Kamis, 18 November 2010

Sistem dan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia

1. Latar Belakang Masalah

Kehidupan manusia merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijalani oleh setiap manusia berdasarkan aturan kehidupan yang lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk menyebut segala sesuatu yang bersifat mengatur kehidupan manusia. Bekerjanya system norma bagi manusia adalah bagaikan pakaian hidup yang membuat manusia merasa aman dan nyaman dalam menjalani tugas hidupnya.

Salah satu norma yang menjadi aturan dalam hidup kita adalah norma hukum. Norma hukum adalah sistem aturan yang diciptakan oleh lembaga kenegaraan yang ditunjuk melalui mekanisme tertentu. Artinya, hukum diciptakan dan diberlakukan oleh institusi yang memang memiliki kompetensi atau kewenangan dalam membentuk dan memberlakukan hukum, yaitu badan legislative.

Istilah hukum di Indonesia sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari untuk menunjuk pada sistem norma yang berlaku dan atau diberlakukan di Indonesia. Hukum di Indonesia adalah hukum , sistem norma atau system aturan yang berlaku di Indonesia. Dengan kata lain yang juga popular digunakan , Hukum Indonesia adalah hukum posistif Indonesia.

Sistem hukum adaalah merupakan suatu seperangkat operasional yang meliputi institusi, prosedur, aturan hukum, dalam konteks ini ada satu Negara federal dengan lima puluh system hukum di Amerika Serikat, adanya system hukum setiap bangsa secara terpisah serta ada system hukum yang berbeda seperti haklnya dalam organsasi masyarakat Ekonomi Eropa dan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Negara hukum menghendaki segala tindakan atau perbuatan penguasa mempunyai dasar hukum yang jelas atau ada legalitasnya baik berdasarkan hukum tertulis maupun berdasarkan hukum tidak tertulis. Keabsahan Negara memerintah ada yang mengatakan bahwa karena Negara merupakan lembaga yang netral, tidak berpihak, berdiri diatas semua golongan masyarakat, dan mengabdi pada kepentingan umum. Namun dalam praktek tidak jarang istilah-istilah “demi kepentingan umum, pembangunan untuk seluruh masyarakat, Negara tidak mungkin mau mencelakakan warganya” serta ungkapan atau ucapak lain yang senada selalu dikumandangkan dalam pernyataan –pernyataan politik para petinggi Negara, dapat saja dipakai sebagai pembenaran terhadap penggunaan kekuasaan Negara untuk memaksa seseorang atau sekelompok warga agar bersedia memenuhi keinginan Negara.

Negara hukum pada dasarnya terutama bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum bagi rakyat. Oleh karenanya menurut Philipus M. Hardjon bahwa perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindak pemerintah dilandasi oleh dua prinsip ; prinsip hak asasi manusia dan prinsip Negara hukum. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia mendapat tempat utama dan dapat dikatakan sebagai tujuan daripada Negara hukum. Sebaliknya dalam Negara otoriter tidak ada tempat bagi hak asasi manusia.

Konsep Negara hukum sangat terkait dengan system hukum yang dianut oleh Negara yang bersangkutan. Dalam literature lama pada dasarnya system hukum di dunia ini dapat dibedakan dalam dua kelompok besar yaitu Sistem Hukum Kontinental dan Sistem Hukum anglo saxon.

Peradilan di Indonesia merupakan satu system, artinya peradilan di Indonesia harus dilihat , diterima dan diterapkan sebagai satu kesatuan yang tersendiri dari bagian-bagian yang tidak boleh bertentangan satu sama lain. Agar system itu terpelihara secara utuh, dibutuhkan penerapan asaa-asas hukum yang menjamin keutuhan system tadi.Sebagai contoh dikenal adanya asas res judicata proveri tate habetur, yang konsekuensinya adalah bahwa setiap putusan pengadilan harus dianggap sah sepanjang tidak dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi, dan bukan sebaliknya.

Dalam Pasal 24 Undang-Undang dasar 1945 sekarang (hasil amandemen) disebutkan bahwa :
(1) Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
(2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Sebagai pelaksanaan Pasal 24 Undang-Undang dasar 1945 tersebut dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam Pasal 10 ayat (1) disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan :
a. Peradilan Umum;
b. Peradilan Agama;
c. Peradilan Militer;
d. Peradilan Tata Usaha Negara.
Dengan demikian penyelenggaraan peradilan tata usaha Negara (peradilan administrasi ) di Indonesia merupakan suatu kehendak konstitusi dalam rangka memberikan perlindungan hukum terhadap rakyat secara maksimal.
Perlindungan hukum terhadap rakyat atas tindakan pemerintah tidak dapat ditampung oleh peradilan umum yang ada. Oleh karena itu diperlukan adanya suatu peradilan khusus yang dapat menyelsaikan madsalah tersebut, yakni, masalah sengketa antara pemerintah dengan rakyat. Peradilan ini dalam tradisi rechtstaat disebut dengan peradilan administrasi.
Dengan dasar dan dalih untuk melindungi kepentingan rakyat dan sebagai realisasi dari Undang-undang Dasar 1945 , maka lahirlah Peradilan Tata Usaha Negara yang bertugas dan berfungsi untuk menyelesaikan sengketa antara pemerintah dengan warga negaranya dan bertujuan untuk mengontrol secara yuridis tindakan pemerintah yang dinilai melanggar ketentuan administrasi ( mal administrasi) ataupun perbuatan yang bertentangan dengan hukum ( abuse of power) . Eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara diatur dalam peraturan perundang-undangan khusus yakni Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara yang kemudian dirubah dengan Undang-undang Nomor 9 tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

2. Rumusan Masalah

Bagaimana system peradilan Tata Usaha Negara di indoensia dan Apa yang menjadi kewenangan atau kompetensi dari Pengadilan Tata Usaha Negara di Indonesia ?.

3. Pembahasan
Fungsi Hukum ialah menegakkan kebenaran untuk mencapai keadilan. Keadilan adalah merupakan hal yang pokok bagi manusia dalam hidup bermasyarakat, maka dibutuhkan adanya lembaga-lembaga yang bertugas menyelenggarakan keadilan ini.
Keadilan ini dituntutkan untuk semua hubungan masyarakat, hubungan-hubungan yang diadakan oleh manusia lainnya, oleh karena itu berbicara tentang keadilan meliputi segala macam segi kehidupan manusia dalam hubungannya dengan manusia yang lain.
Keadilan itu erat hubungannya dengan kebenaran, karena sesuatu yang tidak benar tidaklah mungkin adil. Sesuatu itu benar menurut norma-norma yang berlaku akan tercapailah keadilan itu.
Kepada lembaga-lembaga yang bertugas untuk menetapkan keadilannya, atau dengan perkataan lain bertugas memberi control, meminta pertanggungjawaban dan memberikan sanksi-sanksinya, maka tindakan pertama yang harus diperhatikan ialah mencari kebenaran tentang fakta-fakta.
Peradilan Tata Usaha Negara adalah salah satu lembaga yang bertugas menyelenggarakan keadilan ini juga harus memperhatikan kebenaran-kebenaran tersebut untuk mencapai keadilan. Demikian pula para anggota yang duduk dalam lembaga ini harus mempunyai keadilan khusus untuk itu dan terutama sekali mempunyai pengetahuan hukum yang cukup luas.
Pada masa Hindia Belanda , tidak dikenal adanya Pengadilan Tata Usaha Negara atau yang dikenal dengan Sistem administrasi bereop. Hal ini terurai dalam pasal 134 ayat (1) IS yang berisi :
1. Perselisihan perdata diputus oleh hakim biasa menurut Undang-undang
2. Pemeriksaan serta penyelesaian perkara administrasi menjadi wewenang lembaga administrasi itu sendiri.

Kemudian , setelah Indonesia merdeka yaitu pada maasa UUDS 1950 , dikenal tiga cara penyelesaian sengketa administrasi yaitu :
1. Diserahkan kepada Pengadilan Perdata;
2. Diserahkan kepada Badan yang dibentuk secara istimewa;
3. Dengan menentukan satu atau beberapa sengketa Tata Usaha Negara yang penyelesaiannya diserahkan kepada Pengadilan Perdata atau Badan Khusus.
Perubahan mulai terjadi dengan keluarnya Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman . dimana pada pasal 10 nya menyebutkan bahwa Kekausaan kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan antara lain Peradilan Tata Usaha Negara .
Kewenangan Hakim dalam menyelesaikan sengketa admnistrasi Negara semakin dipertegas melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dimana disebutkan bahwa kewenangan memeriksa , memutus , dan menyelsaikan suatu perkara /senghketa administrasi berada pada Hakim/Peradilan Tata Usaha Negara setelah ditempuh upaya administrative.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara yang kemudian dirubah dengan Undang-undang Nomor 9 tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara , perlindungan hukum akibat dikeluarkannya ketetapan (beschiking) atau Keputusan tertulis dari Pejabat Tata Usaha Negara sehingga setiap keputusan TUN (KTUN) dapat digugat oleh individu/badan hukum perdata yang terkena dampak langsung dari KTUN tersebut. dapat ditempuh melalui dua jalur , yaitu melalui banding administrasi atau upaya administrasi (pasal 48 ) dan melalui peradilan TUN ( Pasal 50).
Bagi sengketa yang diajukan melalui PTUN, terhadap putusannya dapat dilakukan upaya hukum Banding melalui PTTUN (Padal 51 ayat 1) sedangkan bagi sengketa yang diajukan melalui upaya administrative, penyelesaian melalui lembaga peradilan dapat langsung diajukan ke PT TUN (pasal 51 ayat 3).
System peradilan di Indonesia menganut kedua tingkatan pemeriksaan termaksud yaitu pemeriksaan tingkat pertama oleh Pengadilan Tata Usaha Negara dan pemeriksaan tingkat kedua /tingkat ulangan /Banding oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara yang kemudian dirubah dengan Undang-undang Nomor 9 tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara ditentukan pembatasan-pembatasan kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara yaitu :
1. Pembatasan Terhadap obyek sengketa ; yang meliputi :
a. Pembatasan terhadap Keputusan Tata Usaha Negara
Tidak semua keputusan Tata Usaha Negara itu masuk sebagai obyek gugatan . Dalam Pasal 2 disebutkan bahwa yang tidak termasuk dalam pengertian Keputusan tata Usaha Negara adalah :
- Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata;
- Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum;
- Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan;
- Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan KUHP dan KUHAP atau peraturan perunfang-undanagn lain yang bersifat hukum piadana;
- Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
- Keputusan Tata Usaha Negara mengenai Tata Usaha Tentara Nasional Indonesia;
- Keputusan Komisi Pemilihan Umum, baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil Pemilu.
b. Pembatasan terhadap obyek sengketa berkaitan dengan proses penyelesaian sengketa. (pasal 48 ayat 1, 2 dan pasal 51 ayat 3 ).
c. Pembatasan terhadap obyek sengketa berkaitan dengan situasi saat diterbitkan ( Pasal 49).
2. Pembatasan terhadap Penggugat dan Tergugat; ( Pasal 1 butir 3, 5 dan 6)
3. Pembatasan terhadap Waktu untuk mengajukan gugatan; (Pasal 55)
4. Pembatasan terhadap wilayah hukum. (Pasal 6 ayat 1 dan 2).

Pembatasan –pembatasan ini bersifat langsung, tidak langsung dan pembatasan langsung bersifat sementara
Kekhususan atau spesifikasi dari Tata Usaha Negara ini terjadi pula di negeri Belanda seperti yang dijelaskan oleh Thorbecke yang mengajukan usul amandemen untuk menghapuskan campur tangan hakim sipil terhadap sengketa yang bersifat administrative itu dengan alasan bahwa sengketa demikian tidak mempunyai sifat keperdataan , melainkan administrative belaka, dan tidak dapat diserahkan kepada hakim sipil untuk menyelesaikannya.
Namun oleh loef diadakan pembedaan antara perselisihan hukum dan perselisihan kebijaksanaan . Pada umumnya kepada rakyat diberi kesempatan untuk mengajukan pengaduan kepada hakim, setiap waktu ia merasa dirugikan dalam kepentingan-kepentingan pribadi oleh keputusan , tindakan –tindakan atau penolakan badan administrative karena dilanggarnya unang-undang yang bersifat public atau peraturan perundang-undangan . Akan tetapi keputusan yang didasarkan atas kebebasan admintrasi (freis ermessen ) dihormati oleh hakim.

Pada dasarnya kedua system peradilan baik di Indonesia maupun di Belanda dalam menangani atau menyelesaikan sengketa yang menjadi wewenang Pengadilan Tata Usaha Negara adalah harus dipisahkan dari peradilan lain atau dengan kata lain tanpa campur tangan hakim sipil. Peradilannya khusus dan berdiri sendiri.
Jadi sengketa Tata Usaha Negara yang selama ini ditangani oleh peradilan umum, sisanya menyangkut sengketa karena keputusan /ketetapan (bescheking) dilimpahkan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar