Kamis, 11 November 2010

ANALISIS PERBEDAAN ANTARA PARATE EXECUTIE MENURUT UNDANG-UNDANG HAK TANGGUNGAN DENGAN UNDANG-UNDANG JAMINAN FIDUSIA

Bahwa sebagai perwujudan dari kedudukan yang diutamakan yang dipunyai oleh pemegang Hak Tanggungan atau pemegang Hak Tanggungan Pertama dalam hal terdapat lebih dari satu pemegang hak tanggungan apabila Debitor Cidera janji adalah dengan melakukan Parate Executie yang merupakan kemudahan yang diberikan oleh undang-undang.
Parate Executie adalah kewenangan untuk menjual atas kekuasaan sendiri barang yang menjadi obyek jaminan kalau debitor cidera janji tanpa harus meminta fiat (persetujuan) dari Ketua Pengadilan.
Di dalam Undang-Undang Hak Tanggungan (Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 ) dan Undang-Undang Jaminan Fidusia (Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 ) masing-masing telah mengatur mengenai Parate Executie ini.
Dalam UUHT yang mengatur mengenai Lembaga Parate Executie ini adalah pasal 6 yang berbunyi sebagai berikut : “ Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut “.
Sedangkan dasar berpijaknya untuk melakukan eksekusi adalah pasal 20 ayat 1 huruf a
Dengan demikian unsur-unsur esensi dalam pasal tersebut adalah :
1. Debitor cidera janji
2. Kreditor Pemegang Hak Tanggungan pertama diberi hak
3. Hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri
4. Syarat penjualan melalui pelelangan umum
5. Hak Kreditor mengambilpelunasan piutangnya fdari hasilpenjualan
6. Hak kreditor mengambil pelunasan piutangnya sebatas hak tagih.


Hal lain yang perlu dikaji adalah ketentuan pasal 11 ayat 2 yang menyebiutkan bahwa “ Dalam Akta Pembrian Hak Ytanggungan dapat dicantumkan janji – janji , antara lain janji bahwa pemegang hak tanggungtan pertanma mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendir objekl hak tangungan apanbila debituor cidea janji.
Ketentuan ini /kewenanagan ini sebenanrya yidak perlu lagi divantumkan /diperjanjiankan dalam APHT, karena xsecara hokum hak untuk menjual objek hakj tanggungan atas ekuasaan sendiri telah diberikan kepafa pemeganga hak tanggungan pertama melaui ketentuan pasal 6.
Sungguh siuat hal yang aneh kalau pembuat undang-undang memberika kesempatan keada pemegang hak tanggingan untuk dalam APHT memperjanjikan hak untuk , dalam hal debitur cidea janji menjual objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri, karena parate eksekusi itu sendiri pada dasarnya adalah ex legi dalam pasal 6 UUHT bukan berdasarkan janji

Didalam undfang-undang jamina fidusia terdapat dua pengatura yang mubazir mengenai parate eksekusinini yaitu ketyentuan pasal 15 ayat 3 dan ketentuan pasal 29 ayat 1 hurf b.
Hal ini tidak sama dengan pengaturan parate eksesui yang ada lama UUHT yang memberikan hak kepada pemengan hak tanggungan pertama dengan kekuasaannya sendiri untuk menjualbenda yang menjai objek hak tanggungan dan meletakkan dasar pelaksanaan eksekusinya pada [pasal 20 ayat 1 huruf a. jadi hanya satu pasal saja .

Dalam UUJF parate eksekusi bukan janji melainkan hak yang diberikan oleh Undang-unfang.
Seangkan dalam UUHT itu merupaan janji dan juga ex legi (pemberian UU).




Dalam pasal 15 ayat 3 dari UUJF menyatakan bahwa “ Apabila debitor cedera janji, Penerima Fidusia mempunyai hak untuk menjual Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuatannya sendiri “
Dalam padsalini tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai cara melaksanakan eksekusi, hanya meletakkan hak bagi Kreditor untuk menjual benda yang menjadi objek jaminan fidussia atas kekuatannya sendiri. Ketentuan ini ditindak lanjuti oleh pasal 29 ayat 1 sub b yang menyatakan bahwa “penjualan benda yang menjadiobjek Jaminan fidusia atas kekuasaan penerima Fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan.

Dengan adanya ketentuanini secara hokum, undang-unfdang memberikan hak atau wewenang kepada kreditor (peenrima fidusia) atas kekuasaannya sendiri (parate eksekusi) untuk menjualbenada yang menjadi objek jaminan fidusia guna mendapatkan pelunasan piutangnya. Artinya tanpa meminta bantuan Ketua atau juru sita dari pengadilan negeri yangb ersnahgkytan, kreditor dapat meminta bantuan dari Kantor Lelamg Umum untuk melakukan penjuala secara umum atau elang atas benada yang menahao objek jaminan fiduais.
Bahwa dengan adanya ketentuan pasal 29ayat 1 sub c berarti juga diberikan kemungkinan kepada penriam jaminan fidussia untuk menjual sendiri benda yang menjadiobjek jaminan fidusisa (parate eksesiki) melalui cara dibawah tangan, bilamana pihak kreditiro memandabnag bahwa penjualan melalui pelelangan dimuka umum kurang menguntunkan. Ini berarti parate eksekusi atas objek jaminan fidusia bukan hanya satu-saunya melalui pelelangan secara umum tapi juga bias dilakkukan melaui penjualan di bawah tangan asalkan dilakukan berdasarka kesepakatan antara pemberi dan pemenriam fidudi, dapat memperoleh keuntungan /harga yang tertinggi yang menguntungkan para pihak.

Jadi perbedaan antara UUJF dengan UUHT adalah terletak pada unsure JANJI ; yang mana dalam UUHT pelaksaan parate eksekusi itu harius dicantumkan secara jelas dan tegas mengenai janji yang berkenaan dengan pelaksanaan parate eksesusi apabila Debitor cidera janji, dia tidak berdiri sendiri. sedangkan dalam UUJF tidak didapat hal tersebut. Parate eksekusi dalam UUJF diperoleh atas pemberian Undang-Undang.
Pada dasarnya dalam UUHT juga parate eksesui ini diperoleh atas pemberian undang-undang ( ex legi ), namun hal itu masih harus diikuti lagi dengan penegasan berlakunya /penerapan dengan janji yang harus dicantumkan secara jelas dan tegas dalam APHT.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar