Kamis, 11 November 2010

Perkawinan Beda Agama

A. LATAR BELAKANG MASALAH
Negara Indonesia adalah Negara berdasar atas hukum bukan berdasar atas kekuasaan belaka. Demikian bunyi penjelasan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Bunyi penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 ini haruslah diimplementasikan dengan apa yang disebut dengan politik hukum. Karena politik hukum adalah merupakan kebijakan dari Negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan .
Bahwa untuk melaksanakan dan sebagai realisasi dari politik hukum termaksud serta untuk menciptakan suasana yang aman dan harmonis bagi kehidupan warga Negara serta untuk mengatur suatu tatanan hukum dibidang perkawinan, maka pada tanggal 2 Januari 1974 di Jakarta telah disahkan atau diundangkan satu Undang-undang yang mengatur mengenai perkawinan. Bagi suatu Negara dan Bangsa seperti Indonesia adalah mutlak adanya Undang-undang Perkawinan Nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi berbagai golongan dalam masyarakat kita.
Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha ESa. ( Demikian bunyi Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974) .
Sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila, yang sila pertamanya adalah Ke Tuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan erat dengan agama/kerokhanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir atau jasmani, akan tetapi unsur batin/rokhani juga mempunyai peranan penting.
Pengertian perkawinan tersebut di atas adalah pengertian perkawinan menurut hukum nasional atau hukum positive yang berlaku di Negara kita . Kita sadar bahwa masyarakat Indonesia ini tergolong heterogen dalam segala aspeknya salah satu diantaranya adalah adanya bermacam-macam agama dan suku , yang mana agama dan suku ini masing-masing mempunyai pengertian sendiri-sendiri mengenai perkawinan.
Menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 menyebutkan bahwa Perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat ata miitsaaaqon gholiidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Dengan tujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah ( pasal 3 KHI).
Perkawinan yang dalam istilah agama disebut “Nikah” ialah : Melakukan suatu aqad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antara keduabelah pihak, dengan dasar suka dan keridhoaan kedua belah pihak untuk mewujudkn suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih saying dan ketentraman dengan cara-cara yang diridhoi oleh Allah.
Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Bahwa tujuan perkawinan atau nikah adalah mensahkan hubungan antara serang pria atau laki-laki dengan seorang wanita atau perempuan untuk membina keluarga yang kekal , abadi, sakinah, mawadah wa rahmah tentunya semata-mata untuk mendapatkan ridho dan rakhmat dari Allah Swt. Dengan disahkannya melalui tali perkawinan atau pernikahan diharapkan kepada suami isteri tersebut dapat memperoleh keturunan, memenuhi nalurinya sebagai manusia, memeliharanya dari kejahatan dan kerusakan ( terhindar dari perbuatan zina/maksiat), membentuk dan mengatur rumah tangga/keluarga yang harmonis serta menumbuhkan semangat untuk hidup yang lebih baik dalam rangka mencari nafkah yang halal lagi baik demi menjalankan hak dan kewajibannya masing-masing sebagai suami - isteri .
Perkawinan atau pernikahan sebagai sesuatu yang suci dan sakral. Dan untuk itulah perlu diatur dan ditata dengan sebaik-baiknya agar tujuan perkawinan atau pernikahan itu dapat tercapai /terwujud. Tanpa adanya aturan dan ketentuan yang mengatur secara jelas dan tegas baik mengenai syarat sahnya dan batalnya suatu perkawinan/pernikahan, tata cara atau prosedur, syarat-syarat perkawinan, larangan atau hal-hal apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan hak dan kewajiban suami isteri termasuk didalamnya adanya aturan mengenai larangan perkawinan antar (beda) agama, maka tentunya tujuan atau kesakralan dari suatu perkawinan atau pernikahan itu tidak akan terwujud atau tercapai bahkan akan melanggar ketentuan baik ketentuan agama maupun ketentuan hukum Negara.
Dalam kenyataannya dalam praktek masih ada perkawinan yang dilaksanakan antar (beda) agama . Dan untuk mengetahui bagaimana Perkawinan antar (beda) agama ini maka penulis memlilih dan menetapkan judul tulisan ini adalah : ” PERKAWINAN ANTAR AGAMA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM “

B. RUMUSAN MASALAH
“ Bagaimana kedudukan Perkawinan Antar (beda) Agama menurut pandangan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Hukum Islam “

C. PEMBAHASAN
Diatas telah dijelaskan bahwa Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha ESa yang bersifat sakral dan suci . Untuk itu perlu dilakukan pembatasan-pembatasan dan atau larangan-larangan supaya terhindar dari perbuatan yang melanggar hukum baik itu hukum agama maupun hukum Negara (hukum positif).
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak disebutkan secara jelas dan tegas mengenai perkawinan antar (beda) agama ini. Bahkan dapat dikatakan tidak diatur sama sekali. Tidak ada satu pasal atau ketentuanpun yang mengatur secara khusus mengenai larangan kawin antar (beda) agama.
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ini hanya menjelaskan bahwa Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Bahkan didalam penjelasannya hanya dikatakan bahwa dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945.
Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini.
Sedangkan dalam pasal 8 huruf f Undang-undang itu juga mengatakan bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.
Dengan demikian jelaslah bahwa dalam undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengatur mengenai perkawinan yang dilakukan oleh sesorang yang berbeda agama. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 hanya menganggap bahwa perkawinan itu baru dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum agamanya masing-masing dan kepercayaannya itu. Ini berarti bahwa seseorang yang akan melangsungkan perkawinan haruslah terlebih dahulu satu agama atau satu kepercayaan sehingga dapat dicatat oleh pegawai pencatat nikah., apakah oleh Kantor Urusan Agama ataukah oleh kantor Catatan Sipil demikian menurut ketentuan pasal 2 ayat 2.
Hal ini perlu dilakukan dan diatur secara jelas dan tegas karena akan membawa dan atau menimbulkan implikasi hukum apabila perkawinan nanti putus ditengah jalan atau terjadi perceraian, apakah cerai hidup atau cerai mati. Apabila perkawinan itu dilakukan dalam dua atau lebih ketentuan hukum maka akan sulit ditentukan hukum apa yang akan diberlakukan terhadap pasangan suami isteri nanti apabila terjadi perceraian, atau terhadap anak yang akan lahir.
Lain halnya kalau dalam hukum Islam diatur secara jelas dan tegas mengenai perkawinan antar (beda) agama ini.
Pada dasarnya atau prinsipnya seorang laki-laki islam diperbolehkan kawin dengan perempuan mana saja. Sungguhpun demikian juga diberikan pembatasan-pembatasan. Sebagai pembatasan , seorang laki-laki Muslim dilarang kawin dengan perempuan –perempuan tertentu. Dalam larangan itu tertampak segi-segi larangan itu. Sifat larangan itu berupa berlainan (beda) agama.
Dalam Pasal 40 ayat c Kompilasi Hukum Islam (KHI) dijelaskan bahwa :
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu :
c. seorang wanita yang tidak beragama islam
Lebih lanjut Pasal 44 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyatakan bahwa : “ Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama islam.
Dengan melihat kedua ketentuan ini jelas bahwa antara Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dengan Hukum Islam dalam hal ini Kompilasi Hukum Islam (KHI) terdapat perbedaan yang mendasar dalam mengatur mengenai perkawinan antara agama (beda) agama ini.
Dalam hukum islam dijelaskan lebih lanjut bahwa yang dimaksud dengan beda agama disini adalah perempuan muslimah dengan laki-laki nonmuslim dan sebaliknya laki-laki muslim dengan perempuan nonmuslim. Dalam istilah fiqg disebut kawin dengan orang kafir. Orang yang tidak beragama islam dalam pandangan islam dikelompkkan kepada kafir kitabi yang disebut juga dengan ahli kkitab ; dan kafir bukan kitabi atau disebut juga musyrik atau pangan.
D. KESIMPULAN
Sebagai kesimpulan dari makalah ini adalah :
1. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak menentukan atau mengatur secara khusus dan tegas mengenai larangan perkawinan antar (beda) agama . Undang-undang ini hanya mengisyaratkan bahwa perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
2. Didalam hukum Islam (Kompilasi Hukum Islam) diatur secara jelas dan tegas mengenai larangan perkawinan antara (beda) agama ini , yaitu sebagaimana yang diatur dalam pasal 40 dan 44 Kompilasi Hukum Islam.
3. Bahwa larangan perkawinan antar (beda) agama ini harus jelas dan tegas diatur karena menyangkut implikasi dan atau akibat hukum yang timbul bagi pasangan suami isteri baik terhadap akibat putusnya perkawinan atau terhadap status hukum anak yang akan lahir atau dilahirkan.















DAFTAR PUSTAKA

Amir Syarifuddin,2007, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Figh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Prenada Media, Jakarta.
Fokus Media, 2007, Kompilasi Hukum Islam, Bandung.
Gitamedia, 1987, Undang-Undang Perkawinan, Surabaya.
Sayuti Thalib,1986, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Universitas Indonesia Press (UI Press), Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar