Jumat, 27 Mei 2011

Kematian Muwaris, menurut ulama, dibedakan ke dalam 3 macam yaitu :
a. Mati haqiqy (sejati) ;
b. Mati hukmy ( menurut putusan hakim) dan;
c. Mati taqdiry (menurut dugaan).
 Mati haqiqy adalah kematian yang dapat disaksikan oleh panca indra
 Mati hukmy adalah kematian yang disebabkan adanya putusan hakim, baik orangnya masih hidup maupun sudah mati.
 Mati taqdiry adalah kematian yang didasarkan pada dugaan yang kuat bahwa orang yang bersangkutan telah mati.
Menurut Prof. Dr. H. R. Otje Salman S., S.H. & Mustofa Haffas, S.H. dalam bukunya Hukum Waris Islam pada halaman 5, menjelaskan bahwa :
Mati mafqud terjadi dalam hal keberadaan seorang waris tidak diketahui secara pasti apakah masih hidup atau sudah mati ketika muwaris meninggal dunia. Dalam hal terjadi kasus seperti itu maka pembagian waris dilakukan dengan cara memandang si mafqud tersebut masih hidup. Itu dilakukan untuk menjaga hak si mafqud jika ternyata dia masih hidup. Jika dalam tenggang waktu yang masih patut ternyata si mafqud tersebut tidak datang, sehingga dia dapat diduga telah mati, maka bagiannya tersebut di bagi diantara para ahli waris lainnya sesuai dengan perbandingan masing-masing.
Sejalan dengan itu H. Hasbiyallah, M. Ag dalam bukunya Belajar Mudah Ilmu Waris halaman 91 menjelaskan bahwa :
Mafqud adalah orang yang sudah lama pergi meninggalkan tempat tinggalnya dan tidak diketahui kabar beritanya, domisilinya bahkan tidak diketahui hidup dan matinya. Pewarisan mafqud disebut dengan miratsu t-taqdiriy, yaitu pusaka dengan jalan perkiraan, seperti pusaka khunsa dan anak kandungan.
Mafqud perlu dibedakan apakah sebagai muwarrits atau warits. Jika mafqud sebagai muwaffits, maka ulama sepakat bahwa harta milik mafqud itu harus ditahan lebih dahulu sampai ada berita yang jelas bahwa ia benar-benar meninggal dunia. Dan jika sebagai warits , mayoritas ulama berpendapat bahwa bagian mafqud yang akan diterima ditahan dulu, sampai jelas persoalannya.
Para ulama memperselisihkan waktu diputuskan kematian mafqud. Imam Abu Hanifah, Imam Syafii berpendapat bahwa mafqud boleh diputuskan kematiannya oleh hakim bila sudah tidak ada seorangpun dari kawannnya yang masih hidup. Sedangkan Imam Malik menetapkan bahwa waktu yang diperbolehkan bagi hakim yang memberi vonis kematian mafqud selama 4 (empat) tahun.
Sedangkan menurut H.M. Idris Ramulyo, S.H., M.H. dalam bukunya Perbandingan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Edisi Revisi) halaman 89 menjelaskan bahwa :
Sesorang hilang tanpa berita dan tidak tentu di mana alamat dan tempat tinggalnya selama empat tahun atau lebih maka orang tersebut dianggap mati dengan hukum mati hukmi yang sendirinya tidak dapat mewaris (mafqud) . menyatakan mati tersebut harus dengan putusan hakim.
Selain itu Ahmad Hanafi, MA dalam bukunya Pengantar dan Sejarah Hukum Islam halaman 226 menyatakan bahwa :
Apabila orang yang hilang pada galibnya sudah meninggal, maka ia diputuskan matinya sesudah lewat empat puluh tahun sejak hilangnya. Kalau tidak demikian maka penentuan masa tersebut diserahkan kepada hakim.
Sesudah ada keputusan tentang meninggalnya , isteri menjalani iddah kematian, yaitu empat bulan sepuluh hari, kemudian hartanya dibagikan kepada ahli warisnya yang masih ada pada waktu dikelaurkannya keputusan. Ketentuan tersebut diambil dari mazhab Hambali dan Maliki juga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar