Kamis, 03 November 2011

ANALISIS HUKUM PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 10 TAHUN 1983 JO. PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 45 TAHUN 1990 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan adalah salah satu peristiwa yang sangat penting dalam penghidupan masyarakat kita ; sebab perkawinan itu tidak hanya menyangkut wanita dan pria bakal mempelai saja, tetapi juga orang tua kedua belah pihak, saudara-saudaranya, bahkan keluarga-keluarga mereka masing-masing. ( Soerjono Wignjodipoero, 1990 : 122).
Pasal 1 Undang- Undang Perkawinan menyebutkan bahkan Perkawinan ialah :
“ ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” .

Apabila pengertian perkawinan tersebut di atas di telaah lebih lanjut, maka ada lima unsur yang terkandung didalamnya yaitu :
1. Ikatan lahir batin ;
Ikatan itu tidak hanya cukup dengan ikatan lahir atau batin saja, akan tetapi kedua-duanya harus terpadu erat. Suatu ikatan lahir merupakan ikatan yang dapat dilihat dan mengungkapkan adanya hubungan hukum antara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami isteri ( hubungan formal). Hubungan formal ini nyata, baik bagi pihak-pihak yang mengikatkan dirinya maupun bagi pihak ketiga. Sebaliknya suatu ikatan batin merupakan suatu hubungan yang tidak formal, suatu ikatan yang tidak nampak, tidak nyata, yang hanya dapat dirasakan oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Ikatan batin inilah yang merupakan fondasi atau dasar dalam membentuk dan membina keluarga yang bahagia.
2. Antara seorang pria dengan seorang wanita ;
Ikatan perkawinan hanya boleh terjadi antara seorang pria dan seorang wanita. Dengan demikian,perkawinan itu akan terjadi apabila ada dua jenis kelamin yang menyatakan kehendaknya untuk bersatu dalam membentuk keluarga (rumah tangga). Perkawinan tidak akan terjadi atau tidak dapat dilangsungkan apabila antara seorang wanita dengan wanita atau sebaliknya antara seorang laki-laki dengan laki-laki.
3. Sebagai suami isteri ;
Seorang laki-laki dan seorang wanita yang akan hidup bersama sebagai suami isteri yang diikat oleh tali perkawinan itu baru dapat dianggap sah apabila telah memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang, baik syarat-syarat intern yang meliputi perkawinan itu harus didasarkan atas persetujuan kedua belah pihak, mendapat izin dari kedua orang tua apabila kedua calon mempelai belum berumur 21 tahun, bagi pria harus berumur 19 tahun dan bagi wanita harus berumur 16 tahun kecuali ada dispensasi dari pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua belah pihak, kedua belah pihak harus dalam keadaan tidak kawin, kecuali bagi mereka yang agamanya mengizinkan untuk berpoligami, dan bagi seorang wanita yang akan melakukan perkawinan untuk kedua kalinya dan seterunya harus menunggu masa iddah sekurang-kurangnya 90 (sembilanpuluh ) hari bagi yang putus perkawinannya karena perceraian dan 130 (seratus tiga puluh ) hari bagi mereka yang putus perkawinannya karena kematian suaminya.
Sedangkan syarat-syarat eksternnya adalah harus membuat laporan , pengumuman, pencegahan dan pelangsungan perkawinan.
4. Membentuk keluarga ( rumah tangga ) yang bahagia dan kekal ;
Yang dimaksud dengan keluarga disini adalah satu kesatuan yang terdiri atas ayah, ibu, dan anak atau anak-anak yang merupakan sendi dasar susunan masyarakat Indonesia. Dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat , sangat penting artinya kesejahteraan dan kebahagiaan keluarga karena kebahagiaan masyarakat terbentuk atas kebahagiaan dan kesejahteraan keluarga (rumah tangga).

5. Berdasarkan ke Tuhanan Yang Maha Esa.
Sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila, yang sila pertamanya adalah Ke Tuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan erat dengan agama/kerokhanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir atau jasmani, akan tetapi unsur batin/rokhani juga mempunyai peranan penting.
Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa :

Perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat ata miitsaaaqon gholiidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Dengan tujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah” ( pasal 2 KHI).

Perkawinan yang dalam istilah agama disebut “Nikah” ialah :
Melakukan suatu aqad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antara keduabelah pihak, dengan dasar suka dan keridhoaan kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman dengan cara-cara yang diridhoi oleh Allah. ( Ahmad Azhar, 1977 : 10).

Sedangkan menurut Hukum Barat atau peradaban Barat bahwa Perkawinan itu
Adalah persekutuan hidup antara seorang pria dan seorang wanita yang dikukuhkan secara formal dengan undang-undang (yaitu yuridis dan kebanyakan juga “religious”, menurut tujuan suami - isteri dan undang-undang, dan dilakukan untuk selama hidupnya menurut pengertian lembaga perkawinan. ( R. Soetojo Prawirohamidjojo, 2006 : 22 ).

Undang – undang Perkawinan bermaksud untuk melakukan unifikasi dalam bidang hukum perkawinan tanpa menghilangkan kebinekaan yang masih harus dipertahankan, karena masih berlakunya dan dianutnya bermacam-macam hukum perkawinan dalam masyarakat Indonesia seperti hukum Islam dan hukum adat. Hal ini pun pada dasarnya diakomodir atau dibenarkan oleh Undang-undang perkawinan Nasional karena didalam ketentuan pasal 2 dijelaskan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu, asalkan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ini berarti bahwa yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini, artinya kebebasan dimaksud adalah terbatas sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang perkawinan nasional.
Secara umum Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 menentukan bahwa dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
Pengadilan dimaksud hanya akan memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila :
a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri ;
b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan ;
c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, maka harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. Adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri ;
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka ;
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
Persetujuan dari isteri/isteri-isteri tidak diperlukan bagi seorang suami, apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada khabar dari isterinya selama sekurang – kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.
Perkawinan atau pernikahan adalah sesuatu yang suci dan sakral. Dan untuk itulah perlu diatur dan ditata dengan sebaik-baiknya agar tujuan perkawinan atau pernikahan itu dapat tercapai /terwujud. Tanpa adanya aturan dan ketentuan yang mengatur secara jelas dan tegas baik mengenai syarat sahnya dan batalnya suatu perkawinan/pernikahan, tata cara atau prosedur, syarat-syarat perkawinan, larangan atau hal-hal apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan hak dan kewajiban suami isteri maka tentunya tujuan atau kesakralan dari suatu perkawinan atau pernikahan itu tidak akan terwujud atau tercapai bahkan akan melanggar ketentuan baik ketentuan agama maupun ketentuan hukum Negara.
Apabila ditelaah dan dianlisis lebih jauh ketentuan dan syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 maupun ketentuan lain menyangkut perkawinan ini, maka seorang suami yang ingin melakukan perkawinan lebih dari seorang isteri sungguh sangatlah berat dan ketat.
Prinsip atau azas yang dianut oleh pasal 3 Undang-undang Perkawinan ini terkadang dilanggar atau tidak dipatuhi oleh masyarakat. Hal ini terbukti masih adanya seorang laki-laki atau seorang suami yang hendak kawin lagi atau menikah lebih dari satu kali atau berkeinginan memiliki isteri lebih dari seorang. Perbuatan ini tentunya adalah merupakan bentuk penyimpangan dari ketatnya kriteria dan syarat yang ditetapkan oleh undang-undang itu sendiri.
Poligami pada dasarnya telah ada sejak manusia itu ada, dan ketentuannyapun sudah pasti tunduk pada hukum adat atau menurut kepercayannya masing-masing. Setelah berlakunya undang-undang ini perkawinan poligami masih dijumpai pula dengan frekuensi yang tidak besar, tentunya dengan berbagai macam alasan atau dasar yang kadang-kadang berada diluar ketentuan undang-undang ini, misalnya seorang suami menghamili seorang gadis, sehingga terpaksa diberikan izin oleh isteri.
Perkawinan poligami tentunya bukan saja menjadi milik dan atau dilakukan oleh masyarakat kebanyakan tetapi juga terkadang dilakukan atau dipraktekkan oleh seorang suami yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS), baik militer maupun sipil. Hanya saja bagi mereka yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) itu untuk melakukan perkawinan poligami harus tunduk dan taat pada ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang dikhususkan untuk itu yaitu ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagaimana yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990. Didalam ketentuan dan peraturan termaksud telah diatur mengenai tata cara, prosedur, syarat-syarat, dan lain sebagainya .
Praktek atau perbuatan semacam ini masih ada dalam masyarakat kita di Indonesia. Dan kalaupun praktek perkawinan poligami ini dilakukan sesuai dengan perintah dan syarat-syarat yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah pekawinan maka tentu saja hal tersebut tidak akan membawa implikasi hukum yang buruk dan itu akan sah-sah saja.
Yang menjadi persoalan adalah bagaimana jika praktek poligami itu tidak didasarkan pada ketentuan dan aturan hukum yang berlaku untuk itu ?. Apalagi kalau hal tersebut dilakukan atau dipraktekkan oleh seorang laki-laki yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS), tentulah hal tersebut akan berimplikasi hukum yang tidak baik dan dapat merugikan baik dirinya sendiri maupun terhadap wanita yang dinikahinya.
Dalam kenyataannya praktek perkawinan poligami masih saja dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS) dihampir semua daerah di Indonesia, dan hal yang samapun penulis masih menemukannya di daerah atau di Kabupaten . Dan untuk mengetahui bagaimana Praktek perkawinan poligami termaksud antara apa yang seharusnya dan apa yang senyatanya (kenyataannya) terjadi maka penulis memlilih dan menetapkan judul tesis ini adalah : ” ANALISIS HUKUM PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 10 TAHUN 1983 JO. PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 45 TAHUN 1990 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL
B. Rumusan Masalah
1. Apakah prosedur perizinan bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang ingin melakukan perkawinan dan perceraian di lingkup Pemerintah Kabupaten Takalar berjalan efektif dan telah sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Jo Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990? ;
2. Faktor-faktor apakah yang berpengaruh dalam pelaksanaan izin perkawinan dan perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS)
3. Bagaimana bentuk sanksi menurut ketentuan peraturan perundang-undangan dan atau sanksi yang diberikan oleh atasannya terhadap seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) apabila melakukan perkawinan dan perceraian diluar ketentuan yang telah ditetapkan;
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Berkaitan dengan permasalahan atau rumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, pada hakekatnya penelitian ini bertujuan :
1. Untuk mengetahui tingkat kepatuhan terhadap tata cara dan prosedur perizinan untuk perkawinan dan perceraian sebagaimana yang diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Jo Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) . .
2. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi dalam permohonan dan pemberian perizinan kepada Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang akan melakukan perkawinan dan perceraian ..
3. Untuk mengetahui penerapan sanksi yang diberikan oleh pemerintah Kabupaten Takalar terhadap Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang melakukan perkawinan dan perceraian.
Sedangkan Kegunaan dari penelitian ini antara lain :
1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan referensi atau masukan bagi pengembangan ilmu hukum perkawinan Indonesia ,khususnya mengenai penerapan dan efektifitas dari Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974 , Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 serta Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980, karena kenyataan masih banyak Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang mempraktekkan atau melakukan perkawinan dan percerian yang tidak berdasarkan kedua peraturan pemerintah tersebut. Hukum perkawinan tidak hanya merupakan masalah yuridis semata-mata , akan tetapi juga masalah keagamaan dan kemasyarakatan. Oleh karena ittu pemikiran-pemikiran hukum mengenai perkawinan dan perceraian harus juga memperhatikan aspek-aspek keagamaan dan kemasyarakatan.
2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada segenap unsur pelaksana pemerintah didalam melaksanakan ketentuan dan aturan perkawinan dan perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) serta untuk lebih memahami dan mentaati Undang-Undang Perkawinan dan atau peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku terutama mengenai perkawinan dan perceraian, sehingga penerapan dan atau pemberian sanksi bagi yang melanggar ketentuan perundang-undangan dapat diberikan secara adil dan efektif .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar