unsure delik dapat dibagi oleh berbagai orang . Akan tetapi, harus dimungkinkan pula bahwa seorang pelaku peserta melakukan perbuatan, yang menurut uraian delik merupakan perbuatan pelaksanaan, sedangkan pelaku peserta lain melakukan perbuatan yang tidak merupakan perbuatan yang sesuai uraian delik, namun untuk pelaksanaan perbuatan yang disebut pertama sangat penting. Misalnya, pelaku peserta yang kedua melakukan penjagaan saja, sedangkan kawan berbuatnya melakukan pencurian.
Hukum pajak mengenal pula turut melakukan (medeplegen) dalam suatu delik. Dalam arti bahwa bukan hanya wajib pajak sebagai pealku delik hukum pajak mellainkan melibatkan pula pihak lain sehingga perbuatan itu terwujud. Yang termasuk sebagai pihak lain dalam kaitannya dengan medeplegen adalah wakil wajib pajak, kuasa wajib pajak, pegawai wajib pajak, akuntan publik, konsultan pajak, notaris, dokter, atau profesi lain yang terkait dengan hukum pajak.
Setiap orang yang bersama-sama melakukan delik hukum pajak bertanggung jawab sepenuhnya atas segala akibat yang timbul dalam ruang lingkup kerja sama tersebut. Jika akibat terjadi di luar ruang lingkup kerjasama itu, maka tia-tiap orang bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan. Hal ini merupakan perwujudan dari akibat yang ditimbulkan karena turut melakukan perbuatan yang menyebabkan terjadinya delik hukum pajak.
Prof. Satochid Kartanegara berpendapat bahwa untuk adanya mededader harus dipenuhi 2 (dua) syarat, yakni :
a. Harus ada kerja sama secara fisik;
b. Harus ada kesadaran kerja sama;
Selanjutnya Prof. Satochid Kartanegara mengutarakan :
“Mengenai syarat kesadaran kerja sama itu dapat diterangkan bahwa kesadaran itu perlu timbul sebagai akibat permufakatan yang diadakan oleh para peserta. Akan tetapi, sudah cukup dan terdapat kesadaran kerja sama apabila para peserta pada saat mereka melakukan kejahatan itu sadar bahwa mereka bekerja sama.
Pendapat Prof. Satochid Kartanegara di atas mirip dengan memorie van Toelichting, yang berbunyi sebagai berikut :
“Yang membedakan seorang mededader dari medeplichtige adalah bahwa orang yang disebut pertama itu secara langsung telah ikut mengambil bagian dalam pelaksanaan suatu tindak pidana yang telah diancam dengan hukuman oleh Undang-Undang, atau telah secara langsung turut melakukan perbuatan atau turut mmelakukan perbuatan yang menyelesaikan tindak pidana yang bersangkutan; sedang orang yang disebut terakhir itu hanyalah memberi bantuan untuk melakukan perbuatan seperti dimaksud di atas.”
Mr. M.H. Tirtaatmidjaja menjelaskan “bersama-sama”, antara lain sebagai berikut :
“Suatu syarat mutlak bagi bersama-sama melakukan" adalah adanya “keinsafan bekerja sama” tidak diperlukan bahwa lama sebelum perbuatan itu telah diadakan suatu persetujuan antara mereke. Persetujuan antara mereka tidak lama sebelum pelaksanaan pelanggaran pidana itu, telah cukup bagi adanya suatu keinsafan kerja sama ...
Orang-orang yang bersama-sama melakukan pelanggaran pidana itu, timbal balik bertanggung jawab bagi perbuatan bersama, sekadar perbuatan itu terletak dalam lingkungan sengaja bersama-sama.”
Peranan dan perbuatan yang dapat dilakukan oleh Pihak Ketiga dalam melakukan tindak pidana penyertaan di bidang pajak ini dapat berupa bersama-sama dengan wajib pajak atau turut membantu wajib pajak untuk berbuat atau tidak berbuat sebagaimana yang diatur oleh Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pasal 39, Pasal 39 A, Pasal 41 A dan Pasal 41 B.

3. Menganjurkan melakukan (uitlokking)

Apakah yang sebenarnya dimaksud dengan uitlokking? Begitu pertanyaaan yang dikemukan oleh Lamintang (1997; 634). Menurut professor van hamel yang dikutip oleh lumintang (1997; 634) telah merumuskan uitlokking itu sebagai deelneming atau keikutsertaan berupa: “ het opzettelijk bewegen, met door de wet aangeduide middelen, van eenzelt- verantwoordelijk person tot een strafbaar feit, dat deze Aldus bewogen, opzettelijk pleegt”.
(“kesengajaan menggerakan orang lain yang dapat dipertanggung jawabkan pada dirinya utuk melakukan suatu delik dengan menggunakan cara-cara yang telah ditentukan oleh undang-undang karena telah tergerak, orang tersebut kemudian telah dengan sengaja melakukan delik yang bersangkutan”).
Kesimpulan menurut Lamintang ()1997;634) bahwa antra doenplegen atau menyuruh melakukan dengan uitlokking atau menggerakan orang lain untuk melakukan suatu delik itu terdapat suatu kesamaan, yaitu bahwa didalam doenpleger atau manus domina itu tidak melakukan sendiri delik yang dikehendakinya, melainkan dengan perantaraan orang lain yang biasanya disebut sebagai materiele dader ataupun diebut sebagai manus ministra. Sedangkan didalam uitlokking itu, orang yang menggerakan orang lain untuk melakukan suatu delik atau provocateur atau agent provocateur atau lokbeambte itu juga telah tidak melakukan sendiri delik yang dikehendakinya, melainkan dengan perantara orang lain, yang biasanya disebut sebagai de uitgeloktie atau sebagian orang lain yang telah digerakkan.
Lebih lanjut, dikatakan oleh Lamintang (1997; 636) walaupun antara doenplegen dengan uitlokking itu terdapat suatu kesamaan, akan tetapi diantara kedua bentuk deelneming tersebut juga terdapat perbedaan- perbedaan, yaitu antara lain adalah
a. Orang yang disuruh melakukan suatu delik di dalam doenplegen haruslah merupakan orang yang nietroerekenbaar atau haruslah merupakan orang yang perbuatanya tidak dapat dipertanggung jawabkan, sedangkan orang yang telah digerakkan untuk melakukan suatu delik itu haruslah merupakan orang yang sama halnya dengan orang yang telah menyuruh, dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau toerekenbaar;
b. Cara yang dapat dipergunakan oleh seseorang yang telah menyuruh melakukan suatu delik di dalam doenplegen itu tidak ditentukan oleh undang- undang, sedangkan cara – cara yang harus dipergunakan oleh seseorang yang telah menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu delik di dalam uitlokking itu telah ditentukan secara limitative di dalam undang-undang.
Uitlokking atau menganjurkan melakukan perbuatan merupakan salah satu bentuk dari deelmening. Uitlokking dalam kaitan dengan hukum pajak berada dalam konteks delik yang dilakukan oleh wajib pajak karena adanya anjuran untuk melakukan perbuatan itu. Anjuran itu berasal dari wakil wajib pajak, kuasa wajib pajak, pegawi wajib pajak, akuntan publik, konsultan pajak, notaris, dokter ataupun profesi lainya yang terkait dengan hukum pajak
Ketentuan dalam hukum pajak yang mengatur tentang orang yang menganjurkan melakukan perbuatan diatur dalam pasal 43 UKUUP. Ketentuan ini menunjukan pula pasal 39, pasal 39A, pasal 41A, dan 41B UUKUP. Hal ini dapa disimak substansi pasal 43 UUKUP yang berbunyi sebagai berikut.
1. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 39 dan pasal 39A, berlaku juga bagi wakil , kuasa, pegawai dari wajib pajak, atau pihak lain……. yang menganjurkan……dst……tindak pidana di bidang perpajakan;
2. Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 41A dan pasal 41B berlaku juga bagi ….yang menganjurkan …….dst……tindak pidana di bidang perpajakan.
Kemudian, penjelasan pasal 43 ayat (1) UU KUP memperluas pengertian orang yang menganjurkan melakukan perbuatan bukan hanya wakil wajib pajak, kuasa wajib pajak, pegawai wajib pajak, akuntan publik, konsultan pajak. Terjaringnya akuntan publik dan konsultan pajak sebagai bagian dari pihak yang menganjurkan melakukan perbuatan merupakan bentuk pencegahan dalam rangka mengantisipasi delik hukum pajak. Tidak dapat dipungkiri bahwa akuntan publik dan/atau konsultan pajak sangat berpan terhadap wajib pajak, termasuk kegiatan yang bersifat menganjurkan melakukan perbuatan yang mengarah kepada delik hukum pajak. ( Prof. Dr. Muhammad Djafar Saidi, S.H., M.H. , 20011 : 131-134).
Dalam KUHP Hal ini diatur pada Pasal 55 ayat (1) sub. 2 (ke-2) yang berbunyi sebagai berikut :
“Mereka yang dengan pemberian, perjajian, salah memakai kekuasaan atau derajat (martabat) dengan paksaan, ancaman atau ikhtiar atau keterangan, dengan sengaja membujuk supaya perbuatan itu dilakukan.”
Orang yang sengaja menganjurkan (pembuat penganjur, disebut juga auctor intellectualis, seperti juga pada orang yang menyuruh lakukan, tidak mewujudkan tindak pidana secara materiil, tetapi melalui orang lain. Kalau pembuat penyuruh dirumuskan dalam Pasal 55 ayat (1) dengan singkat, ialah yang menyuruh melakukan (doen plegen), tetapi pada bentuk orang yang sengaja menganjurkan ini dirumuskan dengan lebih lengkap, dengan menyebut unsure objektif yang sekaligus unsure subjektif. Rumusan itu selengkapnya ialah : “ mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan “.
Apabila rumusan itu hendak dirinci, maka unsur-unsurnya adalah :
Unsur-unsur objektif, terdiri dari :
a. Unsur perbuatan, ialah : menganjurkan orang lain melakukan perbuatan ;
b. Caranya, ialah :
• Dengan memberikan sesuatu ;
• Dengan menjanjikan sesuatu;
• Dengan menyalahgunakan kekuasaan;
• Dengan menyalahgunakan martabat;
• Dengan kekerasan;
• Dengan ancaman;
• Dengan penyesatan;
• Dengan member kesempatan ;
• Dengan memberikan sarana;
• Dengan memberikan kekurangan.
Unsure subjektif , yakni dengan sengaja.
Dari rumusan tersebut di atas, dapat disimpulkan ada 5 syarat dari seorang pembuat penganjur, ialah :
a. Tentang kesengajaan si pembuat penganjur, yang harus ditujukan pada 4 hal , yaitu :
1). Ditujukan pada digunakannya upaya-upaya penganjuran ;
2). Ditujukan pada mewujudkan perbuatan mengajurkan beserta akibatnya;
3). Ditujukan pada orang lain untuk melakukan perbuatan (apa yang dianjurkan) ; dan
4). Ditujukan pada orang lain yang mampun bertanggung jawab atau dapat dipidana.
b. Dalam melakukan perbuatan menganjurkan harus menggunakan cara-cara menganjurkan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 55 ayat 1 angka 2 tersebut.
c. Terbentuknya kehendak orang yang menganjurkan ( pembuat pelaksananya) untuk melakukan tindak pidana sesuai dengan apa yang dianjurkan adalah disebabkan langsung oleh digunakannnya upaya-upaya penganjuran oleh si pembuat penganjur (adanya psychische causaliteit)
d. Orang yang dianjurkan (pembuat pelaksananya) telah melaksanakan tindak pidana sesuai dengan yang dianjurkan (boleh pelaksanaan itu selesai tindak pidana sempurna atau boleh juga terjadi percobaannya )
e. Orang yang dianjurkan adalah orang yang memiliki kemampuan bertanggung jawab.
Cara penganjuran telah ditentukan secara limitative dalam Pasal 55 ayat (1) angka 2. Tidaklah boleh dengan menggunakan upaya yang lain, misalnya dengan mengimbau. Hal ini juga salah satu yang membedakan antara pembuat penganjur dengan pembuat penyuruh, pada pembuat penyuruh dapat menggunakan segala cara , asalkan pembuat materiilnya tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Peranan dan perbuatan yang dapat dilakukan oleh Pihak Ketiga dalam melakukan tindak pidana penyertaan di bidang pajak ini dapat saja menganjurkan wajib pajak untuk berbuat atau tidak berbuat sebagaimana yang diatur oleh Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pasal 39, Pasal 39 A, Pasal 41 A dan Pasal 41 B.
4. Membantu melakukan (medeplichtigheid)
Membantu melakukan (medeplichtigheid) merupakan pula bentuk penyertaan dalam kaitan delik hukum pajak. Kategori sifat membantu melakukan perbuatan dalam hukum pajak dapat berupa melakukan perbuatan yang bersifat aktif dan bersifat pasif (tidak berbuat). Menurut A. Zainal Farid dan A. Hamzah (2006; 224) bahwa ada dua jenis pembantuan yaitu dengan sengaja memberi bantuan pada saat kejadian diwujudkan dan yang dengan sengaja memberikan bantuan untuk melakukan atau mewujudkan kejahatan.

Dalam memahami Pasal 56 KUHP, perlu diperhatikan lebih dahulu rumusan Pasal 57 ayat (4) KUHP yang berbunyi sebagai berikut :
“Untuk menentukan hukuman bagi pembantu, hanya diperhatikan perbuatan yang dengan sengaja memudahkan atau diperlancar oleh pembantu itu serta akibatnya.”
Yang dimaksud rumusan “dengan sengaja memudahkan” adalah perbuatan yang memudahkan pelaku untuk melakukan kejahatan tersebut, yang dapat terdiri atas berbagai bentuk atau jenis, baik materiil maupun immateriil. Dalam hal ini, perlu diperhatikan Pendapat Mr. M.H. Tirtaamidjaja, yang menyatakan :
“...suatu bantuan yang tidak berarti tidak dapat dipandang sebagai bantuan yang dapat dihukum.”

Dengan demikian, perbuatan membantu tersebut sifatnta menolong atau memberikan sokongan. Dalam hal ini, tidak boleh merupakan perbuatan pelaksanaan. Jika telah melakukan perbuatan pelaksanaan, pelaku sudah termasuk mededader, bukan lagi membantu.
Mengenai rumusan “sengaja”, dalam hal ini telah cukup jika yang bersangkutan mengetahui bahwa apa yang dilakukannya itu akan memudahkan pelaksanaan kejahatan itu atau apa yang dilakukannya berhubungan dengan kejahatan yang akan dilakukan.
Prof. Simon menyatakan bahwa “membantu” harus memenuhi dua unsur, yakni unsur obyektif dan unsur subyektif. Hal ttersebut diutarakan sebagai berikut :
“Perbuatan seseorang yang membantu itu dapat disebut telah memenuhi unsur yang bersifat obyektif apabila perbuatan yang telah dilakukannya tersebut memang telah ia meksudkan untuk mempermudah atau untuk mendukung dilakukannya suatu kajahatan. Dalam hal seorang yang membantu telah menyerahkan alat-alat untuk melakukan kajahatan kepada seorang pelaku, namun ternyata alat-alat tersebut tidak digunakan oleh si pelaku, yang membantu tersebut juga tidak dapat dihukum.
Perbuatan seseorang yang membantu dapat disebut memenuhi unsur yang bersifat subyektif apabila si pembantu memang mengetahui bahwa perbuatannya itu dapat mempermudah atau dapat mendukung dilakukannya suatu kejahatan ...”.
Semua yang telah dibicarakan di atas adalah “membantu” suatu kejahatan dengan perbuatan yang bersifat aktif. Adakalanya perbuatan “membantu” dilakukan tanpa berbuat atau bersifat pasif. Hal ini dapat terjadi jika seseorang berkewajiban untuk berbuat tetapi “tidak berbuat”, misalnya petugas ronda sengaja tidak melakukan ronda agar maling dapat masuk ke rumah A; atau penjaga gudang, walaupun barang di gudang diambil orang, ia diam saja tanpa berusaha melarang atau mencegah.
Ada perbuatan “membantu” yang dianggap oleh KUHP sebagai perbuatan atau delik yang berdiri sendiri, antara lain seperti yang dimuat dalam Pasal 106, Pasal 107, Pasal 108, Pasal 110, Pasal 236 dan Pasal 237 KHUP.
Pertanggungjawaban dari “membantu” diatur dalam Pasal 57 KUHP yang berbunyi :
1). Maksimum hukuman pokok yang diancamkann atas kejahatan, dikurangi sepertiga bagi si pembantu;
2). Jika kejahatan itu dapat dihukum dengan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup, maka dijatuhkan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun;
3). Hukuman tambahan untuk kejahatan dan membantu melakukan kejahatan itu, sama saja;
4). Untuk menentukan hukuman bagi pembantu hanya diperhatikan perbuatan yang dengan sengaja memudahkan atau diperlancara oleh pembantu itu serta akibatnya.

Membantu melakukan perbuatan yang bersifat aktif dapat terjadi, misalnya pegawai dari wajib pajak memberikan saran agar wajib pajak melakukan penghindaran pajak secara illegal dengan cara membuat dua jenis pembukuan. Sementara itu membantu melakukan perbuatan yang bersifat pasif terjadi karena konsultan pajak yang wajib memberikan konsultasi tentang hukum pajak, ternyata tidak diberikan sehingga wajib pajak melakukan delik pajak.
Siapakah yang tergolong sebagai pihak yang membantu melakukan perbuatan dalam delik hukum pajak. Sebenarnya, yang tergolong sebagai pihak yang membentu melakukan perbuatan agar terjadi delik hukum pajak adalah pegawai wajib pajak, wakil wajib pajak, kuasa wajib pajak, akuntan publik, konsultan pajak dalam kategori pihak yang membantu melakukan perbuatan karena berdasarkan pada penjelasan pasal 43 ayat 1 UUKUP. Sementra itu, yang termasuk dalam pengertian pihak lain adalah advokat dan penasehat hukum yang mendampingi wajib pajak tatkala memerlukan bantuan hukum dalam rangka penyelasaian sengketa pajak, baik di lembaga keberatan maupun pengadilan pajak.
Ketentuan dalam hukum pajak yang mengatur tentang orang yang membantu melakukan perbuatan diatur dalm pasal 43 UUKUP. Ketentuan ini menunjuk pula pada pasal 39, pasal 39A, pasal 41A, dan 41B UUKUP. Penunjuk tersebut merupakan penegesan terhadap kata “setiap orang” yang terdapat pada pasal 39, pasal 39A, pasal41A, dan pasal 41B UUKUP. Hal ini dapat disimak substansi pasal 43 UUKUP yang berbunyi sebagai berikut :
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 39A, berlaku juga bagi wakil, kuasa, pegawai dari Wajib Pajak, atau pihak lain yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A dan Pasal 41B berlaku juga bagi yang menyuruh melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.

Kemudian dalam penjelasan ketentuan pasal 43 ayat (1) UU KUP memperluas pengertian orang yang membantu melakukan perbuatan bukan hanya wakil pajak, kuasa wajib pajak, pegawai wajib pajak dan pihak lain, tetapi termasuk pula akuntan publik, dan konsultan pajak sebagai bagian dari pihak yang membantu melakukan perbuatan merupakan bentuk pencegahan dalam kerangka mengantisipasi delik hukum pajak. Tidak dapat dipungkiri bahwa akuntan publik dan konsultan pajak sangat berperan terhadap wajib pajak, termasuk kegiatan untuk membantu melakukan perbuatan yang mengarah kepada delik hukum perpajakan.
Peranan dan perbuatan yang dapat dilakukan oleh Pihak Ketiga dalam melakukan tindak pidana penyertaan di bidang pajak ini dapat membantu wajib pajak berbuat atau tidak berbuat sebagaimana yang diatur oleh Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pasal 39, Pasal 39 A, Pasal 41 A dan Pasal 41 B.

















DAFTAR PUSTAKA

Adami Chazawi, 2002, Percobaan dan Penyertaan Pelajaran Hukum Pidana , PT. RadjaGrafindo Persada, Jakarta.
Leden Marpaung, 2005, Asas-Teori –Praktek Hukum Pidana , Sinar Grafika, Jakarta.
Muhammad Djafar Saidi & Eka Merdekawati Djafar,2011, Kejahatan Di Bidang Perpajakan, PT. RadjaGrafindo Persada, Jakarta.
Marihot Pahala Siahaan, 2010, Hukum Pajak Elementer Konsep Dasar Perpajakan Indonesia, Graha Ilmu, Yogyakarta.
Zainal Abidin Farid, A, & A. Hamzah, 2006, Bentuk-Bentuk Khusus Perwujudan Delik ( Percobaan, Penyertaan, dan Gabungan Delik ) Dan Hukum Penitensier, PT. RadjaGrafindo Persada, Jakarta.
Y. Sri Pudyatmoko, 2009 (edisi Revisi), Pengadilan dan Penyelesaian Sengketa Di Bidang Pajak, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
R, Soesilo, 1996, Kitab Undang – Undang Hukum Pidana, Politea Bogor,
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah beberapa kali dan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Perubahan Undang-Undang ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.