PERBANDINGAN HUKUM
Perbandingan hukum sebagai metode penelitian dan sebagai ilmu pengetahuan usianya masih relatif muda. Namun demikian manfaatnya semakin dirasakan.
Perbandingan hukum mempunyai banyak kegunaan, manfaat serta fungsinya tidak kecil bagi berbagai bidang antara lain :
a. Berfungsi bagi pengembangan ilmu hukum di Indonesia ;
b. Berfungsi bagi praktik dan pembinaan hukum ;
c. Berfungsi dalam rangka perencanaan hukum.
Perbandingan hukum baru berkembang secara nyata pada akhir abad ke 19 atau permulaan abad ke 20. Lebih-lebih pada saat sekarang di mana Negara-negara di dunia mempunyai saling ketergantungan antara Negara yang satu dengan Negara yang lain dan saling membutuhkan hubungan yang erat. Perbandingan hukum menjadi lebih diperlukan karena :
a. Dengan perbandingan hukum dapat diketahui jiwa serta pandangan hidup bangsa lain termasuk hukumnya ;
b. Dengan saling mengetahui hukumnya , sengketa dan kesalahpahaman dapat dihindari , bahkan dapat “ untuk mencapai perdamaian dunia”.
Dengan demikian jelaslah bahwa tujuan perbandingan hukum tidak semata-mata untuk mengetahui perbedaan dan persamaannya saja, tetapi jauh dari itu ialah untuk mengetahui sebab-sebab dan faktor-faktor yang mempengaruhi persamaan dan perbedaan daripada system-sistem hukum yang diperbandingkan.
Seperti yang tersebut di atas bahwa hakikat dari tujuan perbandingan hukum antara lain adalah untuk mengetahui adanya perbedaan-perbedaan dan titik-titik persamaan dalam hukum yang diperbandingkan. Secara luas dapat dikatakan bahwa perbedaan dan persamaan itu ialah karena hukum merupakan bagian dari kebudayaan bangsa.
Hukum adalah gejala sosial dan merupakan bagian dari kebudayaan bangsa. Tiap bangsa mempunyai kebudayaan sendiri yang berbeda dengan kebudayaan bangsa lainnya dan akhirnya membuahkan hukum tersendiri, sehingga system hukum dari Negara yang satu akan berbeda dengan system hukum bangsa yang lain. Misalnya Sistem Hukum Indonesia tidak akan sama dengan system hukum di Inggris, karena Negara Indoenesia menganut system eropa continental yang berasal dari Negara Eropa yaitu Belanda dan Inggris menganut system hukum Anglo saxson.
Adanya perbedaan termaksud disebabkan oleh karena hukum merupakan gejala sosial dan merupakan bagian dari kebudayaan bangsa.Setiap bangsa mempunyai sistem hukumnya sendiri. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa yang menyebabkan perbedaan adalah iklim, lingkungan, pandangan hidup, polaa politik dan lain sebagainya.
Sedangkan persamaan disebabkan oleh karena adanya rasa hukum dan rasa keadilan yang sama.
Untuk lebih memahami dan mendalami mengenai perbandingan hukum ini pemakalah akan memaparkan beberapa contoh dari perbedaan system hukum dan cara pandang dari system hukum itu sendiri yaitu antara lain mengenai masalah :
1. Mengenai eksistensi harta bersama menurut Undaang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dengan Kompilasi Hukum Islam .
Asas equalitas yang dipancangkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menentukan bahwa hak dan kedudukan isteri sama dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan masyarakat, seperti yang tertuang pada point 4 huruf f, Penjelasan umum Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan :
“ hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami isteri”.
Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Bab VII yang mengatur tentang Harta Benda Dalam Perkawinan yaitu Pasal 35, 36, dan 37 menyatakan bahwa proses pengelolaan harta bersama adalah :
a. Pasal 35
(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
(2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan , adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Sedangkan menurut penjelasannya apabila perkawinan putus maka harta bersama tersebut diatur menurut hukumnya masing-masing.
b. Pasal 36
(1) Mengenai harta bersama , suami isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
(2) Mengenai harta bawaan masing-masing , suami isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
c. Pasal 37
Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.
Menurut penjelasan Pasal 37 bahwa Yang dimaksud dengan “hukumnya” masing-masing ialah hukum agama, hukum adat, dan hukum – hukum lainnya.
Pada ketentuan Pasal 35 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jelas terbaca bahwa harta dalam perkawinan itu terdiri dari harta bersama dan harta bawaan.
Harta Bersama adalah harta benda yang diperoleh selama ikatan perkawinan berlangsung dan oleh karena itu ia menjadi milik bersama suami / isteri. Karena demikian sifatnya, maka terhadap harta bersama suami/isteri dapat bertindak hanya atas persetujuan bersama.
Harta Bawaan adalah harta yang diperoleh masing-masing suami/isteri sebagai hadiah atau warisan selama dalam ikatan perkawinan , dan oleh karena itu ia menjadi hak dan dikuasai sepenuhnya oleh masing-masing suami/isteri.
Pengaturan harta bersama yang demikian sesuai dengan hukum adat, di mana dalam hukum adat itu dibedakan antara barang gono-gini yang menajdi milik bersama suami-isteri, dan barang –barang gawan yang tetap menjadi milik masing-masing pihak suami-isteri. Diikutinya system hukum adat oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagai hukum nasional adalah sebagai konsekuensi dari politik hukum Indonesia yang telah menggariskan bahwa pembangunan hukum nasional haruslah berdasarkan hukum adat sebagai hukum kepribadian bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
Sedangkan menurut konsep Kompilasi Hukum Islam, bahwa soal harta bersama itu diatur secara lebih enumerative, mulai Pasal 85 sampai dengan Pasal 97. Selain itu , dalam KHI juga telah didefinisikan secara gambling mengenai apa yang dimaksud dengan harta bersama seperti yang termuat dalam pasal 1 huruf f, yakni :
“ Harta kekayaan dalam perkawinan atau syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama-sama suami-isteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung, dan selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun”.
Adapun pengaturan harta bersama secara lebih lanjut, KHI menyatakan :
a. Pasal 85
Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau isteri
b. Pasal 86
(1) Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri karena perkawinan
(2) Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya
c. Pasal 87
(1) Harta bawaaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing, seoanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan
(2) Suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan hukum atas masing-masing berupa hibah, sadaqah atau lainnya.
d. Pasal 88
Apabila terjadi perselisihan antara suami isteri tentang harta bersama maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama.
e. Pasal 89
Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama , harta isteri maupun hartanya sendiri
f. Pasal 90
Isteri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama , maupun harta suami yang ada padanya
g. Pasal 91
(1) Harat bersama sebagaimana tersebut dalam pasal 85 di atas dapat berupa benda berwujud atau tidak berwujud
(2) Harta bersama yang tidak berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak , benda bergerak dan surat-surat berharga
(3) Harta bersama tidak berwujud dapat berupa hak maupun kewajiban
(4) Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lainnya
h. Pasal 92
Suami atau Isteri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama
i. Pasal 93
(1) Pertanggungjawaban terhadap hutang suami atau isteri dibebankan pada hartanya masing-masing
(2) Pertanggungjawaban terhadap hutang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga , dibebankan pada harta bersama
(3) Bila harta bersama tidak mencukupi , dibebankan pada harta suami
(4) Bila harta suami tidak ada atau tidak mencukupi dibebankan kepada harta isteri
j. Pasal 94
(1) Harat bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang, masing-masing terpisah dan berdiri sendiri
(2) Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai lebih dari seorang sebagaimana tersebut ayat (1) , dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga atau yang keempat
k. Pasal 95
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 24 ayat (2) huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 136 ayat (2) , suami atau isteri dapat meminta Pengadilan Agama untuk meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai , apabila salah satu melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama seperti judi, mabuk, boros, dan sebagainya
(2) Selama masa sita dapat dilakukan penjualan atas harta bersama untuk kepentingan keluarga dengan izin Pengadilan Agama
l. Pasal 96
(1) Apabila terjadi cerai mati, maka separoh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama
(2) Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau isteri yang isterinya atau suaminya hilang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar keputusan Pengadilan Agama.
m. Pasal 97
Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan
2. Mengenai Adopsi/Pengangkatan Anak
Dalam hal ini akan dikemukan prinsip anak angkat menurut Hukum Islam dan Hukum Adat dan KUHPerdata Belanda.
a. Menurut Hukum Islam
Anak angkat dalam arti memelihara, mendidik dan mengasuh seseorang anak orang lain adalah sangat dianjurkan dalam islam. Tetapi penamaan anak angkat tidak menjadikan seseorang menjadi mempunyai hubungan dengan seseorang lain seperti hubungan yang terdapat dalam hubungan darah. Oleh karena itu , penamaan dan penyebutan anak angkat tidak diakui dalam hukum Islam untuk dijadikan sebagai dasar dan sebab mewaris, karena prinsip pokok dalam kewarisan adalah hubungan darah atau arham.
Hubungan antara anak angkat dengan orang yang mengangkatnya bukanlah hubungan anak sulbi. Anak sulbi asalnya anak shulbi artinya ialah anak kandung yang berasal dari sumsum tulang sulbi atau tulang punggung kamu.
Jadi dalam hukum islam pada prinsipnya anak angkat itu tidak dilarang sepanjang hal itu menyangkut memelihara, mendidik dan mengasuhnya akan tetapi anak angkat itu tidak dikenal bila dihubungkan atau dikaitkan dengan kedudukan hukumnya dalam hal ini apabila menjadi ahli waris atau memperoleh kewarisan.
b. Menurut Hukum Adat
Dalam hukum adat justeru anak angkat atau pengangkatan anak ini diakuli dan harus dilakukan secara jelas, tegas dan terang atau tunai, yaitu dilakukan dengan upacara-upacara adat. Hal ini berkaitan dengan hubungan atau kedudukan hukum antara anak angkat dengan orang tua angkat serta orang tua kandungnya.
Dalam masyarakat hukum adat , dengan pengangkatan anak, maka putuslah hubungan keluarga antara anak tersebut dengan orang tua kandungnya. Dalam hal pewarisan anak tersebut mewaris dari orang tua angkatnya seperti halnya anak kandung. Jadi kedudukan hukum antara anak angkat dengan anak kandung sama dalam hal pewarisan.
c. Menurut KUHPerdata Barat
KUHPerdata Belanda yang lama tidak mengenal lembaga adopsi sehingga KUHPerdata Indonesia pun tidak mengenalnay meskipun Code Civil Prancis mengenal adopsi. Halini disebabkan karena pandangan orang-orang Belanda yang menganggap anak hanya mereka yang berhubungan darah semata-mata. Akan tetapi , perkembangan selanjutnya adalah bahwa adopsi sudah dikenal dalam KUH Perdata Belanda yang baru yaitu sejak tahun 1956.
3. Mengenai putusnya perkawinan ;
a. Menurut Hukum Adat
Dengan putusnya perkawinan ,maka bekas isteri adalah bebas untuk kawin lagi. Ia tidak dapat menuntut keprluan hidup dari bekas suaminya; sebaliknya bagi mereka yang beragam Kristen , menurut ketentuan pasal 62 H.O.C.I., ia dapat menuntut keperluan hidup dari suaminya melalui pengadilan.
Anak-anak yang masih menyusu (dibawah 2/3 tahun) selalu mengikuti ibunya. Sesudah itu, tempat mereka bergantung pada system kekerabatan masing-masing.
b. Menurut Hukum Islam
1. Akibat putusnya perkawinan karena meninggalnya suami atau isteri adalah sebagai berikut :
Suami ditinggal mati oleh isterinya dapat secara langsung melakukan perkawinan dengan wanita lain karena tiada iddah bagi bekas suami;
Suami dapat menerima warisan dari harta peninggalan isteri;
Suami wajib bertanggung jawab terhadap berlangsungnya pemeliharaan, pengurusan dan pengasuhan anak-anak;
Sebaliknya, isteri yang ditinggal mati suaminya baru boleh kawin lagi setelah iddahnya selesai;
Isteri wajib menjalani iddah menurut ketentuan yang berlaku;
Juga berhak mewaris harta peninggalan mendiang suaminya;
Isteri wajib melanjutkan pemeliharaan , pengurusan, pengasuhan, dan pemeliharaan anak-amaknya yang ditinggalkan mati suaminya.
2. Akibat putusnya perkawinan karena talak ba’in kecil adalah sebagai berikut ;
Ikatan perkawinan menjadi putus , maka putus pula hak dan kewajiban mereka sebagai suami dan isteri;
Bila isterinya sedang dalam keadaan hamil , maka ia berhak atas tempat tinggal dan keperluan hidup dari bekas suaminya selama menjalani iddahnya, yaitu sampai me;ahirkan anaknya;
Jika bekas isteri tiak dalam keadaan hamil , maka bekas isteri itu berhak atas keperluan hidup, baik dalam menjalani masa iddahnya maupun masa-masa berikutnya;
Hak memperoleh keperluan hidup selama dalam keadaan hamil menjadi gugur , bilamana yang bersangkutan meninggalkan tempat tinggal yang ditunjuk oleh bekas suami tanpa alasan yang dapat dibenarkan;
Bila bekas isteri menjalani iddahnya akibat talak ba’in yang diduga tidak hamil, sehingga tidak ditetapkan hak keperluan hidup dan tempat tinggal baginya selama iddah, kemudian terbukti bahwa ia hamil, maka sejak diketahuinya kehamilan tersebut bekas isteri berhak atas keperluan hidup dan tempat tinggal dari bekas suaminya dan diperhitungkan berlaku surut sejak dijatuhkannya talak;
Jika bekas isteri menjalani iddahnya akibat talak ba’in mengakui dirinya hamil, oleh karena ia memperoleh keperluan hidup dan tempat tinggal dari bekas suaminya, kemudian tidak terbukti bahw ia tidak hamil, maka sejak saat itu hak atas keperluan hidup menjadi gugur , dan ketentuan inipun berlaku surut diperhitungkan sejak talak ba’in dijatuhkan;
Atas hak keperluan hidup dan tempat tinggal bekas isteri, jika kehamilan itu akibat wathi syubhat atau nihak fasid;
Hutang keperluan hidup dan mas kawin/mahar yang belum dibayar , bekas suaminya melunasinya;
Antara bekas suami dan isteri tidak dapat saling mewaris , walaupun kematian bekas suami atau bekas isteri dalam keadaan iddah.
3. Akibat putusnya perkawinan karena talak ba’in besar adalah sebagai berikut ;
Dalam kasus ba’in besar , bekas suami boleh mengawini kembali bekas isterinya, asalkan bekas isteri tersebut telah kawin dengan orang lain dengan syarat telah pernah disetubuhi dan kemudian bercerai secara wajar, dan ia telah selesai menjalani iddahnya dari suami kedua itu;
Dalam kasus talak ba’in besar yang diakibatkan terjadinya li’an maka antara bekas suami isteri tersebut dilarang kawain lagi (hukumnya haram)
Bekas isteri tiada memperoleh keperluan hidup maupun tempat tinggal bekas suaminya, sebab dalam kasus ini tidak ada kemungkinan untuk kawin kembali secara langsung.
c. Menurut BW
Dengan putusnya perkawinan , maka semua akibat perkawinan, yaitu semua hak dan kewajiban , menjadi hapus sejak saat itu. Bekas isteri memperoleh kembali statusnya sebagai wanita yang tidak kawin.Kebersamaan/persatuan harta perkawinan menjadi terhenti dan tibalah saatnya untuk pemisahan dan pembagian. Kekuasaan orang tua juga menjadi terhenti dan diganti dengan perwalian.
Akan tetapi terhentinya akibat perkawinan itu tidak berlaku surut. Akibat perceraian itu baru timbul pada saat sampai terdaftarnya putusan pengadilan. Hal ini perlu diketahui dalam hubungannya dengan pemberian –pemberian karena perkawinan. Hanya ada pengecualian yang diatur dalam pasal 223 BW., yang mengatakan , bahwa terhadap pihak yang dikenai putusan perceraian, maka pihak itu kehilangan semua keuntungn yang disanggupkan pihak yang lain dalam masa perkawinan.
d. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 , mengenai akibat putusnya perkawinan diatur dalam pasal 41 yang berbunyi : “ Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak –anaknya semata-mata berdasarkan kepentingan anak ;bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak –anak pengadilan member keputusannya;
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya-biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.
Dari ketentuan tersebut di atas, meskipun perkawinan telah bubar baik ayah maupun ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anakanak mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar